Apa kabar semua? Udah jam 12:33, sekarang sudah Senin >___<
Kembali lagi ke rutinitas weekday yang padat. Semangat :3
Kulanjut chapter 25~
__________________________________________________________________________________
Chapter
25
“Ini sudah yang keberapa kalinya aku ke Belvedere?”
“Lima, Nona.”
Kenan melirik Vincent. “Kau hafalkan semua
kegiatanku, Vince? Wah, aku merasa punya pengasuh yang perhatian sekali di
sini.”
Vincent menunduk dan tersenyum. “Tidak, Nona.”
“Yah sudahlah. Pariwisata
klasik Austria memang menawan untuk dikunjungi. Apalagi kalau lagi menganggur,
dari townhouse di Hietzinger Hauptstr
kemana saja dekat. Ehm, kalau ke
Schonbrunn? Ah, Lainzier Tiergarten?” tanya Kenan usil. Namun, sebelum Vincent
hendak menjawab, Kenan lebih dahulu menanggapi. “Jangan
jawab lagi. Merinding aku dengarnya.”
Rona wajah Vincent berubah. Ia
linglung memandangi Nonanya. Vincent yang selalu sempurna dan tenang melongo.
Kenan tertawa puas melihatnya. Vincent terperanjat, terpana kagum dengan
pemandangan itu.
“Ada apa?” tanya Kenan
heran mengapa langkah kaki Vincent berhenti.
“Ti, tidak,” jawab Vincent terbata-bata.
Kenan cemberut.
“Kau jadi menyebalkan ya.”
Vincent mengatur ekspresi di wajahnya kembali normal.
“Saya hanya terpana pada apa yang tuan Consta lakukan sehingga Nona bisa tertawa lagi.”
Wajah Kenan bersemu
merah. Karena kalah malu, Kenan asal lari
ke Belvedere, meninggalkan Vincent di belakang.
“Biarlah Nona
mengetahui dan memahami apa pun karena sekarang matanya yang melekat sudah
terbuka dan hatinya sudah terbuka juga.” Vincent tersenyum lalu sigap mengejar
Nonanya yang lari entah karuan.
“Tempat ini masih sama saja,” ucap Kenan singkat setelah
mengelilingi Belvedere.
“Nona mau tempat ini berubah jadi apa?” tanya Vincent santai. “Terakhir Nona kemari beberapa bulan yang lalu. Tidak mungkin ada
perubahan yang mencolok.”
“Ah, kau ini. Semua dikomentari,” tadas Kenan.
Vincent geli. “Bukannya Nona yang bertanya? Kenapa malah –“
Kata-kata Vincent terputus ketika melihat Kenan menyisipkan
rambut panjangnya ke belakang telinga sambil meletakkan jari telunjuknya ke
depan bibir.
“Ada apa, Nona?”
“Sttt. Kau dengar itu? Alunan musik!” seru Kenan.
“Memangnya di sini ada gedung opera, hall, atau semacamnya? Ini
kan hanya lingkungan benteng tua!”
Vincent menggeleng. “Saya tidak tahu, Nona.”
“Oh, ada juga yang
kau tidak tahu ya.” Kenan mengambil
langkah panjang. “Ah, lihat itu. Ada orang yang bawa-bawa
harpsikoda. Ayo cari tahu!”
Meskipun sedikit
panik tapi ia senang melihat Nonanya bersemangat.
Alis Kenan terangkat. “Yang benar saja,” ucap Kenan
takjub ketika mendapati
sebuah gedung opera kecil yang usang yang berada agak jauh dari sisa benteng
Belvedere,
“benar-benar ada? Melihat usia gedung ini, bagaimana caranya bisa ada
gedung opera di dekat benteng perang?? Masih utuh pula.”
Vincent yang berhasil mengejar Kenan setelah berhenti
berlari melingkarkan tangannya di dada dengan nafas bekejar-kejaran.
“Di peta panduan wisata juga tidak tertuliskan ada gedung opera tua di sini,
Nona.”
“Hebat. Bagaimana cara gedung ini tetap utuh di masa
perang?” tanya Kenan semangat. “Ayo masuk!”
“Nona, mungkin seharusnya nona perlu mencari seseorang di
depan hall sebelum masuk kemari,” mohon Vincent.
Tanpa mendengarkan pelayannya, Kenan tetap saja menerjang
masuk ke tempat pertunjukan. Pelayan setianya itu hanya bisa mengikutinya dengan
pasrah.
“Nona, ini bukannya tidak sopan –“
“Jerish?” Mata Kenan terbuka lebar ketika melihat
seseorang yang memainkan cello hingga terdengar sampai keluar itu ternyata
orang yang sudah amat dikenalnya. “Boccherini: Cello concerto B-flat major?”
“Ah, tuan Consta yang memainkan cello itu. Nona, apa –“
Vincent terkejut ketika melihat Kenan menundukkan kepalanya dengan wajah sedih.
Tangan Kenan mengepal, sedikit bergetar. Melihatnya seperti
itu, Vincent ikut terdiam karena seorang pelayan tidak berhak mencampuri urusan
pribadi nonanya.
“Sejak kapan kau berdiri di sana, Nona Kenan, ah, Alexa, ah, Challysto?”
“Diamlah, Jerish. Itu menyebalkan.” Kenan mengerutkan alisnya. “Aku ingin tahu apa lagi
yang kau sembunyikan dariku yang telah berhasil kau korek-korek dari masa laluku.
Apa pun yang kaulakukan selalu menggangguku.”
“Soal apa?”
“Lagu itu. Aku yakin ada alasan kurang
mengenakkan untuk kau mainkan.”
“Untuk lagu di
kompetisi di Aula Smetana nanti.”
Kenan tersenyum pahit. “Aku tahu jelas
tempat kompetisi itu. Yang
kutanya, kenapa harus lagu itu? Masih banyak lagu cello yang levelnya lebih rumit
untuk kompetisi. Apa lagi yang mau –“
“Yah, aku tak
menyangka kau akan mencuri dengar. Untuk kompetisi itu, aku ingin memainkan lagu ini karena aku yakin kau akan datang ke sana.”
“Untuk apa aku ke sana? Aku sudah gugur di tahap kedua.
Datang ke sana hanya membuatku diolok-olok. Kenapa aku harus mendengarkan lagu
itu darimu?”
Jerish tersenyum lembut. “Untuk hadiah ulang tahunmu yang
ke-25. Terlalu cepat ya. Selamat ulang tahun. Dulu sahabatmu itu ingin
sekali mendengar lagu itu darimu tapi kau hanya violinist. Jadi, biarkan aku yang sekarang memainkannya untuk
kalian.” Kenan terdiam. “Sejujurnya, aku tak tahu harus memberi hadiah macam
apa tapi aku menemukan lagu ini saat buka buku score.”
Kenan terkesiap. Ia menutup mulutnya dengan tangan
kanannya dan perlahan-lahan ia mundur ke belakang hingga ke kegelapan. Tak lama
kemudian, langkah kaki Kenan yang berlari menggema sampai ke gedung
pertunjukkan.
“Nona!” seru Vincent. “Maafkan Nona Saya, tuan Consta. Saya permisi.” Ucap Vincent undur diri
untuk mengejar Kenan.
Jerish nyengir ketika tangan kirinya kembali memegang senar cello. “Aku
senang wajah merona itu. Coba kau mau memperlihatkan lebih banyak yang seperti
itu padaku. Padahal lebih cantik seperti itu saja terus.”
♣
“Otakku sudah tidak waras lagi. Iya pasti
begitu. Kenapa aku masih datang ke final kompetisi bodoh ini? Bukannya aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri di
tengah banyak orang nantinya?” gumam Kenan.
“Sekarang mobil ini masih bisa kembali pulang, Nona,”
tawar Vincent.
“Sekali lagi kau tawarkan aku, kukembalikan kau ke rumah
Ryan, Vince,” ancam Kenan yang meski jengkel tetap tak bisa menghilangkan rona
di wajahnya.
“..., demikian penampilan dari Leo Calabria dengan lagu
pilihannya Beethoven, 1812 Overture.
Berikutnya adalah penampilan dari peserta nomor 32, Jerish Consta.”
Suasana sunyi senyap setelah tepukan keras untuk
pendukung Leo Calabria yang menggetarkan dinding gedung usai dan nama Jerish
dipanggil.
“Kenapa denganku?? Apa aku mengharapkannya? Aku mengharapkan Jerish?
Harapan untuk apa?” bisik Kenan dengan nada seolah-olah ia kesakitan.
Ketika Jerish memasuki panggung, Kenan terdiam dengan
ekspresi kecut. Kemudian, ia hanya bisa duduk resah ketika Jerish mulai
menggesek senar cellonya untuk memainkan lagu yang telah ia dengar sebelumnya.
Kenapa malah aku yang jadi tidak
tenang!? seru Kenan sebal dalam
hati kepada dirinya sendiri yang
plin plan. “Aku kan hanya peserta yang sudah gugur!”
Dari awal hingga akhir pertunjukkan, Kenan hanya bisa
menunduk dengan hati gelisah dan gumaman-gumaman yang mengutuki diri. Bahkan,
ia tidak sadar kalau Jerish sudah selesai memainkan lagunya dengan senyuman
menggoda–tentunya untuk para gadis di sana yang mengidolakan
Jerish.
“Demikian penampilan dari –“
“Maaf, boleh Saya bicara sebentar?” tanya Jerish menyela moderator.
Para fans setia Jerish menjerit-jerit seperti melihat
ratusan kecoa terbang. Mungkin mereka berharap Jerish mau menyatakan sesuatu
yang meluluhkan hati para idolanya. Dengan badan tinggi tegap, wajah porselen,
rambut merah yang menyala di bawah sinar penerangan panggung, dan mata turbid yang melankolis, Jerish mulai
mencurahkan isi hatinya dengan mikrofon yang berhasil dicuri dari moderator.
Sementara di bangku penonton, Kenan sudah kebakaran jenggot.
“Selain untuk kompetisi, lagu ini kupersembahkan untuk
seorang gadis yang tak pernah lepas dari pikiranku,” tukasnya dengan wibawa dan
pesona, “selamat ulang tahun yang ke-25. Aku mengucapkan syukurku pada Tuhanku yang
telah mempertemukan kami melalui cara-cara tak masuk akal. Terima kasih karena
kau juga sudah hadir membawa dupa yang harum ke hidupku.”
Selesai berpidato singkat, Jerish membungkukkan
badan lalu pergi dari atas panggung. Berkaitan dengan perkataannya yang gila
dan tanpa malu, di bangku penonton suara menggelegar. Suara pertama tentunya
para gadis yang cemburu sedangkan suara kedua ialah komentar pedas para kelas
bangsawan dan politikus–tapi tidak sedikit musisi yang tertawa. Sayangnya suara ketiga ialah gemelatukan gigi dari seorang gadis yang
ditunjukkan
Jerish yang merasakan malu luar biasa. Untungnya Jerish tidak menyebutkan
namanya.
|| Sion ||
Btw, satu chapter lagi cerita versi yang ini selesai lho :)
Bagi yang penasaran alternate ending dari Black Lady the Violinist bisa langsung cek https://www.wattpad.com/myworks/86069717-black-lady-the-violinist
See ya :)
Woahh kerrenn,, :-D
ReplyDelete