Ealah, aku kurang tepat janji ya T__T
Padahal sisa chapternya tinggal itungan jari tapi aku sibuk dari kemarin. :'(
Capcus deh
________________________________________________________________________________
Chapter
24
“Nona –“
“Aku sungguh
berharap kalau kau takkan bilang apa-apa lagi, Vince.”
“Sungguh Saya
bersalah karena menyebabkan semua ini. Andai saja –“
“Tak ada yang perlu
diandaikan,” mata Kenan melirik ke arah jendela yang tertutup salju, “yang telah terjadi tak bisa diapa-apakan.”
“Maafkan Saya,
Nona. Sungguh ini salah Saya,” sergah Vincent putus asa.
Kenan melirik
pelayannya yang bersedih. “Jangan iba melihatku, Vince. Kau tahu? Aku juga
sudah lelah dengan ini semua. Memang ini akhirnya. Aku akan kembali ke rumahku di Indonesia. Kau bisa kembali pada keluarga
paman.”
Vincent tersentak.
“Nona!”
“Aku sudah bilang
jangan pandang aku begitu.” Kenan tersenyum sinis. “Meskipun pahit tapi
akhirannya lebih baik dari dugaanku, Vince. Sebelum semuanya jatuh mengerikan,
aku puas karena aku berakhir seperti manusia yang di setiap pembuluh darahku
ada rasa marah, sedih, senang, dan lega selama dua tahun ini.” Vincent bertatapan
empat mata dengan Nonanya. “Aku ingat lagi apa itu perasaan.”
“Nona? Nona mau kemana? Nona tidak
bersungguh-sungguh hendak pergi, bukan?” tanya Vincent gelisah karena Kenan
hendak keluar dari rumah pagi-pagi benar. Kemanapun ia mau pergi, di luar pasti
masih sangat dingin. Ia masih trauma dengan kejadian yang menimpa Nonanya di
Inggris beberapa minggu lalu. Ia sama sekali tidak ada di sana saat Nona-nya
hampir mati beku karena frustasi di atap rumah sakit Nasional Hospital of
Neurology. “Nona..” Vincent meringis.
Kenan melirik
Vincent setelah satu hembusan nafas.
“Kau pikir aku mau
kemana? Memangnya aku bisa pulang ke rumah dengan satu tas violin ini saja,
Vince? Aku hanya ingin keluar karena ada resital kecil.”
Vincent menunduk
malu. “Maaf, Nona.”
“Lagu Amazing
Grace?” tanya seseorang dari depan tangga di bawah atap gedung resital tua.
Kenan tidak
mempedulikan orang-orang yang sinis menatapnya ketika bermain biola seorang
diri di atas atap. Perhatian pada lagu pertama yang bisa ia mainkan untuk sahabatnya yang tetap terus berumur 14 tahun itu takkan
buyar.
“Ada apa dengan itu?” tanya seorang yang lainnya.
Orang itu tertawa sinis. “Mungkin dia sedang mengucapkan
syukur karena sempat berhasil mendapat reputasi dengan cara curang.”
“Kenapa begitu?”
tanya temannya.
“Siapa yang tahu kalau si ‘Alexa’ diam-diam mendapat sokongan dari ‘keluarganya’?
Murahan sekali,” maki orang itu sambil melangkah pergi. “Sekarang juga dia
sedang mencari perhatian dengan lagu pura-pura sedihnya.”
“Kata-katamu
terlalu kejam, Charlotte,” sahut temannya yang mengikuti temannya pergi
meninggalkan atap.
Saat yakin kedua
orang tak diundang itu pergi, Kenan berhenti main.
Trang. Bow yang
Kenan pegang jatuh dan menimbulkan suara yang cukup nyaring di atap yang sunyi.
Di sebelah bow yang tergeletak, Kenan
jatuh berlutut. Violin didekap erat-erat. Guratan halus violin kesayangan Kenan tersebut sedikit demi sedikit basah
oleh tetesan air mata pemiliknya. Setiap kali mendengar
kata penolakan tentang musiknya, saat itu juga air mata tak pernah bisa ia
tahan lagi.
♣
“Kenan!?” seru Jerish yang kaget setengah mati ketika mengetahui
isak tangis yang menggaung di atap bangunan tua itu tenyata dari Kenan.
Dengan langkah terburu-buru Jerish menghampiri Kenan yang menangis tersedu-sedu.
Hatinya hancur melihat tetes demi tetes lelehan air mata Kenan.
“Aku mencarimu dan pemilik gedung resital
mengatakan kalau kau ada di sini. Kau
kenapa??” tanyanya dengan wajah panik.
Jari-jari Jerish
memaksa mengangkat dagu Kenan karena perempuan itu tak mau jawab. Kenan
memperlihatkan matanya yang merah dan pipinya yang sembab. Timbul belas kasih yang
meremukkan hati Jerish.
“Kenapa? Kenapa kau tidak hina aku seperti mereka?
Ketika Lena pergi karena aku yang membunuhnya, aku sudah kehilangan segalanya.
Sekarang
juga aku sudah kehilangan hidupku
ketika musikku yang menjadi alasan untuk aku hidup pun diinjak orang. Kenapa
bukan aku saja yang mati menggantikan Lena!?”
“Jangan
mengambinghitamkan hal lain untuk lari dari masalah, Kenan.”
“Memang! Aku
membuat Lena menjadi alasanku hidup seperti ini!”
“Lalu kau puas
setelah belasan tahun hidup dengan cara seperti itu? Kau puas dengan rasa
bersalah? Kau puas mengutuki dirimu sendiri? Aku memang tak tahu semua masa
lalumu tapi untuk apa kau menyalahkan diri sendiri? Bukan kau yang membunuh
sahabatmu itu, Kenan!! Berhenti menjadikan orang yang sudah mati sebagai
harapan dan tujuan hidupmu! Bukan untuk itu Tuhan menciptakan kau, Kenan!!”
Kenan terperangah.
Belum ada seorang pun yang terang-terangan mengatakan hal itu padanya,
sekalipun itu keluarga Challysto dan tante Merry yang sangat menyayanginya.
Tidak ada seorang pun yang mau mengatakan itu–yang terlalu jujur dan terkesan
kejam–dan memaksa membuka matanya dari kegelapan yang disembunyikannya.
“Lalu siapa yang
membunuhnya? Siapa? Siapa!? Kalau waktu itu aku bisa merendahkan diriku ke
keluarga Challysto, dia tak perlu mati dengan cara seperti itu!!” Kenan
menjerit frustasi. “Lalu untuk apa Tuhan ciptakan aku? Untuk apa aku menanggung
semua ini? Kejam sekali Ia padaku!”
Jerish mendekap
pundak Kenan erat-erat. “Dengarkan aku, Kenan.” Sejenak kekalapan Kenan tenang.
“Tidak ada yang membunuhnya. Tidak ada seorang pun yang membunuhnya. Kalau
sekarang dia tidak ada di sini, pasti ada alasannya. Berhenti menyalahkan
dirimu sendiri dan berhenti menyalahkan orang lain. Tuhan itu tidak kejam
seperti yang kau pikirkan. Ia berlimpah kasih setia bagi semua orang yang
berseru kepada-Nya. Dengarkan aku, Kenan. Sampai mati pun kau akan tetap
seperti ini kalau kau masih menggenggam perasaanmu. Kau mau seperti itu?
Memangnya sahabatmu itu mau kau seperti ini?? Ia bisa bangkit lagi dan menampar
wajahmu.”
Mata Kenan
berkaca-kaca. Pesan-pesan yang terpotong-potong dari Lena, Vincent, juga Jerish
telah tersambung menjadi pesan yang membuat hatinya kelu.
“Berhenti
menyalahkan dirimu sendiri lagi,” ulang Jerish yang kesekian kalinya. “Jangan
diam di tempat setelah hal buruk terjadi tapi teruslah jalan ke depan karena
masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang, Kenan.”
Air mata Kenan
berhenti mengalir. Akhir dari adu debat, Jerish tak sadar tubuhnya bergerak
merangkul Kenan seperti seseorang
yang takut ketika benda rapuh yang dipegangnya hancur.
Vincent datang
menjemput Kenan setelah ditelepon oleh Jerish–entah darimana dapat nomor
teleponnya. Selang beberapa menit sebelum pelayannya datang, Jerish pergi
supaya Kenan bisa lebih nyaman.
Mirip ketika Kenan
pertama kali datang ke hall saat
debutante, sepanjang perjalanan pulang dalam mobil ia hanya diam saja.
Tangannya sibuk mengetuk-ketuk tas violin. Di sisi lain, Vincent yang menyupir pun tetap terus
diam.
Aku
bisa menyindirnya seperti pejabat korupsi yang mencari-cari perhatian polisi
untuk minta didakwa. Padahal, akulah orang yang sebenarnya mencari-cari orang
lain yang bisa mendakwaku. Sudah cukup aku ditimang-timang seperti bayi. Otakku
yang korslet ini memang butuh dakwaan.
“Setelah ini Nona ada acara?” tanya Vincent tiba-tiba.
“Kuliah sore,” jawab Kenan singkat.
Tanpa banyak bicara Vincent mengangguk. Meskipun tak ada
niat, mata Kenan sempat melihat ke arah kaca spion juga dan melihat anggukan
kecil itu.
Aku memang perlu seseorang
yang bisa membuka pemikiranku yang sempit dan angkuh.|| Sion ||
Oh ya, jangan lupa baca story Black Lady the Violinist dengan versi ending terbaru ya~
Jadi kalau ada yang tidak puas sama versi cerita ini bisa langsung baca ke sana. wkwkkw
https://www.wattpad.com/myworks/86069717-black-lady-the-violinist
No comments:
Post a Comment