Monday, 14 January 2019

Chapter 25

Hai hai~
Apa kabar semua? Udah jam 12:33, sekarang sudah Senin >___<
Kembali lagi ke rutinitas weekday yang padat. Semangat :3

Kulanjut chapter 25~

__________________________________________________________________________________

Chapter 25





“Ini sudah yang keberapa kalinya aku ke Belvedere?”

“Lima, Nona.”

Kenan melirik Vincent. “Kau hafalkan semua kegiatanku, Vince? Wah, aku merasa punya pengasuh yang perhatian sekali di sini.”

Vincent menunduk dan tersenyum. “Tidak, Nona.”

“Yah sudahlah. Pariwisata klasik Austria memang menawan untuk dikunjungi. Apalagi kalau lagi menganggur, dari townhouse di Hietzinger Hauptstr kemana saja dekat. Ehm, kalau ke Schonbrunn? Ah, Lainzier Tiergarten?” tanya Kenan usil. Namun, sebelum Vincent hendak menjawab, Kenan lebih dahulu menanggapi. “Jangan jawab lagi. Merinding aku dengarnya.”

Rona wajah Vincent berubah. Ia linglung memandangi Nonanya. Vincent yang selalu sempurna dan tenang melongo. Kenan tertawa puas melihatnya. Vincent terperanjat, terpana kagum dengan pemandangan itu.

 “Ada apa?” tanya Kenan heran mengapa langkah kaki Vincent berhenti.

“Ti, tidak,” jawab Vincent terbata-bata.

Kenan cemberut. “Kau jadi menyebalkan ya.”

Vincent mengatur ekspresi di wajahnya kembali normal. “Saya hanya terpana pada apa yang tuan Consta lakukan sehingga Nona bisa tertawa lagi.”

Wajah Kenan bersemu merah. Karena kalah malu, Kenan asal lari ke Belvedere, meninggalkan Vincent di belakang.

“Biarlah Nona mengetahui dan memahami apa pun karena sekarang matanya yang melekat sudah terbuka dan hatinya sudah terbuka juga.” Vincent tersenyum lalu sigap mengejar Nonanya yang lari entah karuan.



“Tempat ini masih sama saja,” ucap Kenan singkat setelah mengelilingi Belvedere.

“Nona mau tempat ini berubah jadi apa?” tanya Vincent santai. “Terakhir Nona kemari beberapa bulan yang lalu. Tidak mungkin ada perubahan yang mencolok.”

“Ah, kau ini. Semua dikomentari,” tadas Kenan.

Vincent geli. “Bukannya Nona yang bertanya? Kenapa malah –“

Kata-kata Vincent terputus ketika melihat Kenan menyisipkan rambut panjangnya ke belakang telinga sambil meletakkan jari telunjuknya ke depan bibir.

“Ada apa, Nona?”

“Sttt. Kau dengar itu? Alunan musik!” seru Kenan. “Memangnya di sini ada gedung opera, hall, atau semacamnya? Ini kan hanya lingkungan benteng tua!”

Vincent menggeleng. “Saya tidak tahu, Nona.”

“Oh, ada juga yang kau tidak tahu ya.” Kenan mengambil langkah panjang. “Ah, lihat itu. Ada orang yang bawa-bawa harpsikoda. Ayo cari tahu!”

Meskipun sedikit panik tapi ia senang melihat Nonanya bersemangat.

Alis Kenan terangkat. “Yang benar saja,” ucap Kenan takjub ketika mendapati sebuah gedung opera kecil yang usang yang berada agak jauh dari sisa benteng Belvedere, “benar-benar ada? Melihat usia gedung ini, bagaimana caranya bisa ada gedung opera di dekat benteng perang?? Masih utuh pula.”

Vincent yang berhasil mengejar Kenan setelah berhenti berlari melingkarkan tangannya di dada dengan nafas bekejar-kejaran.

“Di peta panduan wisata juga tidak tertuliskan ada gedung opera tua di sini, Nona.”

“Hebat. Bagaimana cara gedung ini tetap utuh di masa perang?” tanya Kenan semangat. “Ayo masuk!”



“Nona, mungkin seharusnya nona perlu mencari seseorang di depan hall sebelum masuk kemari,” mohon Vincent.

Tanpa mendengarkan pelayannya, Kenan tetap saja menerjang masuk ke tempat pertunjukan. Pelayan setianya itu hanya bisa mengikutinya dengan pasrah.

“Nona, ini bukannya tidak sopan –“

“Jerish?” Mata Kenan terbuka lebar ketika melihat seseorang yang memainkan cello hingga terdengar sampai keluar itu ternyata orang yang sudah amat dikenalnya. “Boccherini: Cello concerto B-flat major?”

“Ah, tuan Consta yang memainkan cello itu. Nona, apa –“

Vincent terkejut ketika melihat Kenan menundukkan kepalanya dengan wajah sedih. Tangan Kenan mengepal, sedikit bergetar. Melihatnya seperti itu, Vincent ikut terdiam karena seorang pelayan tidak berhak mencampuri urusan pribadi nonanya.

“Sejak kapan kau berdiri di sana, Nona Kenan, ah, Alexa, ah, Challysto?”

Diamlah, Jerish. Itu menyebalkan.” Kenan mengerutkan alisnya. “Aku ingin tahu apa lagi yang kau sembunyikan dariku yang telah berhasil kau korek-korek dari masa laluku. Apa pun yang kaulakukan selalu menggangguku.”

“Soal apa?”

“Lagu itu. Aku yakin ada alasan kurang mengenakkan untuk kau mainkan.”

 “Untuk lagu di kompetisi di Aula Smetana nanti.”

Kenan tersenyum pahit. “Aku tahu jelas tempat kompetisi itu. Yang kutanya, kenapa harus lagu itu? Masih banyak lagu cello yang levelnya lebih rumit untuk kompetisi. Apa lagi yang mau –“

 “Yah, aku tak menyangka kau akan mencuri dengar. Untuk kompetisi itu, aku ingin memainkan lagu ini karena aku yakin kau akan datang ke sana.”

“Untuk apa aku ke sana? Aku sudah gugur di tahap kedua. Datang ke sana hanya membuatku diolok-olok. Kenapa aku harus mendengarkan lagu itu darimu?”

Jerish tersenyum lembut. “Untuk hadiah ulang tahunmu yang ke-25. Terlalu cepat ya. Selamat ulang tahun. Dulu sahabatmu itu ingin sekali mendengar lagu itu darimu tapi kau hanya violinist. Jadi, biarkan aku yang sekarang memainkannya untuk kalian.” Kenan terdiam. “Sejujurnya, aku tak tahu harus memberi hadiah macam apa tapi aku menemukan lagu ini saat buka buku score.”

Kenan terkesiap. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya dan perlahan-lahan ia mundur ke belakang hingga ke kegelapan. Tak lama kemudian, langkah kaki Kenan yang berlari menggema sampai ke gedung pertunjukkan.

“Nona!” seru Vincent. “Maafkan Nona Saya, tuan Consta. Saya permisi.” Ucap Vincent undur diri untuk mengejar Kenan.

Jerish nyengir ketika tangan kirinya kembali memegang senar cello. “Aku senang wajah merona itu. Coba kau mau memperlihatkan lebih banyak yang seperti itu padaku. Padahal lebih cantik seperti itu saja terus.”






Otakku sudah tidak waras lagi. Iya pasti begitu. Kenapa aku masih datang ke final kompetisi bodoh ini? Bukannya aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri di tengah banyak orang nantinya?” gumam Kenan.

“Sekarang mobil ini masih bisa kembali pulang, Nona,” tawar Vincent.

“Sekali lagi kau tawarkan aku, kukembalikan kau ke rumah Ryan, Vince,” ancam Kenan yang meski jengkel tetap tak bisa menghilangkan rona di wajahnya.



“..., demikian penampilan dari Leo Calabria dengan lagu pilihannya Beethoven,  1812 Overture. Berikutnya adalah penampilan dari peserta nomor 32, Jerish Consta.”

Suasana sunyi senyap setelah tepukan keras untuk pendukung Leo Calabria yang menggetarkan dinding gedung usai dan nama Jerish dipanggil.

Kenapa denganku?? Apa aku mengharapkannya? Aku mengharapkan Jerish? Harapan untuk apa?” bisik Kenan dengan nada seolah-olah ia kesakitan.

Ketika Jerish memasuki panggung, Kenan terdiam dengan ekspresi kecut. Kemudian, ia hanya bisa duduk resah ketika Jerish mulai menggesek senar cellonya untuk memainkan lagu yang telah ia dengar sebelumnya.

Kenapa malah aku yang jadi tidak tenang!? seru Kenan sebal dalam hati kepada dirinya sendiri yang plin plan. “Aku kan hanya peserta yang sudah gugur!”

Dari awal hingga akhir pertunjukkan, Kenan hanya bisa menunduk dengan hati gelisah dan gumaman-gumaman yang mengutuki diri. Bahkan, ia tidak sadar kalau Jerish sudah selesai memainkan lagunya dengan senyuman menggodatentunya untuk para gadis di sana yang mengidolakan Jerish.

“Demikian penampilan dari –“

“Maaf, boleh Saya bicara sebentar?” tanya Jerish menyela moderator.

Para fans  setia Jerish menjerit-jerit seperti melihat ratusan kecoa terbang. Mungkin mereka berharap Jerish mau menyatakan sesuatu yang meluluhkan hati para idolanya. Dengan badan tinggi tegap, wajah porselen, rambut merah yang menyala di bawah sinar penerangan panggung, dan mata turbid yang melankolis, Jerish mulai mencurahkan isi hatinya dengan mikrofon yang berhasil dicuri dari moderator. Sementara di bangku penonton, Kenan sudah kebakaran jenggot.

“Selain untuk kompetisi, lagu ini kupersembahkan untuk seorang gadis yang tak pernah lepas dari pikiranku,” tukasnya dengan wibawa dan pesona, “selamat ulang tahun yang ke-25. Aku mengucapkan syukurku pada Tuhanku yang telah mempertemukan kami melalui cara-cara tak masuk akal. Terima kasih karena kau juga sudah hadir membawa dupa yang harum ke hidupku.”
Selesai berpidato singkat, Jerish membungkukkan badan lalu pergi dari atas panggung. Berkaitan dengan perkataannya yang gila dan tanpa malu, di bangku penonton suara menggelegar. Suara pertama tentunya para gadis yang cemburu sedangkan suara kedua ialah komentar pedas para kelas bangsawan dan politikus–tapi tidak sedikit musisi yang tertawa. Sayangnya suara ketiga ialah gemelatukan gigi dari seorang gadis yang ditunjukkan Jerish yang merasakan malu luar biasa. Untungnya Jerish tidak menyebutkan namanya.

|| Sion ||


Btw, satu chapter lagi cerita versi yang ini selesai lho :)
Bagi yang penasaran alternate ending dari Black Lady the Violinist bisa langsung cek https://www.wattpad.com/myworks/86069717-black-lady-the-violinist

See ya :)

Thursday, 10 January 2019

Chapter 24

Holla~
Ealah, aku kurang tepat janji ya T__T
Padahal sisa chapternya tinggal itungan jari tapi aku sibuk dari kemarin. :'(

Capcus deh

________________________________________________________________________________


Chapter 24





“Nona –“

“Aku sungguh berharap kalau kau takkan bilang apa-apa lagi, Vince.”

“Sungguh Saya bersalah karena menyebabkan semua ini. Andai saja –“

“Tak ada yang perlu diandaikan,” mata Kenan melirik ke arah jendela yang tertutup salju, “yang telah terjadi tak bisa diapa-apakan.”

“Maafkan Saya, Nona. Sungguh ini salah Saya,” sergah Vincent putus asa.

Kenan melirik pelayannya yang bersedih. “Jangan iba melihatku, Vince. Kau tahu? Aku juga sudah lelah dengan ini semua. Memang ini akhirnya. Aku akan kembali ke rumahku di Indonesia. Kau bisa kembali pada keluarga paman.”

Vincent tersentak. “Nona!”

“Aku sudah bilang jangan pandang aku begitu.” Kenan tersenyum sinis. “Meskipun pahit tapi akhirannya lebih baik dari dugaanku, Vince. Sebelum semuanya jatuh mengerikan, aku puas karena aku berakhir seperti manusia yang di setiap pembuluh darahku ada rasa marah, sedih, senang, dan lega selama dua tahun ini.” Vincent bertatapan empat mata dengan Nonanya. “Aku ingat lagi apa itu perasaan.”

 “Nona? Nona mau kemana? Nona tidak bersungguh-sungguh hendak pergi, bukan?” tanya Vincent gelisah karena Kenan hendak keluar dari rumah pagi-pagi benar. Kemanapun ia mau pergi, di luar pasti masih sangat dingin. Ia masih trauma dengan kejadian yang menimpa Nonanya di Inggris beberapa minggu lalu. Ia sama sekali tidak ada di sana saat Nona-nya hampir mati beku karena frustasi di atap rumah sakit Nasional Hospital of Neurology. “Nona..” Vincent meringis.

Kenan melirik Vincent setelah satu hembusan nafas.

“Kau pikir aku mau kemana? Memangnya aku bisa pulang ke rumah dengan satu tas violin ini saja, Vince? Aku hanya ingin keluar karena ada resital kecil.”

Vincent menunduk malu. “Maaf, Nona.”



“Lagu Amazing Grace?” tanya seseorang dari depan tangga di bawah atap gedung resital tua.

Kenan tidak mempedulikan orang-orang yang sinis menatapnya ketika bermain biola seorang diri di atas atap. Perhatian pada lagu pertama yang bisa ia mainkan untuk sahabatnya yang tetap terus berumur 14 tahun itu takkan buyar.

“Ada apa dengan itu?” tanya seorang yang lainnya.

Orang itu tertawa sinis. “Mungkin dia sedang mengucapkan syukur karena sempat berhasil mendapat reputasi dengan cara curang.”

 “Kenapa begitu?” tanya temannya.

“Siapa yang tahu kalau si ‘Alexa’ diam-diam mendapat sokongan dari ‘keluarganya’? Murahan sekali,” maki orang itu sambil melangkah pergi. “Sekarang juga dia sedang mencari perhatian dengan lagu pura-pura sedihnya.”

Kata-katamu terlalu kejam, Charlotte,” sahut temannya yang mengikuti temannya pergi meninggalkan atap.

Saat yakin kedua orang tak diundang itu pergi, Kenan berhenti main.

Trang. Bow yang Kenan pegang jatuh dan menimbulkan suara yang cukup nyaring di atap yang sunyi. Di sebelah bow yang tergeletak, Kenan jatuh berlutut. Violin didekap erat-erat. Guratan halus violin kesayangan Kenan tersebut sedikit demi sedikit basah oleh tetesan air mata pemiliknya. Setiap kali mendengar kata penolakan tentang musiknya, saat itu juga air mata tak pernah bisa ia tahan lagi.








Kenan!?” seru Jerish yang kaget setengah mati ketika mengetahui isak tangis yang menggaung di atap bangunan tua itu tenyata dari Kenan.

Dengan langkah terburu-buru Jerish menghampiri Kenan yang menangis tersedu-sedu. Hatinya hancur melihat tetes demi tetes lelehan air mata Kenan.

Aku mencarimu dan pemilik gedung resital mengatakan kalau kau ada di sini. Kau kenapa??” tanyanya dengan wajah panik.

Jari-jari Jerish memaksa mengangkat dagu Kenan karena perempuan itu tak mau jawab. Kenan memperlihatkan matanya yang merah dan pipinya yang sembab. Timbul belas kasih yang meremukkan hati Jerish.

“Kenapa? Kenapa kau tidak hina aku seperti mereka? Ketika Lena pergi karena aku yang membunuhnya, aku sudah kehilangan segalanya. Sekarang juga aku sudah kehilangan hidupku ketika musikku yang menjadi alasan untuk aku hidup pun diinjak orang. Kenapa bukan aku saja yang mati menggantikan Lena!?”

“Jangan mengambinghitamkan hal lain untuk lari dari masalah, Kenan.”

“Memang! Aku membuat Lena menjadi alasanku hidup seperti ini!”

“Lalu kau puas setelah belasan tahun hidup dengan cara seperti itu? Kau puas dengan rasa bersalah? Kau puas mengutuki dirimu sendiri? Aku memang tak tahu semua masa lalumu tapi untuk apa kau menyalahkan diri sendiri? Bukan kau yang membunuh sahabatmu itu, Kenan!! Berhenti menjadikan orang yang sudah mati sebagai harapan dan tujuan hidupmu! Bukan untuk itu Tuhan menciptakan kau, Kenan!!”

Kenan terperangah. Belum ada seorang pun yang terang-terangan mengatakan hal itu padanya, sekalipun itu keluarga Challysto dan tante Merry yang sangat menyayanginya. Tidak ada seorang pun yang mau mengatakan itu–yang terlalu jujur dan terkesan kejam–dan memaksa membuka matanya dari kegelapan yang disembunyikannya.

“Lalu siapa yang membunuhnya? Siapa? Siapa!? Kalau waktu itu aku bisa merendahkan diriku ke keluarga Challysto, dia tak perlu mati dengan cara seperti itu!!” Kenan menjerit frustasi. “Lalu untuk apa Tuhan ciptakan aku? Untuk apa aku menanggung semua ini? Kejam sekali Ia padaku!”

Jerish mendekap pundak Kenan erat-erat. “Dengarkan aku, Kenan.” Sejenak kekalapan Kenan tenang. “Tidak ada yang membunuhnya. Tidak ada seorang pun yang membunuhnya. Kalau sekarang dia tidak ada di sini, pasti ada alasannya. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri dan berhenti menyalahkan orang lain. Tuhan itu tidak kejam seperti yang kau pikirkan. Ia berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Dengarkan aku, Kenan. Sampai mati pun kau akan tetap seperti ini kalau kau masih menggenggam perasaanmu. Kau mau seperti itu? Memangnya sahabatmu itu mau kau seperti ini?? Ia bisa bangkit lagi dan menampar wajahmu.”

Mata Kenan berkaca-kaca. Pesan-pesan yang terpotong-potong dari Lena, Vincent, juga Jerish telah tersambung menjadi pesan yang membuat hatinya kelu.

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri lagi,” ulang Jerish yang kesekian kalinya. “Jangan diam di tempat setelah hal buruk terjadi tapi teruslah jalan ke depan karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang, Kenan.”

Air mata Kenan berhenti mengalir. Akhir dari adu debat, Jerish tak sadar tubuhnya bergerak merangkul Kenan seperti seseorang yang takut ketika benda rapuh yang dipegangnya hancur.



Vincent datang menjemput Kenan setelah ditelepon oleh Jerish–entah darimana dapat nomor teleponnya. Selang beberapa menit sebelum pelayannya datang, Jerish pergi supaya Kenan bisa lebih nyaman.

Mirip ketika Kenan pertama kali datang ke hall saat debutante, sepanjang perjalanan pulang dalam mobil ia hanya diam saja. Tangannya sibuk mengetuk-ketuk tas violin. Di sisi lain, Vincent yang menyupir pun tetap terus diam.

Aku bisa menyindirnya seperti pejabat korupsi yang mencari-cari perhatian polisi untuk minta didakwa. Padahal, akulah orang yang sebenarnya mencari-cari orang lain yang bisa mendakwaku. Sudah cukup aku ditimang-timang seperti bayi. Otakku yang korslet ini memang butuh dakwaan.

 “Setelah ini Nona ada acara?” tanya Vincent tiba-tiba.

“Kuliah sore,” jawab Kenan singkat.

Tanpa banyak bicara Vincent mengangguk. Meskipun tak ada niat, mata Kenan sempat melihat ke arah kaca spion juga dan melihat anggukan kecil itu.
Aku memang perlu seseorang yang bisa membuka pemikiranku yang sempit dan angkuh.

|| Sion ||

Oh ya, jangan lupa baca story Black Lady the Violinist dengan versi ending terbaru ya~
Jadi kalau ada yang tidak puas sama versi cerita ini bisa langsung baca ke sana. wkwkkw

https://www.wattpad.com/myworks/86069717-black-lady-the-violinist

Thursday, 3 January 2019

Chapter 23

Hai hai :3
Maaf ya sebelumnya Sion menghabiskan waktu semaleman sampai ganti hari buat ngerjain artikel itu. Hehe. Meskipun masih bau kencur, Sion pengen lanjut nulis artikel dan memberi wawasan baru ke teman pembaca semua >--<
Stay tune untuk postingan di blog Sion ya #grin


____________________________________________________________________________


Chapter 23





 “Nona tidak pergi?” tanya Vincent pada Kenan ketika melihat Kenan seharian duduk di depan perapian.

“Ah, aku pikir kau orang yang pintar bersandiwara. Tapi ingat ya, itu menyebalkan. Meskipun Beethoven memeluk teddy bear sambil menghisap jempolnya di depanku,” sahut Kenan membuat Vincent melongok. “Kau pasti ingat teman perempuanku di Brokeveth dulu. Samantha Sadykova.”

“Ya, Nona. Lalu?

Tangan Kenan menopang dagunya. “Entah apa yang kupikirkan dulu, sehingga aku bisa membongkar kebohonganku sendiri hanya di hadapannya.”

“Ada alasan lain sehingga Nona membuka rahasia sendiri?” tanyanya heran.

Dengan perasaan kebas Kenan melemaskan badannya di sofa.

“Aku sendiri tak mengerti mengapa tak kulanjutkan saja kebohongan bodoh itu. Waktu itu yang terlintas di pikiranku adalah permainan biolanya yang amat payah.” Kenan menghela nafas. “Aku terlalu meremehkan orang lain.”

Lady Sadykova menang dalam persaingan dingin dengan Nona di medan perang panggung Wina?”

“Kejujuranmu membuatku ingin menghantammu, Vince.”



Cukup lama Kenan tak berdiri di panggung lagi. Seseorang yang seperti Echinodermata, hidup di dasar samudra tiba-tiba muncul dan mengambil alih peran juga posisi Kenan di mata Wina. Kenan mungkin merasa dalam zona nyaman selama 2 tahun di Wina dari Inggris sehingga tidak memperhitungkan mantan teman satu sekolahnya di Brokeveth, Samantha Sadykova.

“Sungguh aku lebih tak mengerti kenapa aku bisa kalah dengan bujukanmu,” keluh Kenan pada pelayannya yang sedang tenang ketika menyupir.

“Agar Nona jangan lari terus ketika menghadapi masalahan yang Nona buat sendiri.”

“Wah, bagus sekali kau sudah pintar menyalahkanku, Vince.”



“..., bravo!” seru seorang musisi profesional dari Wina setelah Sam menyelesaikan permainan biolanya.

Bravo karena telah sukses membalikkan keadaan, Sam, pikir Kenan.

Sam yang puas dengan penampilannya menundukkan badannya dengan tersenyum. Senyuman itu entah karena bangga pada penampilannya atau karena telah berhasil menyingkirkanku sekaligus membalaskan rasa kesalmu dulu?

“Jadi, aku masih mempertanyakan kenapa aku ada di sini, Vince?” tanya Kenan dengan wajah bosan begitu sampai di hall Aula Smetana setelah pergi duluan dari penonton lainnya.

 “Coba Nona pikirkan dengan kepala dingin.” Vincent mencarikan tempat duduk untuk Nonanya.

“Oh, kepalaku sudah beku karena dinginnya cuaca. Apalagi yang harus –“

“Ah, siapa yang kutemukan ini yang tetap berjalan bersama butler-nya?” seru Sam tiba-tiba, “di saat salju menumpuk pula.”

Terlanjur tertangkap basah, mau tidak mau Kenan harus berhadapan langsung dengan pokok masalahnya; Samantha Sadykova, Challysto, Praha, Wina, peran solo yang diambil alih, dan dendam. Kentara sekali dari cara Sam sengaja berbondong-bondong membawa para musisi dan komposer terkenal ke depan mukanya.

“Selamat malam, nona Sadykova,” sapa Kenan datar.

Para orang-orang terkenal yang mengelilingi Sam tercuri perhatiannya karena kehadiran orang yang tak disangka-sangka akan muncul dalam pertunjukkan orang lain. Kenan memang dikenal sebagai orang yang harga dirinya tinggi untuk datang pada resital selain dimana dirinya terlibat.

“Wah, dingin sekali sapaan nona Alexa ini?” tanya Sam dengan wajah manis. Licik tentunya. “Sama seperti waktu itu. Apa karena waktu luang membuatmu bosan?”

“Tidak juga,” jawab Kenan singkat karena sudah merasa resah akibat pandangan tidak mengenakan dari para tamu terbaik Sam dan berdiri.

“Apa karena tiba-tiba aku meminta sedikit jatah tampilmu,” tadas Sam, “nona Challysto tersayang?” Mata Kenan melotot.

Buyar sudah. Memang sudah waktunya amarah Sam meledak. Meskipun berusaha bersiap, kata-kata bak halilintar di siang bolong itu tetap membuat mata Kenan melotot. Bukan hanya dia, melainkan semua orang yang mendengar sanggahan manis itu.

“Nona Sadykova, Anda ini bicara apa?” tanya tuan Percy, seorang komposer terkemuka dengan nada geli. “Meskipun nona Ana Alexa sering tampil bersama Ferliaz Challysto, Anda jangan salah mengira kalau –“

Jari telunjuk Sam memegang pipinya sendiri. “Ehmm.. aku yakin itu buka salah kira.” Melihat Kenan yang sudah tenang, api amarah Sam makin terbakar. “Namanya memang bukan Ana Alexa. Ia juga punya darah keluarga Challysto. Apa namanya ya? Putri yang terhilang lalu berhasil dipungut kembali, bukan?”

Semua tamu terhomat yang berdiri di sekeliling Sam melemparkan pandangan menggelegar pada Kenan. Di saat yang sama, Ryan yang baru keluar dari dalam gedung pertunjukkan juga kaget mendengar ada seseorang yang tahu rahasia mereka.

“Apa nona Alexa sebenarnya mendapat reputasi dan kepercayaan akibat pengaruh Challysto secara diam-diam? Oh, siapa tahu?” sindir Sam. “Pantas dia bisa naik peringkat menjadi profesional dalam waktu singkat. Membuat iri saja.”

Mendengar hal yang kejam bagi Ryan mengenai sepupunya, tanpa pikir panjang ia lari mendatangi Sam dari belakang untuk membela mati-matian adik sepupunya. Alhasil, makin melimpah saja bisikan-bisikan tidak mengenakan.

Sebelum Ryan sempat angkat bicara setelah berhasil berdiri menghalangi Kenan dari pandangan Sam dan orang-orang lainnya yang mulai mengkerutkan wajah, tangan Kenan terangkat, menyentuh pundak Ryan.

Kenan tersenyum pahit. “Kupikir aku sudah siap untuk kehilangan segalanya lagi yang telah dibangun di atas pondasi kebohongan.. tapi nyatanya tidak.”

“Jadi itu benar, nona Alexa?” tanya semua orang berentetan.

Ketika Ryan sekali lagi ingin mengambil alih keadaan, tangan Kenan menggengam lengannya. Kenan berusaha menenangkan Ryan yang hampir kehilangan akal sehatnya demi dirinya.

Kenan menggeleng. “Sudahlah, Ryan. Aku lelah hidup seperti ini. Aku sudah lelah berbohong seumur hidup.” Ryan tersentak.

Suasana yang tadi tegang bukan main langsung berubah gempar. Orang-orang yang daritadi hanya diam untuk menonton pertunjukkan yang lainnya dalam sekejab ikut memeriahkan suasana dengan bumbu-bumbu tak sedap didengar.

Tidak ada tambahan pembelaan. Kenan undur diri dari tempat itu diikuti oleh pelayan setianya dan pergi begitu saja meskipun banyak orang menyerukan namanya.
“Apalagi ini??” tanya Ryan yang otaknya mentok dan pedih hati. “Kenan...” ucapnya lirih sambil melihat kepergian sepupunya.


|| Sion ||


Hai semua...
Rasanya aku lagi terjebak dengan kebosanan :')
Planning-ku banyak yang lagi mentok dan lumayan membuat down. T__T
Novel yang thriller juga mentok di jilid duanya. #sad
Eh jadi curhat. Gomen >___<

Apa yang Dunia Rayakan pada 1 Januari?

Perayaan pada 1 Januari

Selamat tahun baru 2019...!
Sumber: Sembrat, S., unsplash.com


Sebagian besar warga Negara di bumi akan menengok ke langit seketika tahun berganti. Dalam rangka perayaan tahun baru, tanggal 1 Januari, langit penuh dengan pertunjukkan kembang api. Di Indonesia salah satunya. Trompet, jagung bakar, dan petasan tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan penduduk Indonesia saat menonton pemandangan kembang api tersebut.


Dahulu “New Year’s Eve” Tidak Dirayakan pada 1 Januari

Sumber:history.com
Pesta perayaan tahun baru yang pertama terjadi di Babilonia 4000 tahun silam. Berdasarkan mitologi kepercayaan Babilonia, tahun baru berarti festival penyambutan bulan baru (mengikuti kalender lunar-solar). Bukan di tanggal 1 Januari, tahun baru dirayakan di penghujung bulan Maret.
Fenomena yang terjadi setiap akhir Maret adalah keseimbangan lamanya siang dan malam. Babilonia menandai kejadian alam tahunan ini sebagai kelahiran alam kembali. Festival tahun baru diadakan untuk melambangkan penyucian oleh dewa-dewa agar penyembahnya dapat menikmati lagi ‘musim semi’.


Kalender Romawi yang Mengawali Tahun Baru di Tanggal 1 Januari

Penanggalan di Romawi mulanya mengikuti kalender lunar, sehingga dalam satu tahun hanya ada 10 bulan (304 hari). Orang-orang Romawi merayakan tahun baru mereka di bulan Maret sebagaimana penduduk di Babilonia. Kemudian 46 tahun sebelum masehi, yakni sejak masa pemerintahan Julius Caesar, penanggalan Romawi berubah mengikuti kalender solar. Keputusan Julius berdasarkan pada pertimbangan ketidakaakuratan sistemasi kalender lunar dari tahun ke tahun. Hal tersebut menimbulkan banyak kesalahan pada kejadian-kejadian penting seperti waktu panen atau acara besar keagamaan. Untuk memperbaikinya, dilakukan penambahan bulan; Ianuarius (Januari) dan Febriarius (Februari) pada kalender baru mereka. Romawi menyambut pembukaan tahun pada 1 Januari di sistem kalender baru mereka sebagai perayaan tahun baru.

Pada tahun 1582, kalender Gregorian dibuat mengacu pada kalender Romawi. Kalender yang merupakan hasil pembaharuan kalender Romawi tersebut menjadi penanggalan yang digunakan sebagian besar warga Negara di dunia hari ini.


Perayaan Lain yang Jatuh di Tanggal yang Sama

Sumber: news.am
Di saat sebagian banyak penduduk Indonesia makan dan minum dalam sukaria tahun baru, saudara kita menahan keinginan lapar dan dahaga. Jatuh di tanggal yang sama, umat  Katholik di seluruh dunia merayakan hari Perdamaian Dunia.
Paus Paulus VI menyatakan dalam suratnya yang ditulis di Vatikan bahwasannya semua umat dari gereja Katholik mengawali tahun dengan berpuasa. Terhitung sejak 1 Januari 1968. Melalui tradisi keagamaan berpuasa, umat Katholik membawa doa untuk tahun yang baru penuh harapan.


Memulai Tahun dengan Resolusi

Sumber: Slim, V., Youtube, dari
www.qualitylogoproducts.com
Setiap Negara punya kebiasaan unik dalam merayakan tahun baru. Seperti halnya memainkan alat musik bagpipes serta drum di Skotlandia. Atau melemparkan roti ke dinding untuk mengusir roh jahat di Irlandia. Bahkan berkumpul secara masal di tengah alun-alun kota seperti di New York dan Denmark. Demikian halnya di Indonesia yang memiliki adat kebiasaan unik dalam merayakan tahun baru. Di kota-kota besar seperti Jabodetabek, orang-orang cenderung berkumpul membentuk masa yang besar di; bundaran HI, Puncak Bogor, Kota Kembang, Lembang dsb. bersama teman atau  keluarga. Sebagian kecil memilih untuk menghabiskan liburan bersama keluarga di dalam rumah dan menikmati jamuan tahun baru.

Namun, tidak terlepas dari eforia kemeriahan perayaan tersebut, setiap individu di seluruh bagian dunia akan diingatkan kembali mengenai resolusi. Mengingat kembali apa yang belum terlaksana di tahun sebelumnya lalu bertekat untuk melakukannya di tahun yang sekarang. Dalam resolusi juga terkandung tujuan baru agar terjadi perubahan di masa mendatang.
Resolution!!
Sumber: Gergelizhiu, A., dreamstime.com
Bagi umat besar Khatolik yang turut merayakan Hari Perdamaian Dunia, Paus Paulus VI menghimbau jemaatnya mendedikaskan resolusi atas kemanusiaan juga kedamaian moral. Sejalan dengan kepercayaan umat Katholik dimana mereka diutus ke dunia untuk memberkati sesama manusia dengan kedamaian yang datang melalui Yesus.

Menyusun ulang resolusi setiap awal tahun rupanya bukan hal baru bagi penduduk jaman modern maupun umat Katholik. Kebiasaan ini sudah dipraktikkan sejak Babilonia kuno merayakan tahun baru di bulan Maret. Mereka berjanji setiap tahunnya melakukan berbagai kebaikan untuk memperoleh perkenanan dewa-dewa yang mereka sembah.

Sumber: history.com
Apapun dan dimanapun manusia berada, perayaan tahun baru diadakan sebagai bukti terhadap kepercayaan yang mereka pegang. Tujuan utamanya hanya satu, mendoakan keberuntungan dan kebahagiaan dalam menyongsong hari depan yang lebih baik.



Referensi:

Gergelizhiu, A. (28 Oktober 2017). Notebook with Text "New Year-New Goals", Pencil, Gift Boxes, Nuts, Fir Branches, and Cup of Tea. Diakses pada 3 Januari 2019. https://www.dreamstime.com/notebook-text-new-year-goals-pencil-gift-boxes-nuts-fir-branches-cup-tea-winter-holidays-concept-white-wooden-table-image133362215.

Holloway, A. (30 Desember 2013). The Ancient Origin's of New Year's Celebrations. Diakses pada 2 Januari 2019. https://www.ancient-origins.net/myths-legends-important-events/ancient-origins-new-year-s-celebrations-001181.

Mertes, A. New Year's Eve Tradition Around the World. Diakses pada 2 Januari 2019. https://www.qualitylogoproducts.com/blog/new-years-traditions-facts-around-the-world/.

Paulus PP. VI. Message of His Holiness Pope Paul VI for the Observance of a Day of Peace. Diakses pada 3 Januari 2019. http://w2.vatican.va/content/paul-vi/en/messages/peace/documents/hf_p-vi_mes_19671208_i-world-day-for-peace.html.

Sembrat, S. Person Looking at Fireworks Display. Diakses pada 3 Januari 2019. https://unsplash.com/search/photos/firework.

Snowden, B. The Curious History of Gregorian Calendar: Eleven Days that Never were. Diakses pada 2 Januari 2019. https://www.infoplease.com/curious-history-gregorian-calendar.

Tanpa Nama. (12 September 2010). New Year's. Diakses pada 2 Januari 2019. http://w2.vatican.va/content/paul-vi/en/messages/peace/documents/hf_p-vi_mes_19671208_i-world-day-for-peace.html.

Tanpa Nama. (1 Januari 2018). January 1 is World Day of Peace. Diakses pada 3 Januari 2019. https://news.am/eng/news/426100.html.

[Dipersilahkan untuk share tapi tolong etikanya untuk mencantumkan referensi blog Sion dan bukan asal copy-paste karena Sion nulis pakai otak, tenaga, dan waktu bukan asal comot. Makasih :)]