Bada bada bum bum.... XD
Sion kembali lagi setelah 1 dekade chapter stop karena vakum. Tunggu, alasanku vakum apa ya? Kok aku lupa??
Sion kembali lagi setelah 1 dekade chapter stop karena vakum. Tunggu, alasanku vakum apa ya? Kok aku lupa??
Well, siapa juga yang peduli ya?
Mari kita lanjutkan.... bagaimana nasib Kenan selanjutnya di Inggris??
Sebelum mulai, mari dengarkan ini dulu.... aku mau lanjut studi S-2 di Britania Raya, dekat major house keluarga Challysto itu lho~
Jadi, latar tempat yang kutuliskan ini semuanya nyata~
Fufufu
Nah, siapa lagi yang peduli soal ini ya?? Maafkan aku....
Chapter
11
Kenan terbiasa bangun pukul 5 pagi. Meski
suhu di rumah itu mengerikan dan sekolah baru dimulai pukul 8, ia tetap ngotot
bangun sambil gemelatukan gigi. Kenan
menarik
selimut lain yang ia temukan
dan berjalan keluar kamar. Suasana di rumah itu sangat
sunyi seakan-akan hanya dia yang hidup di sana.
Telinga Kenan mendengar percakapan di pekarangan depan.
Tanpa perintah kakinya
melangkah sampai di depan jendela. Kenan
membukanya sedikit saja tapi udara sedingin es menusuk kulitnya yang mulai memucat. Kenan tak menghiraukannya karena ia ingin tahu siapa yang sedang
bercakap-cakap di rumahnya
yang senyap pada pagi buta itu.
“…, well,
it is so ordinary to heard about Mrs. Ritsena but I have never hear if she has
a daughter. I am very surprise when Mr. Ferliaz have take along a young girl
who he said that she is his cousin,” kata seorang yang
seperti tukang kebun.
Kenan pikir ia memang tukang kebun karena ia berbicara dengan butler di pekarangan rumahnya sambil mengenakan topi jerami. Namun, kelanjutannya tak terdengar lagi karena
tubuhnya terseret di dinding sambil menggigil. Tekanan dingin yang masuk pelan-pelan
menyakitkan. Telinganya serasa
hampir pecah.
“Miss! Are you okay?!” seru sang butler yang merangsek masuk panik.
Kenan yakin butler itu mendengar suara bedebum pelan dari jendela yang tertutup
sendiri setelah terlepas dari tangan kaku Kenan. Ia tak bisa menjawab karena mulutnya beku.
Sang pelayan tanpa perintah langsung menggotong nonanya ke
kamar. Kenan
di dudukan di kursi di depan perapian. Hangat. Kenan rasanya hidup kembali.
“Thanks, Sir.”
Sang pelayan menggeleng seperti sang koki menggeleng karena ia memanggilnya sir. Ia pun meninggalkan
Kenan
sendirian dalam kenyamanannya.
Tanpa Kenan sadari
ia pun kembali terlelap.
Kenan terbangun karena nyanyian burung di
dekat kaca jendelanya. Ia terlompat dari kursinya setelah
melihat jarum jam hampir menunjuk ke angka 7 di jam dindingnya. Kalau di
Indonesia ia
pasti sudah menjerit terlambat sampai
semua bulu-bulu burung itu gundul. Kenan melempar
selimutnya ke tempat tidur lalu berlari keluar kamar.
Sang pelayan
tiba-tiba masuk dari pintu depan lalu menghampiri Kenan. “You
already wake up, Miss,” sapanya terlalu sopan. Kenan mengangguk. “My honor, Miss. My name is Vincent Reamer, as your butler. Do you feel
hungry, Miss?” Tanpa Kenan
pungkiri
ia langsung mengangguk. “You could get prepared yourself to go to school,” katanya dengan
sopan sambil membungkukan badan.
“Benar-benar butler,
yang tak akan ada di Indonesia,”
ujar Kenan takjub, “dengan matanya yang berwarna biru keabu-abuan.”
Kenan kembali ke kamar untuk mandi dan
bersiap-siap. Yang terpikir, apa di sekolah itu ada seragamnya? Ia pun mengacak-acak seisi lemari pakaian dan
tak menemukan yang dicarinya. Ia
pasti akan merindukan seragam putih birunya
dulu dan sangat menginginkan seragam putih abu-abu untuk 3 tahun mendatang.
Tubuh Kenan tertolong karena di kamar
mandinya ada bath-tub berisi air
panas. Selesai mandi tanpa buang banyak waktu ia langsung berpakaian supaya hawa dingin tak
menusuk tulangnya
lagi. Memalukan sekali kalau ia
ambruk hanya dengan handuk. Ya meskipun tak ada juga yang mau lihat.
Selesai berpakaian
dan mengambil buku-buku yang ada, ia
keluar kamar dan berjalan dengan linglung. Sang butler dengan baik hati menuntun nonanya. Olehnya Kenan didudukan di meja makan dan dalam
beberapa menit hidangan tersedia di depannya.
Hidung Kenan
begitu gatal dan mulutnya
rasanya ingin sekali mengunyah.
Dasar
mulut dan hidung yang
tak tahu diuntung.
Pukul 07.18 A.M Kenan berangkat dari rumah ‘kecil’nya menuju sekolah. Catatan kecil Ryan
menempel erat dengan sarung tangannya
untuk menunjukkan arah menuju sekolah. Kalau benda itu hilang, nyawanya juga sama.
Setelah setengah
jam Kenan naik
turun bus sambil tersesat, ia
pun tiba di sekolah yang waktu itu mereka
kunjungi saat tengah malam. Ia ragu untuk masuk karena anak-anak yang
datang kebanyakan naik mobil. Ia
makin ragu untuk masuk sampai sang penjaga sekolah menuntunnya ke salah satu guru terdekat. Sang guru pun
menyambutnya. Kenan melihatnya seperti ‘guru di sekolahnya dulu yang ia anggap berbahasa Indonesia’. “Anak baru?
Saya memang mendengar sekolah kita akan kedatangan murid baru. Boleh saya tahu namamu?”
tanyanya sopan tapi berwibawa.
“Kenan Grace, Miss. Selama ini saya tinggal di
Indonesia, jadi bahasa Inggris saya kurang
fasih. Jadi mohon bantuannya,” jawab
Kenan.
Guru itu mengangguk. Selanjutnya selama
perjalanan ke ruang kepala sekolah sang guru bercerita dengan bahasa Inggrisnya
yang dibuat lelet.
“Ini murid baru, Pak
kepala sekolah.”
Sang guru
menyerahkan Kenan
pada kepala sekolah begitu ruangannya dibuka. Beliau menyambut Kenan dengan hangat. Beliau mirip
kepala sekolah di sekolahnya
yang lama. Hal itu membuat Kenan
merindukannya dan membuatnya
jadi tersenyum sendiri sampai senyumnya
seketika langsung menguap karena terdengar suara seseorang yang sangat sangat
tak ingin ia dengar.
“Good morning, Kenan!”
sapa Ryan yang muncul dari sudut ruangan.
“Kenapa kau ada di
sini?” tanya Kenan sinis, menahan ingin meninju.
Hebatnya Ryan
mengulang pertanyaannya.
“Why am I here? Because I miss my little
cousin!”
serunya lantang. Kenan menyeringai. Ia sadar benar Ryan serta keluarganya punya
pengaruh untuk menguasai suatu sekolah dan kepala sekolahnya. Terlihat jelas
dari wajah tenang beliau waktu dengar kata ‘cousin’.
Beberapa saat
kemudian seseorang mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan. Kenan kaget karena yang masuk itu adalah...
“Morning,
my Niece,” sapa paman Anderson gagah. Persis Lena dulu.
Anak
dan bapak sama saja. Hidung Kenan
mengernyit. “Celebration for a little reunion. Very pleasant,” jawab Kenan menahan kesal. Tawa Ryan meledak.
Pamanku
yang tercinta tak pernah mengajari putra semata wayangnya sopan santun ya?
Hebat sekali, tingkah suka-suka Ryan di ruang kepala sekolah.
Paman Anderson mengajak Kenan duduk. Paman yang mengajak, bukan
kepala sekolahnya. Anak dan bapak sama saja…
kasihan pak kepala sekolah…
Selama paman
berbincang dengan kepala sekolah, Kenan
melihat ke arah Ryan yang bertingkah semaunya.
Kalau
bibi Vani lihat, apa Ryan akan dijewer? Siapa lagi yang mendidik anak kera itu
kalau bukan bibi Vani??
Dari awal sampai
akhir pembicaraan yang intinya hanya membahas soal Kenan itu, Ryan sibuk berputar-putar di sekitar meja
kepala sekolah.
“So, you can go to your class at 1.4.”
Kata 1.4 membuat Kenan
rindu. “Do you want Ryan accompany you
till your class?” goda paman
Anderson.
Mulut Kenan tak tahan untuk mengumpat. “Makhluk
yang nangkring di sana itu pasti sudah cerita ke paman, kan? Cukup sampai situ
saja, hanya kita yang tahu.”
Kenan menggeleng-geleng. “Sebelumnya terima kasih, Pamanku.”
Kenan pergi dari ruangan. Ia mendengar kalau paman menggumam dan Ryan
tertawa. Tertawa di depan
orang yang ditertawakannya–pak kepala sekolah.
“Sial. Dasar anak dan bapak aneh. Keluarga
ini isinya orang-orang aneh dan kenapa aku malah ada di tengah-tengah mereka!?”
♣
Pintu terbuka, Kenan masuk ke dalam kelas asing. Guru yang sedang
mengajar berbaik hati menuntun Kenan ke depan kelas
dan memperkenalkannya, “anak-anak, ini
anak baru dari Indonesia, Kenan Grace,” seru ibu guru. “Bahasa Inggrisnya masih kurang lancar, jadi tolong
kalian semua membantunya ya.”
Anak-anak seisi
kelas itu sama sekali tak terlihat tertarik–apalagi niat bantu. Jadi, jangan harap bisa dapat perhatian.
Ya, untungnya, memang hal itu yang diharapkannya. Makanya, Kenan berbicara santai berdua hanya dengan guru.
Tiba-tiba seseorang
menyahut keras, “bolehkah aku tahu kau ‘siapa’?”
Dari intonasi pertanyaannya, kelihatan
sekali ia anak bangsawan suka pamer. Yah, beberapa anak malah turut mengangkat
kepalanya karena tertarik pada hal itu juga. Hal yang tidak penting seperti itu malah menarik buat
mereka.
Malas-malasan Kenan
menjawab pertanyaan anak itu dengan jawaban setengah bohong yang sudah
dipikirkannya. “Aku hanyalah anak yatim
piatu
yang ada di sini karena kerabat
jauhku
menemukanku lalu menyekolahkanku.”
Anak yang bertanya
tadi merasa kecewa. Begitu juga yang
lainnya.
Kenan senang karena
jawaban bernada datarnya tak jadi perhatian. Ia tidak peduli pada anak-anak
macam itu yang sok pamer harta orang tuanya. Dimana saja selalu ada orang
seperti itu. Tukang pamer kekayaan orang tua, suka bully, atau suka merendahkan orang lain. Jadi, itu hanya masalah
membiasakan diri.
“Grace bisa duduk di sana, di sebelah anak
perempuan yang rambutnya pendek. Namanya Samantha
Sadykova,” pinta sang guru mempersilahkan Kenan untuk duduk.
Kenan berjalan mendekati Sadykova dan ia menyapa Kenan dengan bibir datar yang nanggung
kejelasannya. Ketika Kenan
hendak duduk, ia merasakan ada hawa ganjil
di sekitar kursinya. Nyatanya, saat Kenan pura-pura mau duduk anak yang ada di
belakangnya
itu sengaja menarik
kursi dengan tali supaya ketika Kenan
duduk nanti kursinya jatuh. Untungnya Kenan sadar duluan.
“Tipuan murahan,” bisik Kenan. Anak itu mendecak kesal
karena gagal sementara si guru
memarahinya. “Anak bodoh lain dengan tipuan murahannya.” Anak itu melotot
karena tahu Kenan
sedang menghinanya. Dengan
kasar, ia meminta Kenan
berbicara bahasa Inggris. “Alright, your
goodself.” Kenan
tersenyum manis. “Previously I said, if
you are a
pudden boy who play with an idiotical tricks.”
Setelah merasa
adil, Kenan
lalu duduk santai di bangkunya
sementara anak itu memaki
Kenan
dengan suara lantang. Ibu guru pun tambah mengamuk tapi Kenan malah pura-pura
tidak tahu.
♣
Bel isitirahat
berbunyi tapi Kenan
tak ada niat mengeluarkan sandwich-nya
dari dalam tas. Ia
bahkan tak tahu harus berbuat apa di kelas asing itu.
Seseorang menyapa Kenan dengan pelan. “Hei, ejekanmu pada
anak itu keren.” Samantha Sadykova
menegur Kenan dari sebelah tempat duduknya.
“Ah, maaf Miss, bisakah kau memperlambat
pengucapanmu? Aku –“
Samantha tersenyum.
“Tentu, aku
mengerti.” Ia menggeser posisi duduknya. “Jadi, apa kau ingin tahu soal 1.4?”
tanyanya. Kenan
mengangguk. “Di kelas ini ada anak yang sangat menyebalkan. Ia duduk di
belakangmu. Tidak ada yang berani duduk di kursimu lagi karena dia. Nama bocah
itu Jerish Consta. Kau harus bersabar sampai kau dipindahkan dari tempat duduk
itu.” Wajahnya menunjukkan perasaan
iba.
Kenan akhirnya mau
mengambil kotak makan siangnya
dari tas
sebagai asupan sambil berbicang. “Kau mau, Sady?” tanya Kenan.
Samantha mengangguk
dan mengambil satu. “Thanks. Ah, panggil aku Sam saja.”
Kali itu Kenan yang mengangguk dan lalu melanjutkan
perkataannya. “Hmm, aku tak mau bersabar,” jawab Kenan. Sam terkejut. “Kalau aku melawan,
semua menganggap aku satu-satunya orang yang bisa duduk di sini dan tak akan
dipindahkan.”
“Kenapa? Kau ini
aneh,” ujarnya heran.
Kenan menelan kunyahannya. “Kalau aku pindah, kau akan sendirian
lagi,” jawabnya singkat. Sam tercenggang. “Aku bukan mau mengasihani tapi aku
tahu rasanya sendirian itu tidak
enak. Kenapa? Aku dari dulu memang
aneh.”
Sam terharu. “Kau
terlalu aneh. Tak ada satu pun orang yang memedulikanku tapi baru pertama kali kita bertemu kau langsung
berkata seperti itu. Terima kasih.”
Kenan menghela nafas. “Sama-sama. Oh ya –“
“Benar dia!? Kapan
tampilnya!?”
jerit para perempuan dari ujung kelas membuat Kenan menghentikan kata-katanya. Jelas itu jeritan fans-fans cewek terhadap satu cowok
populer yang kaya artis. Ampun deh.
“Apa kau tertarik dengan gosip mereka?” tanya
Samantha karena Kenan
memandangi mereka serius sekali untuk sesaat.
Pikiranmu
kemana sih, Sam? Ia merengut. “Kau gila ya. Di Indonesia
pun perempuan berisik waktu bicara soal cowok populer. Dimana-mana sama saja.”
Sam mangut-mangut.
“Tapi kalau populer sampai seluruh Inggris atau yang sampai seluruh dunia, aku
yakin itu tidak bisa sesimpel itu.”
Kenan menghela nafas lagi. “Memangnya
siapa? Aku jadi penasaran.”
Sam mengangkat
alisnya. “Keluarga itu memang super kaya. Dengan uang saku putra tunggalnya
saja bisa membeli rumah!”
Kenan teringat pada Ryan yang bisa
mengeluarkan dompetnya dengan mudah untuk membelikannya rumah. Masih ada yang lebih kaya? Luar
biasa.
“Jari tangan dari
keluarga mereka bisa memainkan alat musik
apapun. Semua yang mendengarnya merasa itu alunan terindah di dunia!” lanjut
Sam lebay.
Kenan ingat lagi pada Ryan dan pianonya.
Masih ada yang lebih jago? Amazing.
“Apalagi dia ada di
sini. Eluan namanya takkan berhenti. Sam menarik bibirnya sambil berpikir. “Setiap hari, setiap saat. Selalu ada jeritan para
perempuan!”
“Sekolah ini ajaib.
Anak macam itu saja ada di sini. Jadi, siapa namanya?” tanya Kenan malas sambil menyuguhkan satu sandwich lagi ke mulutnya.
“Kau bisa mencarinya sepulang sekolah nanti! Kalau beruntung bisa melihat langsung.
Ia selalu kabur dengan mobil mewahnya.” Kenan teringat lagi dan lagi dan lagi pada Ryan yang tidak tahu tempat membawa
mobil mewahnya–apa itu? Lamborgini? Ferarri? Apa
pun mereknya itu–ke daerah perkampungan. “Ah, enak ya yang
sekelas dengannya. Ah, dia dari bagian SMA, namanya Ryan Ferliaz Challysto.”
|| Sion ||
No comments:
Post a Comment