Happy new year~
Gimana liburan kalian semua reader?
Gimana liburan kalian semua reader?
Sion di rumah tepat jam 11:56 P.M tanggal 31 Desember 2016 setelah nonton si Mas Ganteng dari Decendent of the Sun, keluar teras nontonin si Unyu, kucing gue yang rada geblek. Bukannya nontonin kembang api, nontonin si Unyu lebih asyik, Cuk. Kembang api pertama, pas Unyu denger, dia malah berdiri pakai 2 kaki~
Ngapain coba?
Terus, setiap ada kembang api yang meletus, dia melongo terus lari. Sampe akhirnya kabur ke semak-semak XD
Wkwkwkwk.
Wkwkwkwk.
Ya sudah, ini hadiah tahun baru dari Sion.....
Cerita Kenan di Inggris kembali lagi di tahun 2017~~
Salam. 40 jam pertama di tahun 2017 <3
Salam. 40 jam pertama di tahun 2017 <3
Chapter
12
Kenan tersedak lalu batuk-batuk. “Kau
kenapa!?”
tanya Sam kaget.
Kenan menggeleng-geleng. “Tidak, tidak.
Maafkan aku. Aku hanya kaget.”
Rasa penasaran itu
jelas di jidatnya. “Kaget? Mengapa? Kau kenal tuan Ferliaz ini? Oh ya, kudengar ia
juga blasteran Asia sepertimu. Ibunya
orang Singapura.”
Tuan?
Jijik aku dengarnya. Semua orang sepertinya selalu kagum pada darah Challysto
kami ini. Ah, bibi Vani
orang Singapura ya? Aku baru tahu.
Tentu Kenan pura-pura kaget supaya Sam tidak
curiga. “Bagaimana bisa kenal orang yang sangat terkenal seperti itu? Namanya
cuma familiar. Aku kan baru sampai Inggris. Mana mungkin aku bisa kenal. Lalu, bagaimana lagi dia?”
“Di Brokeveth ini,
Ferliaz bintang musik!!. Dia ceria, dewasa, keren, dan jadi incaran nomor satu para
siswi di semua kalangan,”
tambahnya.
Pesawat
kemarin salah tempat mendarat ya? Atau pramugari sukses membuang Ryan yang asli
ke samudra Artik sebelum landing waktu aku tidur?? Tapi yang paling parah, Sam kok tak ada malunya kagum
begitu, batin Kenan tak tahan
ingin muntah-muntah.
“Oh ya, alat musik apa yang ia bisa mainkan?” tanya Kenan mengalihkan pembicaraan sebelum telinganya bernanah.
Sam tersenyum.
“Alunan pianonya sungguh mengagumkan. Lalu, kuderngar ia ia bisa main violin,
flute, bassoon, perkusi... ?”
“Masih ada yang
lainnya? Hebat sekali dia. Padahal menguasai satu alat musik saja susah, kan?”
Mulanya Kenan ingin kagum tapi mengingat kelakuan asli Ryan malah jadi jijik.
Pundak Sam naik.
“Begitulah. Itu alasanku kagum padanya.”
Andai
kau tahu aslinya dia, Sam. Kenan melirik Sam. “Oh ya, kau main alat musik apa? Kudengar di sini pelajaran
musiknya yang terbaik ya?” tanyanya.
Sam mengangguk.
“Benar. Aku,
aku main violin, kadang viola,”
jawabnya ragu.
Kenan tersenyum ketika ia berkata violin,
dan sebenarnya ia
juga ingin mengatakan ‘aku juga!’ dengan antusias tapi sayang itu mustahil.
“Kalau kamu, Grace?” tanyanya balik.
“Panggil Kenan saja,” pinta Kenan. “Tidak,
aku tidak main musik,” jawabnya
berbohong.
Sam memandang dengan kaget. Matanya terbelalak bagai ikan koki yang secara tak sengaja menelan koin Time
Zone.
“Hei! Ada anak lainnya yang tak bisa main musik di
sini!?” potong seseorang
dengan tawa yang meledek. Kenan
ingat anak itu. Jerish Consta. Karena
tawanya, semua mata jadi tertuju padanya. “Ada pecundang kedua selain Sadykova di
sini!” Kenan
diam. “Kalian memang pantas berteman karena kalian sama-sama pecundang!”
“Lalu masalahmu
apa, Consta? Yang tidak main musik aku dan tidak ada urusannya denganmu. Lagipula,
dasar hinaanmu apa? Padahal selama ini kau bisa mengejek orang lain karena kekayaan
orang tuamu. Orang tuamu, bukan kau.”
Jerish terkejut.
Kenan, anak baru dan sudah dua kali membalasnya. Padahal seumur-umur belum
pernah ada orang yang menghinanya. Tangannya menggapai-gapai siap memukul Kenan tapi untung saja Sam menyelamatkannya karena kalau tidak pulang
sekolah nanti pipi Kenan pasti
bonyok. Sam menarik Kenan ke luar kelas.
“Apa kau gila!? Consta itu dari keluarga pemusik yang berpengaruh bagi
sekolah ini! Kau bisa langsung dikeluarkan kalau melawannya!! Kau baru masuk
sudah berulah, Kenan!” seru Sam berkali-kali.
“Ergh, diamlah Sam.” Kenan menutupi telinganya dari jeritan teman barunya itu. “Kau tenang saja. Aku takkan dikeluarkan
dari sekolah ini. Jadi, kita tinggal lihat, yang kalah aku atau Conta dari Brokeveth
ini.”
Sam memandang ngeri.
“Kau, benarkah ceritamu tadi soal kerabat?”
“Buat apa aku
mengarang cerita?” Alis Kenan
terangkat. “Tentu saja.”
Tentu
saja aku bohong, Sam. Aku bukan orang yang bisa dipercaya. Mulai sekarang
pertaruhanku akan jadi seru sebagai seorang violinist dari keluarga masyur Challysto dan sebagai
putri Ritsena Angelina yang disembunyikan.
♣
Dua minggu sudah Kenan bertahan di sekolah barunya. Meski selalu ada gangguan tiap harinya, khususnya
dari Jerish Consta, tak sekalipun Kenan mengeluh. Satu
hal yang membuatnya
tahan
banting, Lena yang terbaring di rumah sakit. Hatinya perih tiap kali menjenguk
dan mendapati dirinya dengan selang-selang itu sedang menatap ke kaca. Tak ada
yang bisa ia lakukan
selain menghiburnya dengan voilin.
“Ayo main lagu
kesyukaanku!” pinta Lena berulang-ulang.
Kenan mengehela nafas sambil melepaskan violinnya
dari pundaknya
yang pegal.
“Kapan kau bosan
sama lagu itu?” Lena menggeleng senang. “Oke oke.” Kenan meletakkan kembali violinnya di
pundak. “Wieniawski: Polonaise Brillante No.1 Op.4.”
Kenan menggesekkan kembali violin agar sahabatnya tersenyum.
Ketika saat jenguk
terlarut sudah berakhir dan Kenan
diusir oleh perawat di rumah sakit itu,
dengan
sedih ia melambai pergi
pada Lena yang lagi-lagi kembali menatap ke kaca dengan pandangan kosong.
“Aku tahu, Lena.
Kau rindu sekolah, kau rindu kehidupan lamamu yang tak bisa kau dapatkan lagi,” bisik Kenan dengan wajahnya yang tersiksa.
Ketika tiba di
rumah, Kenan
melenggang masuk ke kamar. Hatinya
sakit tiap kali ingat Lena yang hanya bisa menghabiskan waktunya di rumah sakit,
sedangkan ia
menikmati kemewahan itu.
Keduanya tidak adil! Kenan
memeluk bantal seakan-akan
ia memeluk perasaan bersalah yang ada di hatinya.
Pagi harinya Kenan bangun dan melihat pesan dari Ryan di ponselnya.
Hei, besok libur karena rapat tahunan sekolah. Jadi, aku ke rumahmu
ya? Jangan ke tempat Lena dulu.
Dengan perasaan bad mood Kenan membalas pesan Ryan. “Orang yang bernama Ryan tidak diterima di
pemukiman Kenan.”
Kenan meletakkan ponselnya di tempat tidur
dan pergi mandi. Selesai mandi ia
mendapat balasan pesan dari Ryan.
Ok. Aku datang jam sembilan.
Kenan meringut kesal. “Orang ini bodoh atau
bego sih? Dibilang tidak boleh datang malah bilang ok. Biar saja nanti aku
pergi sebelum jam sembilan.”
Dengan kesal Kenan meletakkan kembali ponselnya dan tak ada niat untuk membawanya. Kenan keluar dari kamar dan menikmati
sarapannya.
Rasa asing masakan Inggris sudah mulai terbiasa di lidah Indonesianya tapi itu membuatnya rindu sama nasi dan tahu
tempe. Andai saja ia
bisa membeli itu. Dengan
pikiran sedangkal itu ia
pergi ke minimart terdekat. Kakinya menjelajahi tiap rak dan sama sekali tak
menemukan tahu tempe di sana.
“Mengesalkan.”
Selesai dari market
dan membeli sekotak susu, Kenan
melanjutkan perjalanan ke sekolah. Sampai di kelas Sam menyapanya dengan cerianya seperti biasa. “Hai Kenan!
Kau bawa alat musik apa buat pelajaran seni musik nanti?”
Kenan baru teringat dengan pelajaran seni
musik yang dimaksudkan Sam.
“Aku tak pernah
ingat ada pelajaran itu. Kau bawa apa, Sam? Violin? Viola?”
Sam menghela nafas.
“Dasar kau ini. Ya tentu saja aku bawa violin. Oh ya, Ken, apa kau dengar gosip
yang sedang beredar sekarang tentang ruang musik?”
Kenan menggeleng. “Memangnya gosip apa?”
“The Pernambuco’.”
“Hah? Perambocko?”
“Pohon pernambuco[1] yang
digunakan untuk membuat bow. Dia, si
‘Pernambuco’, akan memaikan alunan violin paling indah di ruang musik, kadang
di atap saat sekolah sudah sepi. Kau tahu kenapa orang-orang menyebutnya ‘Pernambuco’?
Pohon ini kayunya berkilau bagai kilatan cahaya matahari. Si ‘Pernambuco’, bak violinist emas bagi sekolah ini!!” jelas
seseorang tiba-tiba.
“Kenapa malah kau yang cerita, Melque!?
Darimana kau datang!? Aku lihat tadi kau masih di ujung kelas.” Sam meringut
kesal.
“Aku selalu
tertarik pada gosip. Apalagi soal anak baru yang menarik,” aku Melque, teman
sekelas yang hampir tak pernah ngobrol dengan Kenan.
“Kenapa aku menarik
jadi gosip?” tanya Kenan heran.
“Anak baru yang
berani melawan Consta
dan belum juga dikeluarkan. Semua anak yang melawan Consta drop out
karena keluarganya tapi karena kau tak kunjung dikeluarkan, tentu saja itu jadi
bahan omongan.” Melque tersenyum.
Tak
akan ada yang pernah bisa mengeluarkanku dari sekolah ini.
Melque melanjutkan kata-katanya. “Kau bilang waktu itu
bahwa kerabatmu menemukanmu lalu menyekolahkanmu di sini? Ayolah, siapa yang
percaya pada dongeng Cinderrela macam itu?” Kubu perempuan seksama mendengar
perkataan Melque. “Tak pernah ada cerita lengkap tentang kerabatmu itu. Kau
juga jarang tersenyum. Ekspresi datar. Kau anak yang misterius ya.”
Mata Melque
bersinar-sinar. Ia mengharapkan sedikit penjelasan dari segudang
pertanyaannya–untuk jadi sumber gosipnya.
“Oh, kalau begitu
biar saja tetap seperti itu.”
Melque tertunduk kecewa. Beberapa yang lain yang mendengar tertawa.
“Hei, aku ada di
sini!” Sam merasa dirinya dilupakan. “Ayo ke ruang seni musik,” ajak Sam. Ia
menarik tangan Kenan
seperti merebut Kenan dari Melque.
Di ruang musik ada
satu grand piano di depan. Di ujung
ruang musik yang sebesar hall itu tersimpan banyak sekali alat musik mengilat. Banyak instrumen yang baru
pertama kali Kenan
lihat tapi tetap saja matanya
hanya
tertuju pada keindahan violin.
Apalagi violin-viola-cello-double
bass yang terpajang di sana instrumen
string profesional.
“Kau bisa bilang ke guru kalau kau jadi choir saja, Ken.” Sam berbicara dengan ragu-ragu karena takut
perkataannya menyinggung
Kenan.
“Tidak. Aku di sini
saja. Aku akan bilang kalau aku mau belajar violin.”
“Eh? Jangan, jangan! Permainanku masih payah
dan selalu saja
salah!”
“Mungkin yang perlu
kau perbaiki hanya rasa percaya dirimu saja.”
Sejenak perhatian
Kenan tersita dari ocehannya bapak guru kepada Sam yang mengajar seni musik. Beliau adalah seorang arrangement dari kelompok
musik opera. Kenan pernah melihatnya di beberapa majalah musik.
Dewa
sekali sekolah ini
menyewa pengajar high class demi murid SMP.
Habis puas mengoceh
pada Sam karena salah terus, beliau melirik Kenan. Karena Kenan tidak bermain
instrumen apa pun, ia tak diacuhkan. Hmm,
paman Anderson sudah menyewa banyak guru lain untukku. Tanpanya permainanku
sudah cukup mahir. Giliran Kenan
yang memandang sang guru dengan bosan.
“Kau tahu? Baru
kali ini aku sungguh kagum padamu, Sam. Kau orang pertama yang kulihat bermain violin
dengan meletakkan ujung dagu di atas chin
rest,” puji Kenan.
Sam langsung
berhenti menggesek violin. “I, itu karena leherku sakit kalau dimiringkan
terus.”
Kenan menghela
nafas. “Sudah berapa lama kau main violin??” Sam terdiam.
“Kadang-kadang itu
juga yang membuatku geli,” potong Melque setelah satu score habis. “Hei, Grace. Aku mau tanya padamu. Kau sama sekali tak
main instrumen tapi kau tahu darimana kalau itu namanya chin rest?”
Kenan mematung. Ia
keceplosan. Hal itu mengundang Sam dan Melque meliriknya curiga. “A, aku tadi
tak sengaja dengar soal bagian-bagian violin.”
“Ada ya di materi
pelajaran kita, Mel?”
Alisnya terangkat.
Jelas ratu gossip tidak mudah dibohongi. “Hmm…?”
“Ehm, melihat
kalian aku sebenarnya ingin belajar violin makanya sedikit mencari tahu. Yah, alat
musik mahal dan belajarnya sulit. Mungkin aku mau beli harmonika nanti,” jawab Kenan spontan. “Lagi pula aku tak tahu
kalau kau juga main violin seperti Sam?”
“Kau tidak tanya.”
Akhirnya perhatian Melque teralihkan. “Kalau begitu violin ini untukmu saja,”
tawarnya. “Harmonika mungkin bagus untukmu.”
“Hah? Mudah sekali
kau memberi violin ke orang lain? Dasar orang kaya.”
Melque tertawa
renyah. “Tidak juga. Aku tidak terlalu cocok pada violin. Aku lebih senang pada
harpa atau harpsikoda.”
♣
“Hei Kenan!!” sapa
Lena senang begitu Kenan
tiba di kamarnya saat senja. “Gimana dengan syekolahmu tadi? Ah, aku ingin syekali keluar lalu memegang gumpalan syalju yang putih itu.” Lena menoleh ke arah
kaca jendela.
Mata Kenan memandang Lena dengan sendu. “Salju itu dingin. Tak ada enaknya menyentuhnya dan aku
harap aku bisa membawamu ke sekolahku juga–meskipun di sana busuk.” Lena memalingkan wajahnya.
“Hari ini aku ada pelajaran musik.”
Telinga Lena
berdiri. “Musyik?
Lalu kau mainkan biolamu yang keren itu?” tanya Lena antusias. Kenan menggeleng. “Kenapa?”
Kenan berjalan mendekati Lena lalu duduk di
sebelah tempat tidurnya. Ia
duduk membelakangi Lena. Perlahan
Kenan memejamkan matanya, berusaha menahan diri.
“Aku takkan
memperdengarkan permainan biolaku pada orang lain selain kau.”
Lena tertawa.
“Kenapa? Aku syeistyimewa
ityukah bagimu?”
Mataku terbuka.
“Kau lebih berharga dari apa pun yang kupunya.”
Lena cekikikan.
“Kalau begitu ayo mainkan lagi!” pinta Lena.
Kenan berdiri dan mengeluarkan violin yang ia bawa-bawa. Violin ia letakkan di pundaknya. Tuhan,
ini anak-Mu, sembuhkan dia supaya selamanya jangan hanya salju saja yang
ditatapnya.
“Wolfgang Amadaus Mozart: Eine Kleine Nachtmusik.”
[1] Pohon
pernambuco (Caesalpinia echinata),
tumbuhan keluarga ercis asal Brazil. Kayunya digunakan sebagai bow instrument biola dan pewarna
berkualitas tinggi
|| Sion ||
lanjutanya mana?
ReplyDeleteUdah update :)
DeleteMonggo dibaca dan diberi komentar. Hehe
wow, lgsg update...
Deletetq tq :)
btw saran aj nich, harusnya prolognya g usah bilang kalo Lebena mati, kan jadi g seru n g dpt feelnya...
bakal lebih bagus lagi kalo orang dikasih harapan kalo Lebena bakal sembuh, tapi terus akhirnya meninggal...
This comment has been removed by the author.
DeleteMakasih komentarnya, Akashi-chan >__<
DeleteSetelah kurenungkan beberapa saat (setahun kah aku baru balas? hehe), mungkin akan kurombak lagi.
Udah kepikiran dari lama sih cuma karena focus ke novel yang lain, yang ini udah gak gitu kugubris lagi :(