Selamat malam dari belahan dunia Waktu Indonesia bagian Barat....!
Meski gak sehari sekali postingnya, aku berusaha tepat janji untuk menyelesaikan novel... ini!
Oh ya bocoran nih,
sebelumnya terima kasih dulu buat semua pembaca yang sudah menyempatkan waktunya untuk baca dan komentar.
Hasil perenunganku semalam (dan puter otak sambil guling-guling di kasur) adalah aku mau merombak; beberapa paragraf, sedikit penyampaian apa yang akan terjadi sama Lena di masa depan di bagian prolog, dan yang paling penting.... alternate endingnya^^
Caution my spoiler!
Aku akan memasukan dua karakter yang nantinya merubah keputusan Kenan tentang masa depannya. Siapa dia? Coba tebak :)
Nah, kita lanjut dulu cerita Kenan versi yang ini >__<
____________________________________________________________________________
Chapter
21
Agar sedikit
leluasa, Sam menggeser
kursinya. “Ehm, hai Ken. Lama tak jumpa. Bagaimana liburan musim
panas pertamamu?” tanya Sam ragu pada Kenan yang matanya fokus tertuju pada buku novel yang sedang dibacanya.
Kenan sedikit melirik. Sam canggung melihat
mata Kenan
yang sudah lama tak ditatapnya. Sikap Kenan makin berubah, sorot matanya tak bersahabat lagi akibat masalah besar yang ditimbulkan Melque ketika menyelinap ke kamar Lena–itu jadi bahan gosip.
“Hai juga, Sam,” Kenan menutup bukunya. “Biasa saja. Bagaimana denganmu?” tanya Kenan balik dengan enggan.
Kenan tak ada niat beramah tamah sama
sekali. Sayangnya, Sam
duduk di sebelahnya
dan mau tak mau ia
harus bisa sedikit bersosialisasi dengannya kalau tidak mau temannya tertekan selama penghabisan
satu semester baru.
Sam sedikit
tersenyum. “Aku baik. Kau mengisi liburan dengan apa?”
“Pulang ke
rumahku.”
“Sepertinya
menyenangkan.” Wajah Sam tersenyum
ceria untuk meredakan ketegangan. “Ah ya,
kupikir kau pasti lupa soal harmonika itu.”
Kenan kembali
pada bukunya. “Dan aku tak mau
mengingatnya lagi.”
“Ah iya, maaf.” Sam cepat-cepat memalingkan wajahnya. Tambah
lagi satu orang ke dalam daftar orang-orang yang takut padanya.
Suasana pelajaran
keduanya mencekam sekali. Samlah yang tercekik dengan itu. Kelihatan sekali
dari cara duduknya yang gelisah.
“Heii! Kau tahu?
Kelas 3.2 SMA mengadakan pentas kecil di lapangan! Tuan Ferliaz memainkan pianonya! Ayo lihat!” jerit
seorang cewek dari kelas sebelah yang masuk ke 2.1 ketika bel istirahat berbunyi. Kelas itu pun jadi ribut.
Dalam hitungan
jari, kelas 2.1 SMP kosong
melompong. Di kelas itu
hanya tinggal Kenan dan
Sam yang masih duduk manis,
serta meja kursi yang berantakan karena para murid keluar secara riuh.
“Ehm, seperti dulu saja ya,” ucap Sam kalang kabut. “Kenan…, apa kau mau melihat ke sana? Aku pikir tak
baik kalau kita hanya sendiri di kelas.”
Kenan meliriknya sekali lagi. “Ya, memang.
Lebih baik kita keluar,” sergah
Kenan setuju sambil berjalan keluar kelas.
Sam mengikuti Kenan dari belakang. Ia sebenarnya ingin
berjalan di samping Kenan
tapi perasaan takut tak bisa ditutup-tutupi.
Mereka berdua
berjalan ke arah lapangan tetapi
tidak turun dengan tangga. Kenan memilih jalan memutar supaya ia hanya bisa melihat acara pertunjukan itu
dari lantai tiga. Sam pun dengan nurut
mengikuti tanpa mengeluh.
Setelah berjalan
cukup jauh, Kenan
menerobos
kerumunan orang di balkon. Tempat itu strategis. Ia bisa melihat lapangan di
bawahnya layaknya jalanan yang dipenuhi kerikil yang diletakan rapat-rapat
dengan jelas. Sama sekali tak ada celah di kerumunan orang itu. Kenan baru sadar kalau ‘Ryan’ yang itu, yang dulu selalu memakai baju dekil
ternyata memang benar-benar populer.
“…, penampilannya?” tanya Sam
sekilas pada orang di sebelahnya.
“Kau baru datang? Bukannya bel istirahat sudah bunyi daritadi?” tukas perempuan yang
berdiri di depan Sam itu heran. “Pentas
ini kilat, diadakan karena permintaan pribadi senior Ferliaz.
Sayang sekali acaranya sudah berjalan dua puluh menit. Kau sudah tertinggal
banyak hal,” lanjutnya.
Permintaan?
Apa ada urusan denganku? Jangan kegeeranlah.
Sam mengerutkan
alisnya. “Apakah senior Ferliaz
sudah tampil?”
Perempuan itu
tersenyum. “Tidak, belum. Ia akan tampil belakangan.”
Hanya
penampilan Ryan saja yang paling dinanti-nantikan semua murid?
Para penonton tiba-tiba bersorak ketika satu lagu berakhir. Keributan sejenak mencuri semua perhatian yang tersita
ke hal lain.
“Maaf membuat
kalian harus kemari saat istirahat. Aku ingin merayakan sesuatu lalu
mengajukannya pada guru dan well,
ternyata diperbolehkan dengan mudah,” sambut seseorang dengan mikrofon setelah meninggalkan posisinya yang semenjak tadi berada
di balik organ dari panggung kecil sederhana di lapangan.
“Tentu saja. Kau ‘kan
anak emas,’” sahut seseorang yang berdiri satu panggung dengan orang yang
membuka pidato penyambutan. Semua orang di sekitar panggung langsung tertawa.
“Benarkah? Aku
tersanjung sekali,” jawabnya enteng. “Jadi, aku persembahkan lagu yang hendak kumainkan
ini untuk seseorang yang spesial bagiku. Ia adalah sahabat dari orang yang
kuanggap seperti adikku yang manis. Oleh karena kehilangan orang itu, ia tak
pernah bisa tersenyum lagi,” ujar Ryan. “Jadi seperti es batu.”
Seketika itu penonton kembali riuh.
Mata Ryan yang sedih teralihkan dari pandangan
ke arah massa
ke arah lantai tiga dimana
Kenan berdiri dan ia melihatnya balik dengan muka masam.
Lena?
Mau apa kau, Ryan? Alisnya bertaut.
Ryan memainkan organnya seorang diri. “Untuk selamanya,
selamat ulang tahun yang ke-14, teman kecilku,” ucapnya.
Dahi Kenan berkerut. Wajahnya jadi merah padam karena marah. Perlahan
ia berjalan mundur dari kerumunan dan setelah
cukup jauh dari kerumunan, ia
membalikkan badannya
kemudian pergi.
♣
“Kalau tak salah Williams:
Fantasia on Greensleeves. ‘The Pernambuco’?”
Suara alunan manis dari Kenan terhenti. Ia
menurunkan violin dari pundaknya. “Ya.”
“Sama sekali tak menyangkal! Tak kusangka kalau selama ini sang violinist
profesional
misterius duduk di sebelahku. Memalukan sekali kalau dulu akulah yang
menceritakan gosip tentang ‘The
Pernambuco’ kepada dirinya sendiri. Ya ‘kan, Kenan Grace? Atau kupanggil
saja…, Ana Alexa?”
“Tahu darimana?”
“Stella Cadénte.
Orang yang kau temui di hall. Stella
sepupu jauhku.”
“Oh. Lalu, kenapa
bisa menyimpulan itu aku?”
“Stella menunjukkan
foto ‘Alexa’
di pesta. Pasti aku kenal dia siapa. Sayangnya hal tersebut tak bisa jadi
bukti, ‘kan. Kemudian Stella cerita kalau dia curiga ‘Alexa’ ini punya suatu hubungan dengan Ryan
Ferliaz Challysto. Gelagat senior waktu itu mencurigakan. Mengingat ia orang yang easy going.”
“Lalu?”
“Yang kedua, pentas
kelas 3.2 kemarin. Sekali lagi, Stella curiga mengenai hubungan kalian. Waktu
senior Ryan pidato, pandangannya padamu, ‘kan? Aku sungguh tak mengerti bagaimana caranya ia
menemukanmu di kumpulan orang yang berdiri
berdesak-desakkan. Belum selesai kata-katanya, kau malah hilang,” tambah Sam. “Kalau pidatonya bukan untukmu,
kau tak perlu pergi.”
“Pentas seperti itu
tidak penting bagiku.”
“Sikapmu
dingin sekali.” Kenan
tak
berkomentar. “Juga, senior bilang kalau ‘oleh karena kehilangan orang itu, ia tak
pernah bisa tersenyum lagi’. Ya aku tak mungkin tahu siapa ‘orang’ yang senior
maksudkan tapi hanya kaulah yang tiba-tiba berubah perangaian ‘jadi seperti es batu”.
Kenan merapikan peralatan violin yang ia ambil dari ruang musik.
“Konyol sekali, Sam. Memangnya kau perhatikan perangaian semua orang di Brokeveth ini atau bahkan di Inggris ini?”
“Tak perlu juga kuperhatikan yang lain karena kau sudah
cukup terkenal di sekolah ini!” sahut Sam ngotot. “Oh ayolah, orang tolol mana yang masih percaya pada cerita bodohmu itu? Siapapun
kerabat konyol yang kau sangkutpautkan, nyata tidaknya mereka juga pasti ada pengaruhnya pada kedudukanmu di Brokeveth ini! Aku baru benar-benar paham pada
perkataanmu tentang keisengan Consta. Makanya kau tutup rapi identitas ‘kerabat’mu yang punya posisi lebih tinggi dari
keluarga
Consta.”
Senyum kecil tersungging di ujung bibir Kenan. “Kau
luar biasa bisa simpulkan sendiri logika rumit yang sepotong-potong. Aku suka kau.
Kau cerdas seperti Nanta. Ah, kau orang pertama yang bisa bongkar rahasiaku.”
Sam mengerutkan
alisnya. “Kenapa? Kenapa kau berbohong? Apa yang kau sembunyikan dari kami, bahkan dari semua orang? Memangnya
kenapa kalau kau berdiri di atas panggung sebagai violinist Kenan Grace?”
Kenan berdiri dan membalikkan badan ke arah
Sam. “Karena aku tak mau orang mengenaliku. Aku tak mau ada orang yang mengingatku.”
“Apa ada hubungannya dengan senior Ferliaz dan ‘orang
itu’? Kenapa
dengannya, ‘orang itu’? Mengapa kau tak mau semua orang tahu
tentangmu? Apa salahnya diingat
orang lain? Kenapa kau bermain di atap sekolah seperti saat ini?
Suara violinmu indah. Semua ingin mendengarnya,” ucap Sam bertubi-tubi.
“Tapi aku tidak. Violinku hanya untuk ‘orang
itu’. Seperti
perkataannya, untuk selamanya ia berusia empat belas tahun. Ia pergi bulan
Maret lalu.”
Sam tersentak. “Be,
benarkah? Aku turut berduka.” Sam menunduk sedih.
Kenan melangkah maju. “Karena ia telah
pergi, tak ada lagi alasan
bagiku untuk main violin tapi tak kusangka waktu aku menggesek violin ini aku
menghayal dengar suaranya. Bodoh sekali ya aku? Cengeng, tak mau menerima kenyataan.”
Mata Sam melotot ke
arah Kenan.
“Tidak. Kau tidak bodoh.”
Kaki Kenan melangkah lebih dekat pada Sam.
Tujuan asli Kenan adalah pintu. “Aku
sekarang di atap karena ingin. Terserah orang mau menjuluki apa. Aku tak
peduli.”
Sam menatap Kenan dengan perasaan yang tak bisa ia mengerti. Setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Kenan membuat
teka-teki baru yang lebih rumit seakan-akan ia sedang berpuisi.
“Jadi, kau
sebenarnya siapa? Ya, kau bukan orang biasa. Siapa kau, siapa ‘kerabat’mu?”
“Yang menemukanku memang kerabatku. Benar itu cerita
konyol tetapi itu kenyataan,” ucap Kenan. “Kerabatku–bukan keluarga–yang terakhir.”
Kaki Kenan melangkah sekali lagi, dan sekarang ia hanya berada empat lima langkah di depan
Sam. Kenan
mengangkat sebelah alisnya. Secarik senyuman timbul di ujung bibirnya. Seringaian.
Sam terkejut. Seluruh tubuhnya merinding.
“A, apa yang lucu?” tanya Sam ngeri. Ia merasa temannya sudah mulai kehilangan
kewarasannya.
“Kau mau tahu siapa
‘kerabat’ku? Kau benar-benar mau
tahu? Itu akan merusak segalanya, Samantha Sadykova. Segalanya.” Seringaian Kenan lenyap dan berganti dengan ekspresi
aslinya yang datar dan
sedingin es batu. “Mengenaskan sekali. Benar perkataannya, aku seperti adik
perempuannya, Ryan Ferliaz Challysto.”
Sam tersentak. “Nama
lengkapku Kenan Grace Challysto. Ironis. Aku sepupu Ryan yang kau dan semua orang kagumi.”
“Hah!?” Ekspresi
Sam bukan lagi kaget. Lebih dari itu. Matanya bisa saja terlempar dari rongganya karena ekspresi kaget berlebihan.
“Sampai jumpa lagi
Samantha Sadykova, di kelas 2.1,” salam Kenan
Pintu Kenan buka dan ia keluar darinya, meninggalkan Samantha yang
masih mematung karena mengetahui kebenaran yang selalu disembunyikannya.
|| Sion ||
Sebenarnya nih, pas adegan ini imaginasiku gak terlepas sama nyinyir seringaian Kenan versi anime/ manga. Apalagi tokoh utama dari anime T*kyo Gho*l.
Permainan emosional seseorang yang digambarkan author untuk mencerminkan permainan efek psikologis yang gak stabil dari suatu karakter. Mungkin singkatnya aku pengen menggambarkan Kenan yang kejiwaannya lagi terganggu. Hmmm
Aku menyisipkan suatu pesan melalui kehadiran karakter yang bernama 'Ryan'. Seorang perangkul terbaik.
Novel ini sedikit banyak aku persembahkan untuk mendukung anak-anak yang di jaman melenial ini ter-bully mentalnya karena pandangan yang masih sempit soal menyepelekan penyakit mental. Sakit yang tidak terlihat secara fisik tapi mendukung persentase angka kematian yang serius.
Ryan adalah karakter yang luar biasa menurutku. Seberapa banyak manusia tipe begini ada di bumi? Orang yang masih mengasihi orang yang berkali-kali sudah mendorongnya pergi.
#shy see ya
No comments:
Post a Comment