Sion berusaha tepat janji mau kebut semua selesein posting novel ini.
Hmmm... tapi memang gak mungkin bisa kelar sebelum 2019. XD
Satu hari satu, baru kelar awal Januari nanti. :(
Bagi yang masih setia membaca stay tune terus ya #grin
Oh ya, kalau ada waktu luang mungkin para pembaca bisa kembali buka prolog sama chapter 1 novel ini (O___O)b
Udah aku rombak sejadi-jadinya. Mohon kritik sarannya (>___<)
Aku juga lanjut posting ke wattpad dengan nama penulis yang sama yuhuuu
Jangan lupa di-search namaku di wattpad, dibaca, jangan lupa follow, like, sama sharenya.
Hehe.
Sion mau balik nekunin dunia menulis ini lagi. >__<
Tapi aku akuin sih, penggunaan bahasa sama gaya tulisanku kayanya kurang menjual di lingkup pembaca remaja jaman sekarang ya.
Hmmm apalagi tulisan novelku yang baru gaya thriller-psychology-adult romance.
Kecele banget liat tulisan bahasa majas metafora dimana-mana.wkwkkw
Nah, daripada kebanyakan curhat, aku posting aja chapter berikutnya~
_________________________________________________________________________
Chapter
20
Malas Kenan memandangi
kaca jendela. Pemandangan awan yang bergulung-gulung itu persis waktu pertama kali ia naik pesawat. Hanya saja yang berbeda ia bukan pergi ke tempat yang di mana-mana
putih tapi pergi ke tempat tropis yang lebih sejuk dibandingkan dengan Inggris
saat musim panas. Indonesia.
Ryan berdeham. “Jangan marah kalau aku mengajakmu ngobrol ya tapi aku
penasaran.” Ryan memandangi Kenan yang tak mau membalikkan wajah. “Gimana perasaanmu sekarang? Well, pasti tak menarik untuk kau jawab ya. Aku tanya yang
lain saja,” Ryan berusaha meringankan perasaan Kenan, “kenapa Vincent kau tinggalkan?”
Mata Kenan lepas dari pandangan ke kaca, sedikit
melirik Ryan. “Tak ada yang jaga rumah nanti. Mrs. Redha bukan house keeper
tapi koki,” jawabnya.
Mrs. Redha adalah
nama koki bintang lima di
rumah Kenan di
Inggris. Ya, seorang koki di rumah seorang gadis remaja berumur 14 tahun.
Ryan terlihat
senang karena Kenan mau
menjawab pertanyaannya. Ada senyum kecil merekah. “Yeah. Ms. Redha perlu teman ngobrol.” sahut Ryan. Ia berusaha membuat sepupunya
memikirkan hal yang lain selain kesedihan.
Sayangnya percakapan
singkat mereka
berakhir saat itu juga.
Beberapa jam kemudian,
pesawat lepas landas. Mereka
tiba di bandara dengan troli
masing-masing. Kenan melihat ke sekelilingnya dengan pandangan gelap karena pakai
kacamata hitam dan topi. Sepertinya tak ada yang memperhatikannya. Ia
terus berjalan sambil mendengar Ryan sibuk berceloteh ria dengan hpnya.
“..., kau bisa ke sekolahmu lagi. Masih
simpan seragamnya, ‘kan?”
tanya Ryan setelah telinganya lepas dari ponselnya. Kenan
mengangguk. “Ke rumah tante Merry?”
Memangnya aku mau kemana lagi??
Ryan menguap
berkali-kali sampai mereka
tiba di tempat parkir. Ia tetap menguap ketika ia sedang memasukkan kopernya
dan tas violion Kenan ke bagasi.
“Tasmu mau kau
pegang saja?” Kenan
tak menjawab. “Baiklah. Bolehkah aku duduk di sebelahmu?”
Kenan mengurungkan niatnya untuk
tidak menjawab lagi. “Ya.”
Mobil melaju
meninggalkan bandara Adi Sucipto. Mereka
terdiam sepanjang perjalanan.
“Aku turun di kaki
tebing saja,”
himbau Kenan tiba-tiba
memecah hening.
Sang sopir enteng menjawab
‘ya’ tanpa sahutan dari Ryan.
Lalu, sekitar satu jam lebih perjalanan
melelahkan karena kemacetan itu, tibalah mereka di kaki tebing. Kenan turun dari mobil dan mengambil violinnya dari bagasi.
Setelah itu ia
berjalan mendaki tebing, mobil Ryan pun melaju pergi.
Kenan mengeluarkan violinnya dan memainkannya di puncak tebing.
Waktu
lima hari belum cukup untuk membuat tanah di pemakaman kering. Ini… untukmu,
Lenaku. “Boccherini: Concerto in B-flat minor, G.482.”
Kaki Kenan berat melangkah menuju gang rumah
Lena sambil memanggul tas dan violin. Begitu memasuki jalanan besar yang
sepanjang jalanannya akan ada banyak gang-gang, tanpa sadar kakinya malah melangkah memasuki gang rumahnya yang dulu. Matanya memandangi rumah itu yang masih berdiri kokoh dengan
pandangan kosong. Seketika cerita “The Goose that Laid the Golden Eggs[1]”
terlintas di pikirannya. Ia merenungkan setiap alur dan dialog dongeng itu
sampai seseorang keluar dari pintu depan rumah itu.
Orang yang keluar
dari rumah itu menatap Kenan
balik dengan mata sinis. “Oh,
masih hidup ya?” tanyanya.
Matanya jahat sekali. “Lagi apa? Bengong setelah luntang-lantung di jalanan?”
tanyanya lagi.
Kenan menatapnya datar. “Saya pikir, itu bukan urusan Anda?”
Orang itu, saudara tirinya, melotot.
“Oh,
maaf lama sekali tapi aku baru mengerti arti semua ini. Kalian hanyalah petani dan
istri yang benar-benar tamak ya. Saking tidak sabarnya, kalian berharap ayah
Saya cepat mati, sehingga dapat mengusir aku dari rumah. Rumah itu telur
emasnya? Menggelikan. Rasa kemanusiaan kalian lenyap hanya karena harta?” Ah, tapi, sangat terhormat bagi kalian, ‘kan?” ucap Kenan datar.
“Oh, sudah tahu!?
Baguslah! Tak perlu capek-capek mamaku cerita!” Orang di hadapan Kenan murka. “Sok sekali mulutmu itu ya!? Kau mau pamer karena sudah jadi anak orang kaya!?
Padahal ayahmu
itu yang bodoh!” serunya.
Orang-orang yang
lalu lalang menonton mereka adu mulut
jarak jauh.
Kenan sama sekali tak termakan emosi. “Tentu. Ayahku jadi bodoh setelah ibuku yang pintar
tergantikan oleh perempuan sangat licik seperti ibundamu.”
Kenan menelengkan kepalanya, memandangi saudara tirinya yang jelek waktu marah. Setelah puas, ia membalikkan badan bersiap
pergi.
“Makian dan
pengusiran belum buat kalian puas? Perlu pukul Saya lagi?” Langkah kaki orang itu yang tadi cepat tak
terdengar lagi. “Ya, sekarang Saya anak orang kaya. Saya bersyukur sekali bisa
keluar dari gubuk itu dan kembali pada tempat Saya seharusnya dan memiliki
segalanya. Jadi, Anda masih mau macam-macam dengan Saya, putri nyonya Ine?”
Kenan kembali melangkah tanpa menoleh lagi. Tak ada suara keluhan lagi.
Begitu Kenan menyeberang gang dan sampai di rumah
Lena yang dulu, ia
langsung mengeluarkan kunci dan masuk ke rumah. Ia tak menghiraukan padangan para tetangga
yang melihat takut ke arah rumah yang sudah lebih dari lima bulan itu kosong.
Esok paginya
sebelum Kenan
berangkat ke sekolah, ia
dapat
kabar dari tante Merry; kalau ia baru bisa tiba di rumah besok. Setelah ia menutup panggilan masuk ke ponselnya itu, ia
mematikannya dan menaruhnya di bawah bantal.
06.45 AM. Kenan sampai
di sekolah. Satpam yang biasanya berjaga menatap Kenan lebih
heran ketika ia
mengangkat sedikit topinya. Kenan menyapanya sopan. Setelahnya ia masuk
menuju ke ruang kepala sekolah.
Bapak kepala
sekolah tidak terkejut sedikitpun melihat siapa dibalik pintu yang terketuk
pada ruangannya. Kenan
paham
kalau beliaulah
yang Ryan telepon kemarin.
Beliau hanya
bertanya hal-hal sepele seperti kapan dan alasan Kenan kembali. Ia sama sekali tak
menanyakan pertanyaan paling berat untuknya
seperti…, ’mana
Lena?’.
Kenan keluar ruangan dengan perasaan agak lega.
Langkah kakinya
berlanjut ke kelas 1.4 tanpa ada keraguan meskipun dipandangi tajam oleh beberapa
murid.
Di ambang pintu, tangannya mendorong
pintu kelas yang setengah terbuka. Kenan
berjalan masuk, melirik kanan kiri mencari tempat duduknya yang dihimbau pak kepala sekolah di
tempati Nanta. Para murid di kelas itu saling berbisik karena kehadiran si orang asing. Jelas mereka belum sadar siapa yang masuk
ke kelas mereka.
Kenan duduk di tempat seharusnya ia duduk. Nanta si ketua kelas kaget karena ia tiba-tiba duduk di sebelahnya. Untuk
beberapa lama ia tercenggang dan kira-kira sepuluh detik kemudian, barulah ia
tersedak kaget. “Kenan!?"
Kenan tiduran di
atas meja. Ia terdiam sambil tetap membiarkan sebagian besar wajahnya tertutup rambut cokelat acak-acakan
itu. Nanta menundukkan kepalanya, mengamati
Kenan langsung.
“Kapan kau pulang? Kenapa
kau pulang lama sekali?” tanyanya.
Satu orang itu adalah orang yang tidak bisa Kenan hindari dengan adegan diam. Entah apa
alasannya. Dia persis seperti Melque Gardien.
Kenan berbisik
pelan, “Kemarin. Aku sedang libur musim panas.”
“Senang melihatmu
lagi, Ken,” sapa Nanta. “Hmmm.. lalu Lebena mana?”
Sejenak Kenan berpikir. “Ia
tidak bisa kembali kemari.”
“Aku harap ia cepat
sembuh.”
Lena
memang sudah sembuh dari penyakitnya, juga dari penderitaannya.
Bel berbunyi, para
murid yang bertanya-tanya itu duduk manis di tempatnya. Kenan melepas topi upacaranya dan membiarkan rambut cokelatnya tergerai makin acak-acakan. Mata anak-anak
itu tetap saja tertuju pada Kenan.
Wali kelas Kenan masuk ke kelas dan mulai mengabsensi.
“..., Kenan Grace?”
Begitu nama Kenan disebut, ia langsung mengancungkan tangannya.
Sang guru tertegun
melihat anak perempuan yang tak pernah ada di kelas tiba-tiba muncul. Ia perlu
beberapa kali melihat absensi hingga ia sadar murid yang bernama Kenan Grace
itu sudah berbulan-bulan absen tapi tak kunjung dikeluarkan dari sekolah.
Kenan mendongak. Para murid melongok
padanya waktu guru mereka berhenti mengabsensi. Terlebih lagi mereka sadar
bahwa nomor absen 25–Lena–tidak ada tapi nomor 24–Kenan–ada. Padahal mereka
menghilang bersama-sama.
“Kenan?” tanya
seluruh kelas padanya.
“Kalau dia ada, mana Lebena?”
Ketika bel
istirahat berbunyi, para murid yang terus berisik mengerubungi Kenan bagai
lalat. Kenan membiarkan dirinya tetap tiduran, jauh dari pertanyaan.
“Kenan!” seru Sarah
masih berani. “Kau lenyap tapi muncul lagi! Enak sekali jadi kau ya?? Seenak
jidat keluar masuk sekolah seakan-akan ini kamar mandi umum! Mana Lena!?"
Kenan mengangkat kepalanya dan menyandarkan badannya ke kursi. Tangannya menyibakkan poninya yang menutupi mata.
“Halo, apa kabar,
Sarah?” tanya Kenan. Tatapan matanya tanpa ekspresi.
Sarah mundur. Kenan
paham benar kalau itu yang namanya ‘takut’. Orang yang ada di hadapannya
berbeda dari orang yang pernah memukul pipinya dua kali dulu. Orang itu berubah
menjadi hal lain yang lebih negatif.
“Ke…, Kenan?” Kenan mengamatinya
dan para murid yang berisik tadi seketika ikut bungkam. “Kau, kau benar, Kenan,
‘kan?” tanyanya terbata-bata.
“Memangnya ada orang
lain lagi di sini?” timpal Kenan
bertanya.
Badan Sarah sedikit
gemetar. Ia menundukkan kepalanya. “Ma, mana, Lena?”
“Ia tidak bisa
kembali lagi kemari,” jawab
Kenan
singkat. “Aku harap jawabanku sudah menjawab semua pertanyaan kalian,” tambah Kenan.
Nanta berdiri dan
mengusiri para murid yang berkerubung. Dalam beberapa detik, kumpulan
orang-orang itu langsung bubar. Meskipun sambil mendengus kesal. Efek Nanta sukses.
Andaikan
kau dapat sekali lagi melihat keringnya musim kemarau dan suasana kelas ini,
Lena. Lihat, kau tetap saja bintangnya…
♣
“Menurutmu apa yang
beda antara sekolah kampung ini dengan di tempatmu itu?” tanya Nanta ketika
guru matematika memusatkan perhatiannya ke papan tulis.
“Tak ada yang
serupa sedikit pun.”
Nanta tersenyum.
“Oh ya? Apa itu?”
Kenan melirik ke arah Nanta. “Dingin.
Muridnya sedikit. Tak ada seragam. Para murid juga sewenang-wenang bahkan
terhadap guru mereka sendiri.”
Nanta menahan tawa.
“Jadi, itu kesan subjektifmu?”
Kenan berpikir. “Tidak juga. Menurutku itu
fakta. Di manapun selalu ada anak yang paling seenak jidat di kelas sampai guru pun tak mau campur tangan lagi.”
Nanta terlihat
tertarik. “Siapa? Nakalnya kaya apa?”
“Namanya Jerish–Kenan
sengaja tidak menyebut nama kelurganya. Ia itu kurang ajar. Para guru pun tak
ada yang mau melawaninya.”
“Apa karena harta? Kudengar
di Eropa sana banyak konglomerat.”
Kenan mulai berpikir kalau dirinya sendiri bisa dimasukan dalam kategori
Nanta.
“Memang.”
Saat pulang sekolah
Kenan membiarkan dirinya berlama-lama di perpustakaan. Mungkin itu salah satu caranya melepas kangen pada buku-buku berbahasa
Indonesia.
Perlu dua jam untuk
memenuhi keinginannya. Ia
pulang ketika sekolah sudah sepi. Kenan
berjalan ke toko musik Ritsena, tempat ia
menyimpan violinnya.
Di dalam toko ia
hanya sekilas bercakap-cakap dengan pak James, lalu setelah itu langsung pergi
dengan rambut digulung, topi, dan kacamata. Penyamaran bodoh tapi sempurna.
Dalam dua puluh
lima menit Kenan
sudah tiba di puncak tebing yang curam dan di depannya membentang jurang yang
dasarnya saja tak terlihat.
Kenan membuka tas violinnya dan mengeluarkannya.
Violin Kenan
ditaruh di bahu dan bow ia genggam dengan erat tidak seperti biasanya.
“Grieg: Peer Gynt
Suite No.1 - I. Morning Mood.”
Alunkan dari violin Kenan
meredakan
sedikit keresahan hatinya.
“Lagunya bagus. Aku
baru tahu kalau kau bisa main biola. Ok, persis profesional,” ujar Nanta tepat
ketika Kenan
selesai.
Kenan mengernyit.
“Kenapa kau di sini? Sejak kapan kau duduk di
sana?”
“Ehm. Sebenarnya
aku tak sengaja melihatmu sehabis keluar dari toko musik itu setelah beli pianika–untuk
pelajaran seni musik. Awalnya aku heran mengapa kau bawa-bawa biola. Makanya
aku malah tanpa sadar mengikutimu tapi tak kusangka kalau alunan biola darimu keren
banget.”
Selama
itu di belakangku? Kenapa aku tidak dengar langkah kakinya?
Kenan membalikkan badan. “Dan, maumu apa? Dasar
penguntit.”
Nanta terkekeh
senang. “Tak ada. Sungguh. Maaf, Kenan. Kau pasti makin membenciku karena aku ngeyel soal kau dan rahasia-rahasiamu.”
“Memang.”
“Apa aku dianggap stalker?” Nanta nyengir. “Perlu kau
tahu, aku sendiri bingung kenapa kau selalu menarik perhatianku. Jelas ya,
bukan karena suka.”
Kenan berjalan menghampiri Nanta.
“Menguntit itu
perbuatan kriminal, ketua kelas bodoh. Then,
what is your curiosty?” Kenan
mengajukan pertanyaan dengan nada datar.
Lagi. Ia sudah lupa kemana intonasi suara aslinya. “Propensity beyond me?”
Nanta terpukau. “Hebat.
Lancar sekali Bahasa Inggrismu. Selama ini kau tinggal dimana?” Nanta
menengadah pada Kenan
yang masih berdiri. “Aku sedikit cerita. Kau mungkin tak tahu kalau seekor ratu
lebah punya feromon unik, memikat, yang membuat bau tubuhnya pasti dikenali
lebah-lebahnya. Aku sudah lama merasakan bau itu darimu. Kau lain. Ini kampung
dan aku heran kenapa orang sepertimu bisa ada di sini.” Kepala Kenan terus
merenungi kata feromon yang dibilang Nanta. “Sikapmu skeptis, jelek sekali tapi
bau feromon itu tak bisa dihalangi karena itu. Ya, makanya aku penasaran
tentangmu.”
Tangan Kenan meletakkan violinnya pelan-pelan ketika ia sedang mencoba untuk duduk. “Aku tak
mengerti maksudmu tapi aku juga tak peduli. Kau sendiri, kenapa kau ada di kampung
ini? Kau kelewat aneh–cerdas, suka menguntit, mengerti kosakata Inggris yang
sulit.”
“Ehm.., intinya aku rasa kau bukan anak kampung
biasa dan ya aku memang bukan anak kampung ini.”
“Aku memang bukan
anak kampung biasa. Aku anak kampung luar biasa.”
“Semangat yang
hebat. Lalu, apa kau mau memainkan biolamu lagi?”
“Tidak.”
“Jawaban yang sama
semangatnya. Aku mau bilang ini, jangan tinju aku ya?”
“Teruslah
berharap.”
Nanta tertawa.
“Kenan yang kukenal dulu orangnya lebih dingin hati. Pandangan matanya membara,
ada lukisan semangat yang tak terkalahkan oleh masalah. Pembawaannya tenang.
Yah, aku mengerti orang bisa berubah tapi sampai saat ini, kaulah orang pertama
yang kulihat perubahannya paling drastis.”
“Jadi lebih
negatif? Aku sudah tahu.
Semua sudah tahu.”
“Memang apa yang
terjadi di sana?” Kenan
melotot.
“Jujur, Ken yang ada di depan mataku
sekarang tak punya perasaan sedikit pun. Pandangan
matamu persis orang mati. Kemana semangatmu dulu? Pembawaan tenangmu berubah
jadi mengerikan. Di mata itu sama sekali tak ada ketakutan pada apa pun lagi.”
Kenan merenungi perkataan Nanta. “Memang.”
“Pasti berat sekali
kehidupanmu di sana. Aku harap kau bisa mengatasinya. Berjuanglah. Aku tahu kau
bukan barang mudah pecah.”
“Semua selesai
ketika aku kehilangan seseorang…,
di sana, Nanta.”
Nanta memandangi Kenan yang mulai membuka hati. “Kehilangan?
Siapa?”
Kenan gentar
ketika hendak menceritakan kenyataan pahit padanya. Ia berdiri,
mengangkat violin, dan memainkannya, “Schubert: Ave Maria.”
Nanta menikmati
musik menyedihkan itu sambil menutup matanya.
“Aku kehilangan...
Lena.”
Nanta membuka
matanya. “Lena kemana?”
“Bulan Maret…, Lena pergi selamanya.”
Nanta masih menatap Kenan
dengan bingung. “Ia ada di tempat dimana kedua orang tuaku berada. Pergi ke
tempat dimana ia bebas selamanya dari rasa sakit yang telah ditahannya
bertahun-tahun.”
Nanta baru menangkap
maksud Kenan.
“Jadi, hadiah ulang
tahunmu –“
“Ya. Doaku
terjawab. Kesembuhan abadi bagi sahabatku tercinta.”
Mata Nanta
terbelalak lebar sekali. “Jadi, waktu kau mengatakan ia tak dapat kemari
lagi...,
itu, hanyalah kalimat yang tidak lengkap.”
“Ya. Jadi, selamat
tinggal, ketua kelas. Aku tak akan kembali kemari lagi sama dengan Lena yang
tak dapat melihat rumahnya lagi. Semua kenangan di sini begitu menyakitkan.
Coret saja nama bodoh kami dari daftar absensi.”
Nanta mengertakkan
giginya keras-keras menahan sedih. “Kalian... adalah teman kami yang paling berharga,
yang paling kami sayang di 1.4. Tetap kuat, Ken. Selamat tinggal.”
[1] Cerita
rakyat Eropa yang bercerita tentang seorang petani dan istrinya yang secara
ajaib menemukan angsa yang bertelur emas setiap hari (1 butir setiap hari).
Namun, karena ketidaksabaran dan ketamakan, mereka menyembelih angsa tersebut
dan berharap mendapat emas yang lebih banyak.
No comments:
Post a Comment