Monday, 31 December 2018

Chapter 22 happpyyyy.... new year^^

In less than one hour, we shall celebrate the new year >___<

See ya 2018, welcome 2019 :3

Apa relosi teman-teman pembaca semua di 2019?
Tidak baik untuk berpaling ke belakang tapi ingat... masa lalu yang membentuk kamu yang sekarang.
So...!
Perlu mengingat apa yang gagal kamu lakukan di masa lalu untuk kamu rencanakan berhasil di tahun 2019.

Sion berdoa di sini, serahkanlah semua rencanamu pada Tuhan maka terlaksanakanlah semua rencanamu :)
Berjalan bersama Tuhan, Gengs. Jangan buat Tuhan mengikutimu beserta planning-planningmu dari belakang. <3

Oh... demi apapun Sion gak ada merencanakan ini sengaja. #shy
Tapi kebetulan banget chapter ini adalah awal yang baru buat Kenan. Maksudnya apa tuh? Baca aja biar gak penasaran~

__________________________________________________________________________

Chapter 22





Violin? Kenapa ada gema violin di tempat seperti ini? tanyanya dalam hati.

Seseorang berpakaian tuksedo warna biru navi keluar dari pintu belakang gedung opera menuju atap yang jarang digunakan orang-orang selain petugas bersih-bersih. Mendekat pada tangga, ia sayup-sayup mendengar suara musik. Sebagai sesama pemusik, kakinya tak sadar melangkah mencari asal suara itu.

Violin. Ya, jeritan violin yang menangis. Kenapa bisa ada orang main violin di tempat ini? Satu demi satu anak tangga dilangkahi. Menyakitkan. Siapa yang mengalunnya? Ia mengikuti dan terus mengikuti nada itu hingga ia tiba di atap dan menemukan seorang lady dengan gaun hitam legam sedang menggesek biola dan seorang pelayannya. Nona itu? Sendirian? Bersedih? Apa dia mau menyakiti hatinya sendiri dengan nadanya sendiri…?



Für Lebena Maganda. Ravel: Pavane for a Dead Princess,” kata Kenan setelah menyudahi permainan biolanya. “Sudah delapan tahun, Vince. Kepergiannya tepat hari ini dan semuanya berubah.”

“Ya, Nona. Selamat ulang tahun yang ke-22 untuk Nona juga.”

Kenan menurunkan violinnya dari pundak.

“Ataksia Friedreich itu… penyakit genetik yang membunuh ayahnya juga…”

“Ya, Nona,” jawab Vincent sekali lagi, “tapi jangan terus berduka.”

“Jangankan berduka. Aku tidak merasakan apa-apa, Vince. Aku benar-benar tidak merasakan apa-apa meskipun aku yang membunuhnya.”

“Nona!”

Kenan terdiam. “Lalu mau sampai kapan kau menguping di sana, hah?”

Kenan membalikkan badan, diikuti Vincent. Tatapan matanya tajam memelototi pria yang diam-diam mengupingnya dan bersembunyi di tangga.

Alhasil, alih-alih membela diri secara tidak siap, ia gelapan, “Ma, maaf, Nona. Saya tak bermaksud menguping. Setelah pertunjukkan usai, Saya mencari pemain violin solonya dan kata orang-orang okestra Anda keluar dari pintu belakang. Ketika berputar-putar Saya tak sengaja mendengar alunan itu... lagipula apa maksud Anda dengan membunuh –“

“Ayo pergi, Vince,” perintah Kenan.

Gerakannya cepat melalui pria itu untuk menuruni tangga.

“Ah, Nona tunggu!”

“Pulanglah. Cari saja pemain violin lainnya.”

Pria itu tertegun. Betapa dinginnya lady itu. “Alunan itu… menyedihkan. Untuk siapa kau memainkannya?” Langkah Kenan terhenti sejenak lalu maju lagi. “Bolehkan Saya tahu nama Anda, Nona?”

Kau bisa lihat sendiri di pamflet ‘kan, penguntit sialan.

Sama sekali tidak diacuhkan, pria itu berteriak, “Nama Saya Jerish Consta! Saya harap Anda mengingat nama Saya!” serunya keras-keras melawan suara angin.

Consta? Rasanya aku ingat nama itu, pikir Kenan.



Satu minggu kemudian, Kenan bermain di panggung Salzburg sebagai pemain violin solo dalam pembukaan festival. Ia berdiri kian gemilang dengan gaun hitam legam semata kaki. Raut wajahnya datar memandangi penonton yang riuh bertepuk tangan sambil menjerit-jerit bravo! Bravo! ketika usai. Selesai pertunjukkan, ia langsung menghilang lewat pintu belakang seperti kebiasaan barunya dalam 1 tahun itu.

“Stella Quintet: Crescendo.”

Terganggu, Kenan langsung menghentikan permainan biolanya di bar ke-14 karena mendengar suatu suara yang tak asing lagi. “Kau lagi? Apa lagi?”

“Maaf mengganggu. Entah mengapa alunan violin Anda menarik bagi Saya.”

“Bagi semua orang itu menarik. Makanya gedung itu penuh.”

Kembali pria itu tertegun antara perasaan angkuh dan cuek dari black lady di hadapannya. “Sampai sekarang Saya penasaran. Lagu duka yang waktu itu, Anda mainkan dengan tak ada siratan perasaan sedih di wajah Anda, Nona?”

“Lalu kenapa? Urusannya dengannmu apa, Tuan?”

Jerish menghela nafas. “Kau selalu berduka dengan lagu sedih dan gaun hitam itu ‘kan, Nona?”

Alis Kenan bertaut. “Diam kau! Jangan campuri urusan orang lain!”

Nada suara Kenan meninggi dan hal itu berhasil mengejutkan Jerish.

“Nona Alexa…”

Kau! Kau selalu menggangguku dulu juga sekarang! Jerish Consta, si pembuat onar di SMP Brokeveth! Setelah mengerjaiku tiap hari tapi tiba-tiba pindah begitu saja dari Inggris. Menghilang begitu saja, pikir Kenan dalam hati dengan siratan amarah. Ia paling sensitif dengan kata ‘menghilang’.

“Tutup mulutmu, Consta. Dan jangan sebut-sebut namaku.”

Kenan membalikkan badan. Seketika tajam mata Jerish yang berwarna biru turbid menangkap matanya. Warna bola mata itu tak kunjung berubah. Perasaan jengkel yang dipendamnya menggetarkan tangannya hendak menampar wajah porselennya. Untungnya otaknya masih sedikit waras sehingga ia urungkan niatnya dan pergi. Semarah-marahnya Kenan, perasaannya tidak akan bisa tampak karena percuma memukuli orang yang tak tahu siapa dirinya.






Cita-cita itu–entah miliknya atau Ritsena–digapai dengan menjadi bintang violin di Wina, Austria. Kenan yang sudah tak punya dasar pendirian hidup lagi menjalani segalanya bagai robot dengan baterenya adalah pesan terakhir sahabatnya yang tetap 14 tahun seumur hidupnya. Maka dari itu, dari sepuluh tahun yang lalu ketika semuanya telah berakhir bagi dirinya hingga seterusnya, ia hanya hidup untuk memainkan apa yang ‘orang tersebut’ kagumi dari dulu.

Menjadi seorang bintang, black lady the violinist terus bermain di panggung dan festival ternama. Meskipun perkataan Kenan pada Samantha dulu bertolak belakang–tidak mau memperdengarkan nadanya–nyatanya masih berjalan karena ia sendiri muak dengan jari-jarinya dan biolanya ketika Lena yang berujar kagum tak ada lagi. Bahkan, orang yang dulu bermain-main bertiga dengannya jadi harus ikut terseret…

“... bravo!” sorak para musisi Praha yang duduk di kursi paling depan.

“Syukurlah konser ini lancar,” ucap seorang pemain oboe dengan perasaan lega setelah menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat pada penonton.

“Aku bersyukur sekali ada Challysto si pianis solo,” sahut pemain flute di sebelahnya. Kenan tetap terdiam seakan-akan tidak mendengar apa-apa, “karena ia beriringan dengan violin solo Alexa!”

“Karena Alexa juga para musisi itu bisa standup applause,” bisik pemain flute yang duduknya tak jauh dari Kenan.

Sang pemain oboe menghela nafas beratnya seperti si pemain flute.

“Ternyata ada juga seorang blasteran Asia yang bukan dari Challysto yang berbakat sekali dalam musik,” tukasnya.

Hal yang satu itu menggelitik telinganya. Apa-apan orang-orang ini? Kenan teringat pada perkataan Ryan bertahun-tahun silam padanya. ‘Kami manusia, bukan berlian yang dipuja-puja. Kalian? Jadi, kau pikir kami raja sementara kau hanya kaum proletar yang bisa menontoni kami dari jauh??’. Jangan bawa-bawa SARA kami, sialan.



“Selamat, Nona Gra, ah, Alexa, atas pertunjukkannya,” puji Jerish Consta setelah semua musisi dan kelompok okestra yang hadir memberi salam dan bubar.

Kenan mengerutkan alis. “Mengapa dari dulu kau selalu ada dalam pertunjukkanku?” tanyanya jengkel, “Apa selama dua tahun ini kau tidak punya kerjaan lain? Kembali saja ke Perancis dan kerjakan urusanmu.”

Sikap jutek dan perkataan keji tidak mempan lagi pada Jerish. Bukannya membalas, guratan senyum kecil malah muncul di ujung bibirnya.

“Kau sadar kalau aku selalu menonton pertunjukkanmu?”

Kenan mendecak jijik. Ia memalingkan wajahnya sebelum muntah. Sebelum sempat kabur lagi dari pria itu, Jerish berhasil menangkap lengannya.

“Ah, Nona Gra, ah, Alexa tunggu!”

Ya, tunggu. Kenan berhenti, lalu melempar perkataan masam lagi.

“Aku tahu, Consta. Kau membuatku muak. Sembunyikan saja semuanya sampai kau mati dengan puas,” gerutu Kenan. “Jadi, kenapa kau masih ada di sini? Masih ada season 2 untuk mengusiliku?”

Jerish merasa bersalah. Alisnya tertekuk ke dalam.

“Aku…, sangat ingin tahu. Mengapa guratan wajah itu jadi seperti ini? Kemana semua aura memikatmu dulu? Kenapa mulutmu hanya tinggal ucapan pedas saja?”

Jari telunjuk Jerish menyentuh pipi Kenan lembut. Cepat-cepat Kenan menampar tangannya. “Apa pedulimu? Kalaupun sekarang aku marah-marah, semua juga dari dulu karena kau, Consta!”

Kali kesempatan kedua, Jerish memegang pundak Kenan, bermaksud membujuk. Getaran perasaan Jerish mengalir bak riak air dari genggamannya. Hal itu membuat Kenan tambah jijik.

“Dari dulu juga kau memang tak pernah tersenyum di Brokeveth. Sekali saja, apa kau tidak bisa tersenyum di panggung seperti saat kau pentas di hadapan gadis sahabatmu demi membuatnya senang?”

Ingatan menyakitkan tentang Lena di rumah sakit menusuk tulang-tulang Kenan. Sekejab amarah menyerang seluruh kepala Kenan sampai ia tak bisa mengendalikan tangannya yang menampar Jerish.

“Alasanmu dua tahun ini mengikuti resitalku hanya untuk melaporkan padaku kalau kau sudah sukses mengorek-ngorek masa lalu orang lain!?”

Beberapa orang melihat adegan itu, melotot pada mereka berdua. Hebatnya laki-laki itu tak peduli. Padahal dia orang penting yang jadi tokoh utama yang dipermalukan.

“Jangan berasumsi dulu. Aku hanya beberapa kali melihat kalian dari atap gedung di seberang National Hospital for Neurology dan aku selalu menjahilimu karena kau memang… menarik bagiku yang dari dulu tidak pernah berani ditentang orang. Melihatmu bermain violin hanya kepadanya di bilik tertutup penuh selang sampai saat ini mengingatkanku yang selalu sombong dan pamer sebagai keluarga pemusik ternama.”

“Jadi, dari dulu kau selalu pura-pura tidak tahu kalau aku bisa main violin!?”

Dahi Jerish mengerut sedih. “Kalau tidak begitu aku tidak akan dapat perhatianmu.”

Alis Kenan bertaut lebih dalam. “Aku tak mengerti jalan pikiran orang-orang yang sudah kaya dari lahir. Karena tidak ada yang berani menantangmu jadi kau merasa tertantang ketika ada orang lain yang melawan?? Kau kira dirimu pejabat korupsi yang merasa lebih tinggi dari pencopet jalanan lalu sengaja mencari-cari perhatian polisi dan minta didakwa?? Sepertinya harta membuat otakmu tambah tidak waras ya? Sudah ditampar pula masih saja panjang mulut.”

Jerish menundukkan kepalanya. “Aku juga tak mengerti makanya aku mencari tahu. Saat itu aku tidak tahu siapa kau sebenarnya tapi ketika aku tahu, hal itu malah membuat tidak tenang bila tidak mencari kau lagi. Mataku tidak salah waktu di Brokeveth. Kau benar-benar memikatku.”

“Ketika kau tahu siapa aku? Kau tahu darimana!? Ryan!?”

“Jangan salahkan siapa-siapa. Aku hanya mencari tahu sendiri. Lagipula, sekalipun diancam juga dia takkan buka mulut untuk membela adik tercintanya. Dia saja bisa, aku ingin menjadi sepertinya yang bisa mencintaimu tanpa pamrih.”

Jangankan malu merah padam setelah mendengar pernyataan cinta, wajah Kenan malah makin menyuratkan ekspresi murka. Melihat wajah gadisnya, Jerish tersenyum kecut layaknya orang yang sedang menahan tangis.

“Aku belajar tentang satu hal setelah pergi dari Brokeveth. Ada satu kasih yang bisa mengubahkan pribadi orang lain, mengubahkan pribadiku. Aku tak tahu caraku benar atau salah tapi aku ingin kau juga bisa merasakan kasih itu. Meski tidak sama dan takkan bisa sama, aku ingin mencintaimu dengan cinta dari-Nya, cinta dari hatinya Tuhan yang jelas terurai dari surat ke Roma,” sergahnya lalu pergi.
Sejenak Kenan terperangah tapi ia tetap tak terima. Kata-kata macam itu… yang tak ia paham maknanya sudah yang ketiga kalinya ia dengar. 


|| Sion ||

Friday, 28 December 2018

Chapter 21

Halo semua~
Selamat malam dari belahan dunia Waktu Indonesia bagian Barat....!

Meski gak sehari sekali postingnya, aku berusaha tepat janji untuk menyelesaikan novel... ini!

Oh ya bocoran nih,
sebelumnya terima kasih dulu buat semua pembaca yang sudah menyempatkan waktunya untuk baca dan komentar.
Hasil perenunganku semalam (dan puter otak sambil guling-guling di kasur) adalah aku mau merombak; beberapa paragraf, sedikit penyampaian apa yang akan terjadi sama Lena di masa depan di bagian prolog, dan yang paling penting.... alternate endingnya^^

Caution my spoiler!
Aku akan memasukan dua karakter yang nantinya merubah keputusan Kenan tentang masa depannya. Siapa dia? Coba tebak :)

Nah, kita lanjut dulu cerita Kenan versi yang ini >__<


____________________________________________________________________________
Chapter 21


Agar sedikit leluasa, Sam menggeser kursinya. “Ehm, hai Ken. Lama tak jumpa. Bagaimana liburan musim panas pertamamu?” tanya Sam ragu pada Kenan yang matanya fokus tertuju pada buku novel yang sedang dibacanya.
Kenan sedikit melirik. Sam canggung melihat mata Kenan yang sudah lama tak ditatapnya. Sikap Kenan makin berubah, sorot matanya tak bersahabat lagi akibat masalah besar yang ditimbulkan Melque ketika menyelinap ke kamar Lena–itu jadi bahan gosip.
“Hai juga, Sam,” Kenan menutup bukunya. Biasa saja. Bagaimana denganmu?” tanya Kenan balik dengan enggan.
Kenan tak ada niat beramah tamah sama sekali. Sayangnya, Sam duduk di sebelahnya dan mau tak mau ia harus bisa sedikit bersosialisasi dengannya kalau tidak mau temannya tertekan selama penghabisan satu semester baru.
Sam sedikit tersenyum. “Aku baik. Kau mengisi liburan dengan apa?”
“Pulang ke rumahku.”
“Sepertinya menyenangkan.” Wajah Sam tersenyum ceria untuk meredakan ketegangan. Ah ya, kupikir kau pasti lupa soal harmonika itu.”
Kenan kembali pada bukunya. “Dan aku tak mau mengingatnya lagi.”
“Ah iya, maaf.” Sam cepat-cepat memalingkan wajahnya. Tambah lagi satu orang ke dalam daftar orang-orang yang takut padanya.
Suasana pelajaran keduanya mencekam sekali. Samlah yang tercekik dengan itu. Kelihatan sekali dari cara duduknya yang gelisah.
“Heii! Kau tahu? Kelas 3.2 SMA mengadakan pentas kecil di lapangan! Tuan Ferliaz memainkan pianonya! Ayo lihat!” jerit seorang cewek dari kelas sebelah yang masuk ke 2.1 ketika bel istirahat berbunyi. Kelas itu pun jadi ribut.
Dalam hitungan jari, kelas 2.1 SMP kosong melompong. Di kelas itu hanya tinggal Kenan dan Sam yang masih duduk manis, serta meja kursi yang berantakan karena para murid keluar secara riuh.
“Ehm, seperti dulu saja ya,” ucap Sam kalang kabut. “Kenan…, apa kau mau melihat ke sana? Aku pikir tak baik kalau kita hanya sendiri di kelas.”
Kenan meliriknya sekali lagi. “Ya, memang. Lebih baik kita keluar,” sergah Kenan setuju sambil berjalan keluar kelas.
Sam mengikuti Kenan dari belakang. Ia sebenarnya ingin berjalan di samping Kenan tapi perasaan takut tak bisa ditutup-tutupi.
Mereka berdua berjalan ke arah lapangan tetapi tidak turun dengan tangga. Kenan memilih jalan memutar supaya ia hanya bisa melihat acara pertunjukan itu dari lantai tiga. Sam pun dengan nurut mengikuti tanpa mengeluh.
Setelah berjalan cukup jauh, Kenan menerobos kerumunan orang di balkon. Tempat itu strategis. Ia bisa melihat lapangan di bawahnya layaknya jalanan yang dipenuhi kerikil yang diletakan rapat-rapat dengan jelas. Sama sekali tak ada celah di kerumunan orang itu. Kenan baru sadar kalau Ryan’ yang itu, yang dulu selalu memakai baju dekil ternyata memang benar-benar populer.
“…, penampilannya?” tanya Sam sekilas pada orang di sebelahnya.
“Kau baru datang? Bukannya bel istirahat sudah bunyi daritadi?” tukas perempuan yang berdiri di depan Sam itu heran. “Pentas ini kilat, diadakan karena permintaan pribadi senior Ferliaz. Sayang sekali acaranya sudah berjalan dua puluh menit. Kau sudah tertinggal banyak hal,” lanjutnya.
Permintaan? Apa ada urusan denganku? Jangan kegeeranlah.
Sam mengerutkan alisnya. “Apakah senior Ferliaz sudah tampil?”
Perempuan itu tersenyum. “Tidak, belum. Ia akan tampil belakangan.”
Hanya penampilan Ryan saja yang paling dinanti-nantikan semua murid?
Para penonton tiba-tiba bersorak ketika satu lagu berakhir. Keributan sejenak mencuri semua perhatian yang tersita ke hal lain.
“Maaf membuat kalian harus kemari saat istirahat. Aku ingin merayakan sesuatu lalu mengajukannya pada guru dan well, ternyata diperbolehkan dengan mudah,” sambut seseorang dengan mikrofon setelah meninggalkan posisinya yang semenjak tadi berada di balik organ dari panggung kecil sederhana di lapangan.
“Tentu saja. Kau ‘kan anak emas,’” sahut seseorang yang berdiri satu panggung dengan orang yang membuka pidato penyambutan. Semua orang di sekitar panggung langsung tertawa.
“Benarkah? Aku tersanjung sekali,” jawabnya enteng. “Jadi, aku persembahkan lagu yang hendak kumainkan ini untuk seseorang yang spesial bagiku. Ia adalah sahabat dari orang yang kuanggap seperti adikku yang manis. Oleh karena kehilangan orang itu, ia tak pernah bisa tersenyum lagi,” ujar Ryan. “Jadi seperti es batu.”
Seketika itu penonton kembali riuh.
Mata Ryan yang sedih teralihkan dari pandangan ke arah massa ke arah lantai tiga dimana Kenan berdiri dan ia melihatnya balik dengan muka masam.
Lena? Mau apa kau, Ryan? Alisnya bertaut.
Ryan memainkan organnya seorang diri. “Untuk selamanya, selamat ulang tahun yang ke-14, teman kecilku,” ucapnya.
Dahi Kenan berkerut. Wajahnya jadi merah padam karena marah. Perlahan ia berjalan mundur dari kerumunan dan setelah cukup jauh dari kerumunan, ia membalikkan badannya kemudian pergi.


“Kalau tak salah Williams: Fantasia on Greensleeves. ‘The Pernambuco’?”
Suara alunan manis dari Kenan terhenti. Ia menurunkan violin dari pundaknya. “Ya.”
Sama sekali tak menyangkal! Tak kusangka kalau selama ini sang violinist profesional misterius duduk di sebelahku. Memalukan sekali kalau dulu akulah yang menceritakan gosip tentang ‘The Pernambuco’ kepada dirinya sendiri. Ya ‘kan, Kenan Grace? Atau kupanggil saja…, Ana Alexa?”
“Tahu darimana?”
“Stella Cadénte. Orang yang kau temui di hall. Stella sepupu jauhku.”
“Oh. Lalu, kenapa bisa menyimpulan itu aku?”
“Stella menunjukkan foto ‘Alexa’ di pesta. Pasti aku kenal dia siapa. Sayangnya hal tersebut tak bisa jadi bukti, ‘kan. Kemudian Stella cerita kalau dia curiga ‘Alexa’ ini punya suatu hubungan dengan Ryan Ferliaz Challysto. Gelagat senior waktu itu mencurigakan. Mengingat ia orang yang easy going.
“Lalu?”
“Yang kedua, pentas kelas 3.2 kemarin. Sekali lagi, Stella curiga mengenai hubungan kalian. Waktu senior Ryan pidato, pandangannya padamu, ‘kan? Aku sungguh tak mengerti bagaimana caranya ia menemukanmu di kumpulan orang yang berdiri berdesak-desakkan. Belum selesai kata-katanya, kau malah hilang,” tambah Sam. “Kalau pidatonya bukan untukmu, kau tak perlu pergi.”
“Pentas seperti itu tidak penting bagiku.”
“Sikapmu dingin sekali.” Kenan tak berkomentar. “Juga, senior bilang kalau ‘oleh karena kehilangan orang itu, ia tak pernah bisa tersenyum lagi’. Ya aku tak mungkin tahu siapa ‘orang’ yang senior maksudkan tapi hanya kaulah yang tiba-tiba berubah perangaian ‘jadi seperti es batu”.
Kenan merapikan peralatan violin yang ia ambil dari ruang musik.
Konyol sekali, Sam. Memangnya kau perhatikan perangaian semua orang di Brokeveth ini atau bahkan di Inggris ini?”
“Tak perlu juga kuperhatikan yang lain karena kau sudah cukup terkenal di sekolah ini!” sahut Sam ngotot. “Oh ayolah, orang tolol mana yang masih percaya pada cerita bodohmu itu? Siapapun kerabat konyol yang kau sangkutpautkan, nyata tidaknya mereka juga pasti ada pengaruhnya pada kedudukanmu di Brokeveth ini! Aku baru benar-benar paham pada perkataanmu tentang keisengan Consta. Makanya kau tutup rapi identitas ‘kerabat’mu yang punya posisi lebih tinggi dari keluarga Consta.”
Senyum kecil tersungging di ujung bibir Kenan. “Kau luar biasa bisa simpulkan sendiri logika rumit yang sepotong-potong. Aku suka kau. Kau cerdas seperti Nanta. Ah, kau orang pertama yang bisa bongkar rahasiaku.”
Sam mengerutkan alisnya. “Kenapa? Kenapa kau berbohong? Apa yang kau sembunyikan dari kami, bahkan dari semua orang? Memangnya kenapa kalau kau berdiri di atas panggung sebagai violinist Kenan Grace?”
Kenan berdiri dan membalikkan badan ke arah Sam. “Karena aku tak mau orang mengenaliku. Aku tak mau ada orang yang mengingatku.
Apa ada hubungannya dengan senior Ferliaz dan ‘orang itu’? Kenapa dengannya, ‘orang itu? Mengapa kau tak mau semua orang tahu tentangmu? Apa salahnya diingat orang lain? Kenapa kau bermain di atap sekolah seperti saat ini? Suara violinmu indah. Semua ingin mendengarnya, ucap Sam bertubi-tubi.
 “Tapi aku tidak. Violinku hanya untuk ‘orang itu. Seperti perkataannya, untuk selamanya ia berusia empat belas tahun. Ia pergi bulan Maret lalu.”
Sam tersentak. “Be, benarkah? Aku turut berduka.” Sam menunduk sedih.
Kenan melangkah maju. “Karena ia telah pergi, tak ada lagi alasan bagiku untuk main violin tapi tak kusangka waktu aku menggesek violin ini aku menghayal dengar suaranya. Bodoh sekali ya aku? Cengeng, tak mau menerima kenyataan.”
Mata Sam melotot ke arah Kenan. “Tidak. Kau tidak bodoh.”
Kaki Kenan melangkah lebih dekat pada Sam. Tujuan asli Kenan adalah pintu. “Aku sekarang di atap karena ingin. Terserah orang mau menjuluki apa. Aku tak peduli.”
Sam menatap Kenan dengan perasaan yang tak bisa ia mengerti. Setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Kenan membuat teka-teki baru yang lebih rumit seakan-akan ia sedang berpuisi.
“Jadi, kau sebenarnya siapa? Ya, kau bukan orang biasa. Siapa kau, siapa ‘kerabat’mu?”
Yang menemukanku memang kerabatku. Benar itu cerita konyol tetapi itu kenyataan,” ucap Kenan.Kerabatku–bukan keluarga–yang terakhir.”
Kaki Kenan melangkah sekali lagi, dan sekarang ia hanya berada empat lima langkah di depan Sam. Kenan mengangkat sebelah alisnya. Secarik senyuman timbul di ujung bibirnya. Seringaian. Sam terkejut. Seluruh tubuhnya merinding.
“A, apa yang lucu?” tanya Sam ngeri. Ia merasa temannya sudah mulai kehilangan kewarasannya.
“Kau mau tahu siapa ‘kerabat’ku? Kau benar-benar mau tahu? Itu akan merusak segalanya, Samantha Sadykova. Segalanya.” Seringaian Kenan lenyap dan berganti dengan ekspresi aslinya yang datar dan sedingin es batu. “Mengenaskan sekali. Benar perkataannya, aku seperti adik perempuannya, Ryan Ferliaz Challysto.” Sam tersentak. Nama lengkapku Kenan Grace Challysto. Ironis. Aku sepupu Ryan yang kau dan semua orang kagumi.”
“Hah!?” Ekspresi Sam bukan lagi kaget. Lebih dari itu. Matanya bisa saja terlempar dari rongganya karena ekspresi kaget berlebihan.
“Sampai jumpa lagi Samantha Sadykova, di kelas 2.1,” salam Kenan
Pintu Kenan buka dan ia keluar darinya, meninggalkan Samantha yang masih mematung karena mengetahui kebenaran yang selalu disembunyikannya.

|| Sion ||


Sebenarnya nih, pas adegan ini imaginasiku gak terlepas sama nyinyir seringaian Kenan versi anime/ manga. Apalagi tokoh utama dari anime T*kyo Gho*l.
Permainan emosional seseorang yang digambarkan author untuk mencerminkan permainan efek psikologis yang gak stabil dari suatu karakter. Mungkin singkatnya aku pengen menggambarkan Kenan yang kejiwaannya lagi terganggu. Hmmm

Aku menyisipkan suatu pesan melalui kehadiran karakter yang bernama 'Ryan'. Seorang perangkul terbaik.
Novel ini sedikit banyak aku persembahkan untuk mendukung anak-anak yang di jaman melenial ini ter-bully mentalnya karena pandangan yang masih sempit soal menyepelekan penyakit mental. Sakit yang tidak terlihat secara fisik tapi mendukung persentase angka kematian yang serius.

Ryan adalah karakter yang luar biasa menurutku. Seberapa banyak manusia tipe begini ada di bumi? Orang yang masih mengasihi orang yang berkali-kali sudah mendorongnya pergi.

#shy see ya