Dulu, Kenan menemukan secarik kertas
yang mengeluarkan aroma mawar. Di kertas itu tertulis sebuah puisi.
Berulang-ulang ia membacanya seperti mantra. Meskipun begitu, Kenan tak pernah
tahu siapa yang menulisnya dan apa maksud setiap baitnya...
Black Lady the Violinist
Ini adalah cerita pengantar tidur untuk malaikatku saat di Aula
Smetana, dari Praha yang romantis. “Jangan beranggapan kalau biola itu semuanya
sama. Violin berbeda dengan viola, jangan kau anggap sama karena alunan violin
berupa jeritan sementara viola hanya menggumam”.
Ini adalah cerita pengantar tidur untuk malaikatku di panggung
Salzburg, dari Wina yang indah. “Kalau mau menggesek biola, geseklah dengan
lembut dan penuh perasaan. Namanya ‘adagio’ yang artinya “ berjalan lamban tapi
penuh dengan perasaan”.
Ini adalah cerita pengantar tidur untuk malaikatku di panggung The
Proms, dari Inggris yang dingin saat air hujan di Indonesia membeku di sana. “Suara
alunan violinmu bisa merambat di udara, merambat sampai ke hati orang lain
karena ada getaran dan soundpost”.
Ini adalah cerita pengantar
tidur untuk malaikatku dari Festival Okestra, dari Indonesia tanah kelahiranmu.
“Soundpost adalah sebatang kecil kayu, bagian dalam dari violin yang gunanya
untuk merambatkan suara sampai biolamu dapat beresonansi. Ketika pertama kali
menggesek biola, kau takkan tahu kalau ada soundpost di sana. Suatu hari nanti,
kau akan menemukan soundpost-mu sendiri, malaikatku.”
Ini... adalah cerita pengantar
tidur untuk malaikatku, dari putri kesayangan keluarga Challysto yang kelak
akan menemukanmu; Apa sebenarnya maksud adagio soundpost??
Ketika aku bercerita dari negeri yang jauh dan tak tergapai lagi bagimu yang
masih hidup, mungkin kau tidak akan mengerti. Biarlah violin bernyanyi untuk
menjelaskan semuanya untukmu... hai malaikat kecilku.
Jangan menyerah untuk hidup,
malaikat kecilku. Violinmu belum retak... soundpostmu belum hancur...
‘R.A.C’ Ihre Schutzengel
FΓΌr K.G.C
__________________________________________________________________
Prolog
“... berikut bintang tamu dari Symphoni
Ochestra Festival yang diselenggarakan Institut Bishopsgate, Ana Alexa!!”
Semua penonton dan juri yang semula seru
membicarakan para peserta muda kontes musik itu seketika terdiam mendengar nama
‘Ana Alexa’. Saat hak sepatu Kenan mengetuk-ngetuk panggung, beberapa orang
sudah mulai berbisik-bisik. Namun, begitu Kenan sampai di tengah panggung dan
matanya menusuk para hadirin di tempat itu, suasananya berubah tegang,
menakutkan.
Seperti biasanya, Kenan mengangkat
violinnya, memiringkan kepalanya lalu mulai menggesek violinnya.
“...
itu ... Nona Alexa ? Hei, gosip itu benar tidak ya?”
“... Wolfgang Amadaus Mozart: Eine Kleine
Nachtmusik? Apa-apaan lagu yang ia mainkan itu? Setiap kali kakakku memainkan
lagu ini rasanya hatiku gembira! Kenapa di telingaku lagu ini seperti lagu
kematian??”
“... ada apa dengan wanita itu? Sepertinya
ia terkenal?? Tapi, kenapa rasanya ia menakutkan sekali? Sekalipun aku duduk di
belakang, rasanya aku merinding.”
Sambil terus menggesek violinnya, Kenan
menutup mata dan telinganya. Ia tak mau peduli apa yang orang bilang di hall itu. Yang ia pikirkan hanya satu,
ia menuntaskan tanggung jawabnya.
Kejadiannya dua hari yang lalu saat bibi
Vani berulang tahun. Beliau ingin Kenan kembali ke Inggris untuk merayakannya
bersama seluruh keluarga Challysto. Yah, ternyata itu hanya akal-akalan bibi
Vani–dan paman Anderson–supaya Kenan bermain violin di panggung Proms, London.
Jadi, ketika Kenan sampai di London City Airport, paman Anderson sendiri yang
menjemputnya. Selama perjalanan hingga ke kediaman Challysto-lah paman Anderson
baru menyampaikan maksud rahasianya.
“... Kenan?” sergah bibi Vani.
Selesai memainkan lagu kesukaan Lena tersebut,
Kenan menurunkan violinnya dari pundaknya. Ia memandangi para penonton yang
diam saja. Sama sekali tidak ada tepuk tangan. Sama sekali tidak ada ucapan
‘bravo’. Semua diam, hening.
“... mata wanita itu menakutkan...”
“... itu kan lagu ceria tapi kenapa
ekspresinya datar-datar saja?”
“... hei, kau harus tahu. Berita dari
Praha, Ana Alexa sebenarnya...”
Pandangan mata Kenan hampa. Sorot matanya
yang kosong secara bergantian bertemu dengan pandangan bibi Vani dan paman
Anderson yang berdiri di kursi paling belakang. Seakan-akan Kenan ingin
menyampaikan pada mereka: ‘aku sudah selesai di sini’.
“... kenapa dia tidak turun juga dari
panggung?”
“... coba lihat matanya itu! Mata munafik! Penipu!
Di belakang semua ini keluarga Challysto pasti –“
Terkejut mendengar makian yang terakhir
itu, Kenan segera membungkukkan badannya. Cepat-cepat ia undur diri dari tempat
itu sebelumnya muncul masalah baru. Ketukan suara sepatunya malah berhasil
memicu keributan di panggung Proms.
“Kenan??” ucap bibi Vani lagi. “Sayang,
anak itu kenapa?” Paman Anderson menggeleng sedih. “Aku sudah lama tidak
bertemu dengannya. Aku sudah lama tidak mendapat kabarnya sejak ia berangkat ke
Wina! Kenapa sekembalinya dari sana keadaan Kenan berubah jadi semakin buruk??”
Paman Anderson terpaksa menarik istrinya
keluar dari aula sebelum ia semakin histeris. Ia mendudukkan bibi Vani ke kursi
lalu duduk di sebelahnya. Tangan bibi Vani terlipat. Bibi Vani menutupi
wajahnya dengan tangannya, menahan kesedihan terdalamnya.
“Anak itu, aku dengar... kabar kurang
mengenakkan tentangnya di Praha.” Bibi Vani menurunkan tangannya lalu menoleh.
“Sepertinya rahasia tentang ‘itu’ terbongkar. Dunia musik terguncang dengan isu
bahwa Kenan adalah violinist yang
curang. Fitnah kalau keluarga Challytso adalah dalang di balik ketenaran Kenan
menyebabkan composer dan orang-orang yang berpengaruh di dunia musik klasik
tidak menaruh minat lagi... padanya,” jelas paman Anderson yang berusaha jujur
apa adanya di hadapan bibi Vani.
Bibi Vani sangat terpukul mendenganya.
Lagi-lagi ia menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangis. “Kenapa?
Kenapa kamu tidak bilang, Anderson?”
Paman Anderson terdiam. Di lubuk hatinya
yang terdalam, ia hanya ingin menyemangati Kenan. Ia berpikir, dengan
mengundangnya bermain di panggung Proms, Kenan bisa sedikit melupakan
masalahnya di Wina. Kenyataannya, ia malah menghancurkan Kenan dan istrinya
sendiri.
“Aku, aku tidak mau kehilangan lagi. Sudah
cukup aku kehilangan Ritsena. Aku tidak mau kehilangan putrinya juga!!” jerit
bibi Vani. Semakin ia mengingat soal Ritsena–sahabatnya sekaligus saudara
iparnya–semakin tertekan pikirannya. “Kita baru menemukannya! Aku tidak peduli
apa yang Kenan katakan tentang aku, aku hanya ingin menjaganya supaya aku tidak
kehilangan lagi orang yang berarti bagiku!”
“Vani,” panggil paman Anderson. Ia
merangkul bibi Vani supaya ia lebih tenang. “Dengarkan aku, Vani. Kenan tidak
mati. Mungkin yang terjadi padanya adalah hal buruk tapi bukan berarti
segalanya sudah berakhir.” Bibi Vani sama sekali tidak merasa terhibur dengan
ucapan suaminya. “Aku akan lakukan semua yang bisa kulakukan tapi, kau tahu ini
masalahnya. Kita tidak punya andil dalam hal itu. Baik Ritsena dan penyakitnya,
Kenan dan masa depannya. Ia sudah dewasa, kita hanya bisa mengawasi, Vani.”
Bibi Vani menggeleng. Ia masih bersikeras
menepis perkataan paman Anderson.
Jari kaki Kenan berada di ujung atap rumah
sakit National Hospitality of Neurology. Bila ada seseorang yang usil
mengagetkannya, saat itu juga Kenan akan terjun payung dari lantai 5.
Sayangnya, malam itu terlampau dingin untuk orang-orang berlalu lalang di
sekitar rumah sakit nan sunyi itu, sehingga tak ada seorang pun yang rela
melakukannya.
“...
itu kan lagu ceria tapi kenapa ekspresinya datar-datar saja?”
“...
coba lihat matanya itu! Mata munafik! Penipu! Di belakang semua ini keluarga
Challysto pasti –“
Tidak bisa dipungkiri alasan Kenan hanya
termenung di sana ialah untuk merenungkan kembali setiap perkataan orang-orang
di panggung Proms siang tadi. Setiap makian itu... tidak menghancurkan hatinya.
Ia malah bingung dimana hatinya berada. Ia hanya terus berpikir... aku... tidak punya tempat lagi di dunia ini.
Untuk apa aku bermain musik kalau orang-orang tidak memerlukan musikku lagi?
Musik yang paling disukai Lena sudah ditolak dari dunia ini. Aku, aku tidak
punya alasan untuk bermain musik lagi, juga alasan untuk… hidup.”
Nyawa Kenan tinggal 20 cm lagi. Setiap
waktu Kenan siap untuk meloncat. Akan tetapi, setiap telapak kakinya bergeser
maju, dada Kenan rasanya sakit.
Kenapa?
Kenapa rasanya sulit sekali untuk hidup, Lena? Harapanku, nadaku, semua sudah
hancur. Soundpost-ku
sudah hancur!
Setitik air mata meleleh di pipinya.
Ekspresinya tetap datar tapi perasaan sedih yang berkecamuk di dadanya itu
tidak bisa ditahan. Kenan memang sudah lupa bagaimana cara menyuratkan ekspresi
terluka di wajahnya. Ia juga sudah lupa caranya sedih dan tertawa. Walau
begitu, secara naluriah matanya masih paham cara untuk melepaskan kesesakkan di
dadanya adalah dengan menangis.
Kenan menengadahkan kepalanya, pasrah.
Dengan menutup mata Kenan tidak perlu melihat taman yang tertutup salju yang
akan menjadi tempatnya mendarat kelak. Kaki kanannya sudah terangkat, siap
meloncat. Namun, saat itu juga Kenan teringat bagaimana orang-orang yang masih peduli
padanya menyuruhnya–memaksanya–untuk terus hidup dan tetap berjalan. Ingatannya
terus mempermainkannya, menuntutnya untuk mengingat dan mengingat lagi setiap
kenangan yang ada, bersama Lena, bersama Ryan, bersama Vincent, bersama
teman-teman sekolanya dan lainnya.
Seketika itu juga keberanian lenyap dari
raganya. Kaki kenan langsung lumpuh, tak lagi mampu berdiri. Kenan jatuh
terduduk tepat di pinggir atap. Dirinya yang sudah seperti cangkang kosong hanya
diam di tengah hujan salju bersama violinnya.
“Kenan mana, Merry? Anderson? Kenan mana!?”
pekik bibi Vani.
Ia melihat ke sana kemari, berlari ke sana
kemari, sambil membuka semua pintu yang ada di rumah itu. Pelayan-pelayan yang
iba membantu bibi Vani untuk berkeliling rumah mencari Kenan. Bahkan, berulang
kali bibi Vani menengok ke kamar Kenan, berharap kalau gadis itu tiba-tiba
muncul di sana.
“Vani, tenang!” Paman Anderson menangkap
lengan bibi Vani.
“Tenang!? Bagaimana aku bisa tenang!?”
“Vani,” tante Merry muncul dari pintu
depan. Ia membawa berita dari pusat pencarian orang hilang. “Aku, tidak
menemukan Kenan dimanapun.”
Paman Anderson mengernyit. “Lihat!? Tenang
apanya!? Kenan sudah menghilang satu minggu! Kemana ia pergi selama itu tanpa
membawa barang apapun!?” Bibi Vani mengeluarkan handphone dan dompet Kenan dari saku bajunya. “Dia bahkan tidak
membawa ini! Bagaimana caranya kita menemukannya di Inggris ini, Anderson!?”
Kedua tangan Anderson memeluk bibi Vani.
Kepalanya yang lesu jatuh ke pundak bibi Vani. “Aku tahu, Vani. Aku juga sudah
mencarinya kemana saja. Hanya, kepanikan tidak membawa perubahan baik sama
sekali di sini, Vani.”
Mendengar perkataan itu tante Merry
menggertakkan giginya, sementara bibi Vani hanya terdiam kaku. Lelah dengan
semua pencarian sia-sia itu, paman Anderson mengajak bibi Vani dan tante Merry
untuk duduk di ruang tamu. Mereka hanya diam seribu bahasa. Mereka sudah
kehabisan akal kemana lagi harus mencari putri mereka satu-satunya.
“Pah, Mah, Kenan benar hilang!?”
Di saat suasana sudah mulai tenang, Ryan
mendadak muncul di tengah tea break.
Bibi Vani tanpa sadar berdiri ketika mendengar suara putra tunggalnya. Ryan
langsung berlari memeluk bibi Vani begitu melihat nanar di wajah mamanya.
“Kau yakin di sini, Ryan?” tanya ayahnya.
“Kalau tempat dimana Kenan bisa menenangkan
dirinya... hanya di sini, National Hospitality of Neurology.” Mendengar nama ‘tempat’
itu , tangis tante Merry hendak meledak. Situasi yang sama, pada perasaan
tercekik yang sama.
Ryan yang baru datang memiliki banyak tenaga
untuk lari ke sana kemari. Ia berkeliling hampir ke seluruh resepsionis rumah
sakit itu untuk bertanya tentang Kenan. Usaha tanpa lelahnya membuahkan hasil
saat seorang perawat bersama seorang penjaga dinas malam memberi informasi
mengenai seorang perempuan yang sedang memeluk biola ditemukan nyaris mati
membeku di atap rumah sakit beberapa hari silam.
“Ada, ayah! Mom, jangan menangis. Ayo ke
tempat Kenan.”
Ryan membawa secercah harapan kepada
keluarganya. Ia mengemudikan mobil ke kota seberang, King’s Cross. Ryan
memarkirkan mobil ayahnya di King’s Cross Public Hospital.
“Rumah sakit?”
Sepanjang perjalanan memasuki koridor rumah
sakit, Ryan menjelaskan apa yang perawat dan penjaga itu jabarkan padanya.
Menjelang tengah malam, sorot senter penjaga tidak sengaja menangkap bayangan
manusia di atap. Ketika ia berlari ke atap, ia menemukan seorang wanita yang
sudah tidak sadarkan diri. Dari ciri-ciri yang disebutkan penjaga itu, Ryan
yakin sekali bahwa itu Kenan. Namun, karena rumah sakit itu khusus menerima
pasien neurologi, mereka harus memindahkannya ke rumah sakit lain. Yang bersedia
dan yang terdekat saat itu adalah... King’s Cross Public Hospital.
No comments:
Post a Comment