Thursday, 10 March 2016

Screenshot 1

...
“Lalu mana biolanya?” tanya pak James. Kenan menggeleng. “Kalau begitu, bagaimana dengan lagu dari piano Ryan saja?” saran pak James.
Kenan balik memandangi Ryan. Ryan berjalan ke arah grand piano. Ia duduk di kursinya lalu membuka tutup pembukanya. Beberapa saat kemudian mulai mengalun lembut lagu dari iringan piano.
“Chopin: Nocturne No.2, Op.9,” gumam Kenan.
Kenan diam mendengarkan sambil menundukkan kepala. Hatinya miris ketika mengingat Lena yang bertepuk tangan dengan riang ketika pertama kali Ryan memainkan lagu ini di hadapannya. Wajah kagumnya seperti orang bodoh.
Selesai memainkan satu lagu itu, improvisasi medley Ryan melanjutkannya dengan lagu lain.
Aku tahu lagu itu. “Stella Quintet: Crescendo.”
Wajah bodoh Lena yang kagum Kenan ketika memainkan lagu ini dengan biola terlintas di kepalanya. Ketika Lena melamun, tertawa, lalu bertepuk tangan dan menjerit-jerit seperti orang gila untuk meminta sahabatnya memainkan lagu yang lain. Lena yang waktu itu begitu bahagia dan bisa tertawa sesuka hatinya. Namun, Lena yang ada saat ini hanyalah orang yang sedang terbaring tak berdaya dengan selang di hidung dan mulutnya. Tak ada lagi guratan senyum dari bibirnya. Tak ada lagi tawa di wajahnya. Seakan-seakan melihat Lena bisa ‘bebas’ hanya ilusi semata.
Lutut Kenan gentar. Ia jatuh berlutut. Kedua tangannya menapak ke lantai lalu ia menangis keras-keras. Semua air mata yang ia tahan selama tiga hari tumpah ruah.
“Menangislah sepuasmu, kau orang yang tegar, Kenan. Kau tidak sendirian, aku ada di sini.” Nada-nada dari tuts piano lenyap dan saat itu tangan orang yang memainkan piano itu tadi sedang memegang pundaknya. Begitu menyakitkan. Hati Kenan semakin perih untuk menerima kenyataan dengan rasa bersalah.

~Sion :D

No comments:

Post a Comment