Haiii semuaaaaaa...
Sion di sini~ :3
Aku sebenernya udah lama re-editing chapter 1 ini. Bagi yang pernah baca (juga komen) mungkin yang masih inget bisa dibuat pembanding dan mita komentarnya #grin
Selamat membaca~
_______________________________________________________________________
Chapter 1
Kepala Kenan menengadah ke langit kelam
Sleman. Beberapa tetes sisa air hujan membasahi wajahnya dan menyegarkan
dirinya yang mulai bosan. Dua jam tidak kurang lama baginya untuk menunggu
hujan reda di bawah bayangan kanopi rumah tetangga. Masalahnya adalah... kanopi
tempatnya berteduh tidak kurang kecil untuknya dan kedua kawannya. Belum lagi
kedua makhluk itu begitu rusuh saling dorong untuk berebut tempat.
Pelangi
seperti di langit desa wisata Kalibiru yang kulihat di tv ternyata bisa muncul
di sini juga ya? Cantik... Mata Kenan berkilauan waktu memandang
pelangi yang terbentang di angkasa. Ah,
padahal sama-sama di Yogyakarta tapi kenapa rasanya kampung kumuh Parejo ini
dan desa itu bagai langit dan kuburan?
“Pelangi!!”
Lena mendorong Rudi menjauh darinya. Ia pasti tidak sadar kalau ia mendorong
temannya sampai terjerembap di lumpur. “Ihiy!! Ini sudah ketiga kalinya aku
lihat pelangi!! Kenan, itu pelangi!!”
Tak
usah berisik teriak-teriak juga aku tahu itu pelangi...
Lena berlari ke
sana kemari, berputar-putar membentuk lintasan angka 8 lalu cengar cengir kuda.
Setelah capek dan kepalanya pegal, ia berhenti. Matanya bersinar-sinar saat
memandang Kenan–entah apa yang Lena ingin sampaikan dari senyuman bahagianya itu–lalu
mulai berlari-lari lagi.
Di kesempatan
berikutnya–saat Lena capek (lagi) dan istirahat sambil ngos-ngosan (lagi)–Rudi
berjingkat-jingkat mendekatinya dari belakang. Tangannya–dan seluruh
badannya–penuh lumpur. Tak perlu menunggu lama sampai gumpalan lumpur tersebut
melayang ke kepala Lena. Semuanya. Yah, tak perlu tunggu beberapa detik juga
sampai jeritan 5 oktaf Lena menggema.
“Ru... diii!!!!”
Mereka pun
kejar-kejaran di area berlumpur. Lumpur yang mereka injak-injak itu ikut pula
memantul-mantul ke segala arah. Jangan tanya kenapa nantinya dari ujung kepala
ke ujung kaki Kenan penuh noda lumpur. Rasanya dua jam mereka untuk menunggu
hujan reda (tujuannya kan supaya pakaian mereka tidak basah) sia-sia.
“Kau yang mulai
duluan, anak cewek gila!”
Rudi menembakkan
peluru lumpur ke dahi Lena. Dan... homerun!
Mendarat sempurna di jidat lapangan tempur Lena. Alhasil, Lena tambah ngamuk.
Dari
kejar-kejaran sekarang lempar-lemparan lumpur? Aku pasti tidak bisa sampai
rumah dengan selamat sentosa ya...
Lemparan bola
lumpur Lena sayangnya tidak ada yang tepat sasaran. Ia menghabiskan semua
amunisi lumpur di tangannya dengan sia-sia. Waktu Lena menunduk untuk mengisi
ulang amunisinya, Rudi melemparkan satu bola lumpur terbesar yang dibuatnya. Hiyat! Bola lumpur itu melayang melewati
Lena menuju... Kenan.
Seinci lagi lumpur
itu hampir mengenai muka Kenan yang ada di belakang Lena. Kenan mendongak ke
belakang lalu pandangannya kembali ke kedua bocah lumpur di hadapannya. Matanya
memelototi Rudi.
Sadar suasana jadi
tegang, Lena bangkit berdiri. Ia melihat ke arah Rudi melihat. Di balik
punggungnya, Lena mendapati Kenan yang diam saja. Lena mengerjapkan mata
berkali-kali, masih berpikir kenapa badan Rudi bergetar (sebenarnya dia takut
pada Kenan).
“Ehm, kenan?”
Pandangan mata Lena kembali pada teman di belakangnya. “Oh, Ke.. nan...”
Ekspresi Lena seketika berubah seperti melihat hantu. Ia BENAR-BENAR baru sadar
ulah mereka berdua pada temannya tersebut. Lena celingukkan kemana-mana,
ketakutan sama seperti Rudi ketakutan. Berikutnya, dengan gagah berani–dan
terpaksa–Lena menarik baju Rudi kemudian berlari mendekati Kenan yang alisnya
sudah terangkat sebelah. “Ma, maaf, Ken! Rudi, sini! Kamu kan yang salah!” Lena
mencengkram tangannya pada pundak Rudi lalu memandang
Kenan penuh harap supaya ia memaafkannya.
Rudi
baru mau protes pada tuduhan semena-mena Lena tapi ia urungkan niatnya waktu
melihat bola mata Kenan. Sejenak Kenan hanya menatapnya, terus menatapnya, bingung. Sekian lama, detik demi detik.
Hening total. Akhirnya Rudi menyerah, ia menarik Lena menjauhi Kenan lalu
memecah keheningan yang rasanya membuat mereka stres.
“Hmm, jangankan maafin kita, kau yakin dia bisa ngomong, Na?” tanya Rudi
yang sebegitu herannya mengapa Lena kuat menghadapi kebisuan Kenan.
“Emangnya selama
ini aku ngomong sama tembok? Emangnya Kenan tembok? Eh, iya kali ya. Eh, enak
aja! Kupingku belum soak kaya kamu ya!”
Rudi tersinggung. “Aku kan nanyanya baik-baik! Kenapa malah sewot??”
Akhinya... mereka
sendiri berdebat sementara Kenan diam sebisu rumput yang bergoyang tertiup
angin. Terus saja begitu. Padahal mereka sendiri tak sadar ada Kenan di sana dari awal (baru sadar setelah Kenan
berubah menjadi monster lumpur). Yah, salahnya juga yang terlalu pendiam sampai
kehadirannya terlupakan. Saking pendiamnya, jumlah kata yang keluar dari
mulutnya tiap hari bisa dihitung dengan jari. Karena itu tak jarang ia dikira
bisu. Ia bahkan berpikir kalau mungkin sebentar lagi akan lupa caranya
berbicara.
Rudi merengut. “Dosa
lho bohong melulu! Aku sudah seminggu di sini dan tak pernah lihat ia ngobrol
dengan siapapun!”
“Ken tidak suka
padamu!” Lena
cengengesan.
Katanya
mau minta maaf, sekarang malah tuduh-tuduhan. Ergh...
Kenan buka
mulutnya, “Hei. Kalian ini berisik sekali. Hari sudah senja, pulanglah.”
Rudi tercengang
melihat Kenan bicara. Lena
cengar-cengir bangga karena dianggap Kenan sebagai temannya. “Ih, kok cara ngomongnya
si Ken aneh gitu? Memangnya dia pembaca berita yang kaku di tv?” bisik Rudi merasa
ngeri sembari melihat punggung Kenan yang terus menjauhi mereka. “Serem banget.”
“Mana kutahu! Aku
bukan pembantunya! Kalau gak salah, ayahnya pernah bilang ke aku kalau otak Ken
terlalu pintar buat –“
“Ha, apa
hubungannya pintar sama cara ngomong?” Rudi mulai nyolot.
Lena mengelak ikut tak mau kalah. “Mana
kutahu! Umurku masih 5
tahun tahu!
Masuk SD saja belum! Mana ngerti yang kaya gitu!”
“Jadi maksudmu, dia
itu gak nor, mal?” Alis Rudi sebelah terangkat.
“Yah kamu lah yang
gak normal itu!”
“Hah!? Kamu tuh!”
Mereka
tenaga kuda ya...
Kenan sempat
menengok ke belakang, menonton mereka sekilas. Tanpa menonton lebih lama, Kenan
berjalan semakin jauh meninggalkan mereka berdua. Rudi dan Lena sadar kalau mereka ditinggal langsung
berlari mengejar.
Tiba dirumah, Kenan
makan malam bersama keluarga kecilnya. Ayahnya senang bertanya ini itu meski
tahu putrinya takkan menjawab. Hal itu sudah cukup membuat Kenan bahagia karena
merasa dicintai. Semua perasaan tersimpan di dalam hatinya–jelas karena Kenan
tak bisa mengekspresikan senyum.
♣
Satu-satunya teman
bicara–iya kalau ngomong beneran–Kenan adalah Lena. Orang-orang mengiranya bisu,
guru-guru di SD-nya pun mulanya demikian. Ia sama sekali takkan bersuara kalau
tidak ditanya. Beberapa teman sekelas lainnya masih ada yang mau ngobrol
dengannya dengan alasan tanya PR. Kepintaran Kenan yang seperti komputer bukan
lagi rahasia umum, sehingga sering kali Kenan hanya dimanfaatkan dalam kerja
kelompok.
Hmm..
Lena... Sepintas Kenan ingat cerita lama saat Lena menolongnya
dari omelan teman-teman sekelasnya soal piket kelas. Dan soal piket kelas sebelumnya
membuat Kenan tak sengaja melirik ke jam dinding. Oh! Aku lupa sama Lena!! Buru-buru Kenan merapikan buku yang
daritadi dibacanya di perpustakaan
sekolah sampai lupa waktu.
“Yah. Molor lagi
deh. Baca kamus atau kamu yang dibaca kamus?” sindir Lena pada temannya yang rambutnya super berantakan karena
lari-lari. Kepala Kenan tertunduk malu. “Ya sudahlah. Ayo keliling
dulu sebelum pulang!” ajaknya.
Senyuman Lena membuat Kenan merasa bersalah karena
terlambat tapi ikhlasnya Lena
tak marah. Menurut Kenan, Lena
teman
yang baik, tidak seperti si cerewet Rudi yang akhirnya pindah ke luar kota
karena pekerjaan orang tuanya.
“Len, Lihat! Biola
itu bagus ya! Oh ya, kau senang musik?” tanya Kenan.
“Apaan itu biola?”
tanya Lena polos. “Alat
musik? Enggak.”
“Bukan. Nama bibi
tukang jaga kebun–Bibi Ola. Eh, merek kain pel deh.”
Lena cemberut.
“Hah!?”
“Hoh,” balas Kenan
gemas.
“Ih. Serius.” Lena
cemberut.
“Aku tak jadilah.
Lupakan saja,” jawab Kenan malas.
“Ih ngambek tuh.
Padahal hari ini di rumahku mama buat es krim loh.”
Kenan terpancing.
“Wah! Tante buat es krim lagi!? Mau dong!!”
“Ih, siapa loe
tiba-tiba bilang mau mau?” sindir Lena
menohok
Kenan.
Kenan senang berada
di dekat teman kecilnya, Lena.
Dia baik, konyol, dan mudah dibego-begoin. Seperti itulah kira-kira Lena di
mata Kenan yang kelewat polos tapi bodoh karena Lena sering dikerjai dengan cara yang sama
berkali-kali.
Mereka pula selalu sama-sama,
hingga masuk ke sekolah yang sama–SDN 17 Depok, Sleman. Dari balita sampai saat
itu mereka sudah kelas 3 SD, di sebelah Kenan Lena selalu tak pernah capek
merepet. Bahkan, selama hampir sejam mereka berjalan kaki dari sekolah ke rumah
setiap hari. Ekonomi keluarga mereka serba kekurangan sampai untuk ongkos
angkutan umum untuk ke sekolah pun tak ada. Padahal, dulu mereka orang yang
terlebih dari mampu. Untungnya keduanya sepakat sama-sama cuek soal itu.
Biasanya, saat pulang
sekolah mereka melintasi jalur yang berbeda-beda sesuka hati Lena. Bisa
kadang-kadang lewat jalan yang sepi, biasa lewat jalan besar penuh truk, bahkan
bisa potong jalan melalui perumahan. Yah, kurang lebih 5 bulan yang lalu Lena tak
sengaja memilih jalur ruko pertokoan di dekat kompleks perumahan elit Luna
garden, kemudian bagaikan Kenan bertemu dengan kembarannya yang sudah terpisah
puluhan tahun, mereka menemukan sebuah toko musik di salah satu ruko-ruko itu.
Sejak hari itu, Kenan ngotot kalau mereka harus pulang dari sekolah lewat jalur
itu supaya bisa singgah di sana.
Satu minggu pertama
mereka hanya selalu numpang lihat dari jauh. Mata Kenan hobi jelalatan melihat
biola-biola yang tergantung dan terlihat jelas dari luar. Hari Senin
berikutnya, Kenan mendengar alunan biola dari dalam toko tersebut dan sontak
berlari sampai ke pintu depan toko. Sayangnya, begitu penjaga toko itu melihat
Kenan, ia malah lari pontang panting. Ya, semenjak ‘itu’, Kenan berevolusi
menjadi penggila biola.
“Hei! Bengong mulu! Kamu denger gak daritadi
aku ngomong apa??”
Pikiran Kenan
buyar. “Eh, enggak. Iya?Eh, apa apa?” jawab Kenan tergagap-gagap.
“Kenapa sih sama
biola itu?” Ali Lena naik saat melihat biola yang tergantung di etalase toko. “Aa, sa,
sta, stra.. –“
“Stradivarius.”
Kenan menjawab dengan antusias. “Dari yang kubaca, itu biola antik. Yang ada di sana hanya replikanya. Mungkin.
Replikanya saja
mahal sekali tapi bukan itu yang kulihat. Coba lihat yang ada di sebelah pintu,
yang berwarna coklat muda mengi–“ segera Kenan bungkam sampai lidahnya
tergigit. Jebakan Lena
sukses besar.
“Oh, bagus. Penjahat ngaku. Aku ngomong sama
batu ya daritadi.”
“Maaf!” Kenan
langsung menutupi kedua matanya.
“Penjara udah kepenuhan. Mau rebutan kamar di sana sama koruptor?
Katanya kamarnya bagus-bagus lho, makan juga gratis.”
Ikh,
sial.
“Cita-citaku mewah sekali ya.”
“Makanya kembangkan
terus bakat penjahatmu ya, Nak.” Keduanya
tertawa-tawa tanpa berpikir sedikit pun tentang dimana mereka berdiri saat itu.
Lena menghela nafas
panjang. “Haaahh. Andai aku orang kaya, aku beliin kamu biola itu,” sergahnya
sedih. “Apa aku perlu jadi koruptor dulu ya?”
“Hmm.. kamu sudah
kaya, Len.” Kenan menatap dengan jahil.
“Ngelucu ya? Keluargaku miskin, kamu juga kan, tetangga
juga kan (?).”
“Hmm.. kukira tadi –“
Keringat mengalir
deras di kening Kenan waktu lagi-lagi ia tertangkap basah berisik di depan toko
musik tersebut oleh penjaga tokonya. Sebelum penjaga tokonya keluar, Kenan
menarik tangan Lenan lalu lari kejar-kejaran seperti anak balita tapi Lena nyatanya
memang seperti balita karena ia terlalu sering tersandung tanpa sebab.
Mengherankan sekaligus menggelikan bagi Kenan.
Hanya saat bersama
Lena Kenan bisa benar-benar tertawa. Namun, hanya saat bersama Lena juga Kenan
selalu ingat kalau ia mulai bergantung padanya ketika masa lalu sempat
membuatnya terpuruk. Rasanya benar-benar tenang dalam kesenangan itu hanya pura-pura
belaka seperti mimpi yang akan lenyap ketika Kenan terbangun, lenyap bersamaan
dengan Lena lenyap dari hidupnya.
Ia teringat kembali
akan masa lalu. Tidak seperti dulu, dua
tahun yang lalu masa terburuk keluarganya. Masa PHK masal dan ayahnya salah
satu imbasnya. Oleh karena itu masa lalu yang tak perlu ditatap lagi, Kenan
hanya bisa berharap pada Tuhan kalau masa-masa indah saat ini lebih dari harta
berharga.
Kenan menghela nafas, tersenyum sambil menatap Lena
yang ngos-ngosan dari jauh. Mudah saja
kan menganggap masa lalu ya masa lalu. Bicara mah mudah. Sekali sudah mengalami
hal tidak enak, hal yang enak malah seperti ilusi. Semua yang baik hari ini
terjadi seperti mimpi saja. Apa aku salah kalau aku takut semua yang kumiliki sekarang
akan hilang begitu saja seperti kejadian pada ayah dulu?? Kalau iya ini ilusi,
aku harus berubah jadi seperti apa lagi saat semuanya lenyap lagi??
|| Sion ||
Coba alurnya diubah. Buat kalimat pembuka lebih menarik, ajak pembaca masuk dalam novelmu sejak faragraf pertama. Jika sejak pertama pembaca sudah malas membaca, mungkin begitu juga dengan editor penerbit.
ReplyDeleteHttp//dosadosaterindah.blogspot.co.id
Makasii sarannya, Kak :D
Delete