Entah sudah yang keberapa kalinya novel ini dirombak dan dirombak. Terpaksa harus stop di release di blog dulu karena isinya udah gak kompatibel sama cerita yang sekarang...
Huhuhu... T...T
Chapter
10
Pemandangan di luar
kaca jendela hanya awan membosankan yang bergumpal-gumpal mirip permen kapas. Kenan menguap berkali-kali menahan bosan
setengah hari perjalanan dengan pesawat. Pesawat tersebut baru lepas landas
sekitar dua jam tapi ia
sudah melayang ke dunia bawah sadarnya.
“Sudah bangun?” Sapa Ryan dengan cengiran pada
Kenan yang baru keluar dari dunia kapuk. “Kau lihat awan itu? Di sini masih
cerah tapi begitu kita sampai di daerah Barat, warnanya jadi kelam membuat
perasaan cerah waktu bangun pagi jadi buruk. Kau tahu tidak kalau awan tak bisa
memilih untuk berubah jadi awan hujan–cumulus
nimbus–karena pengaruh molekul air dan suhu di sekitarnya? Sementara
manusia punya pilihan untuk berubah.”
Kenan mengerutkan dahi. “Tentu saja. Awan benda
mati.”
“Kau benda mati,
bukan? Apa lingkungan di sekitarmu bisa menelan senyumanmu yang dulu, Ken?
Jadi, kemanakah perginya sepupuku yang dulu?” Kepala Ryan menoleh ke sana
kemari seperti mencari orang yang terhilang.
Kenan melongo.
Kata-kata Ryan lembut tapi berhasil menusuknya karena benar. Kenan berubah. Ya. Ia berubah tapi ia
tak sadar. Oleh karena masalah, sekarang ia sudah lupa caranya tersenyum dan
kemana-mana hanya membawa hawa murung. Tak jauh beda dengan awan-awan hujan di tengah
cakrawala.
Ryan berhenti
mencari-cari. “Jadi? Di sekolah yang baru kau mau apa? Masih dengan wajahmu
yang suram itu?” goda Ryan.
Kenan geli dengan sikap Ryan. “Tidak juga,”
jawabnya sambil tersenyum.
“Aku pikir senyuman
yang itu cuma untuk kepala sekolah aja. Masa aku kalah sama kepala sekolah?
Teganya,” tukas Ryan. Kenan
tertawa kecil.
Kepala Kenan pening. Akibatnya ia tidak bisa fokus melihat ke sekeliling. Berapa lama perjalanan tadi itu? Baru
pertama kali aku naik pesawat tapi sudah kenyang aku menikmati pesawat yang tadi
itu. gerutu Kenan. Aku jadi mual.
Ryan menyilangkan
tangannya di dada. “Gimana menurutmu?” tunjuk Ryan ke arah luar kaca. “Welcome to England, my sister,”
sambutnya.
Mata Kenan tercenggang pada pemandangan di luar
bandara yang terlihat dari kaca. Semuanya putih. Semua orang berpakaian tebal
dengan boot.
“Kau pintar pilih
pakaian ya? Nah, sekarang pakai mantelmu yang daritadi kau pegang-pegang itu. Dan
karena kau tipe orang yang selalu serius sama perkataannya, lebih baik pakai
juga kacamata dan topinya. Mumpung cocok.”
“Perkataan apa?” tanya Kenan bingung.
“Meskipun
tawarannya enak, tujuanku bukan membuat Challysto membawaku ke Wina. Kalian
cukup jadi patokan untuk aku melampaui nama itu dengan tanganku sendiri. Aku
akan dikenal sebagai violinist
Kenan Grace, bukan Challysto,” ungkap Ryan lengkap mengkopi perkataan Kenan dulu, “lupa? Padahal waktu itu sok
keren.”
Kenan memandangi Ryan sambil senyum. “Oh. Thanks mengingatkan.”
Ryan terlihat
senang. Ingin sekali ia menepuk pundak Kenan. Namun, ketika tangannya hampir
menyetuh, Kenan mengelak. Ia
menyingkirkan senyum palsu bodoh itu. “Jadi, dimana pun kita tetap pura-pura
tak kenal, Mr. Challysto.” Sukses
Ryan dibuat takut untuk bicara macam-macam pada Kenan lagi. Kenan mulai melangkah pergi. “Tetap panggil
aku Grace. Ayo jalan, tuan Ferliaz.”
Mereka jalan
berjauhan menuju parkiran bandara. Di sana ternyata ada mobil jemputan–yang lebih mewah
dari mobilnya di Indonesia–parkir dengan menawan dan jadi tontonan masal. Kenan masuk tanpa komentar atau sikap norak.
Ryan memberanikan
diri untuk berbicara. “Kenan. Ehm, aku belum beri tahu kau kalau sekolah swasta
yang kita tempati ini adalah sekolah elit karena banyak anak-anak orang kaya.
Satu area sekolah ada SD, SMP, dan SMA.”
“Oh,” jawab Kenan sedingin salju di luar mobil. Ryan jadi
diam lagi.
Suara dengung mesin
mobil memenuhi perjalanan dari bandara sampai sekolah yang hendak ditunjukkan
Ryan. Begitu hening karena Ryan yang biasanya rewel takut bicara dengan sepupunya sendiri. Kenan tak tahu bagaimana mengekspresikan
perasaan kocak itu. Anak SMA takut dengan anak SMP.
“Ehm, sekolah ini,
menurutmu bagaimana?” tanya Ryan ragu setelah mereka keluar dari mobil untuk melihat
sejenak sekolah di tengah malam.
Kepala Kenan
menengadah ke sekolah elit itu. “Besar.” Pandangan Kenan terlempar pada wajah Ryan. “Jadi, kapan masuk sekolah?”
“Lusa. Sekarang
sudah ganti hari, jadi sampai lusa terserah kau mau apa.”
“Kalau begitu
carikan aku dan tante Merry rumah kecil. Jawaban Kenan mengagetkan Ryan. “Kalau
kau tak mengijinkan, biar aku jadi gembel di sini.”
Ryan meringis. “Astaga.
Jalan pikiranmu itu buat aku kalap. Apa masalahnya tinggal di rumah kami,
Kenan??” tanya Ryan.
“Aku takkan biarkan
orang melihatku keluar dari kediaman Challysto.”
Kenan belum menang.
“Saat kau sekolah, tante Merry yang gak bisa bahasa Inggris mau ngapain?” Ken
merenung. Ryan berharap penuh Kenan kalah pada argumentasi itu. “Kau senang
tinggal kaya orang yatim piatu? Kami ini ada!”
“Aku kan memang
yatim piatu, bodoh.” Mata Kenan tajam menatap Ryan. “Well, kalau tante Merry, sepertinya benar. Tante Merry di rumahmu
saja.”
Ryan meringis persis
bayi. “Kok tante Merry seperti kardus yang dioper-oper ya? Jadi kau serius
dengan rumah itu?” Kenan
mengangguk. “Ya oloh. Ampun deh. Kalau gitu siang nanti kita kelilingnya,”
jawabnya menyerah.
Kenan mendahului Ryan masuk ke mobil. Dasar kebanyakan duit.
Inggris pukul 11
siang di ruang keluarga
kediaman keluarga Challysto mulai
menghangat tapi tetap saja Kenan
menggigil. Matanya
terbelalak begitu melihat garis raksa termometer ruangan berada di bawah angka
10. Padahal perapian sudah nyala. Itu kenyataan paling mengerikan kalau ia terjebak di negara yang saat malam suhunya
dibawah 0°! Tidak! Tempat macam apa ini!?
“Kau mau teh?
Ceylon tea,” sapa Ryan sambil
menawarkan.
Niatannya menolak
karena kesal tapi lingkungan tak mendukung. “Baiklah,” jawab Kenan sambil duduk di hadapan Ryan. “Sial.”
“Dingin, kan?” Ryan terkekeh sambil mengangkat
cangkir tehnya. “Kau harus terbiasa kalau memang mau jadi violinist terkenal. Tekadmu itu keren. Ayo
tunjukkan kalau kau serius. Papa selalu cerita kalau sok kerenmu itu memang
bawaan dari bibi. Gak heran deh anaknya kaya gini. Tapi, kuharap aku bisa jadi
pengiring alunan violinmu nanti.” Ryan dengan santai meneguk tehnya. Mata Kenan
terpaku pada sosok di depannya
itu. Meskipun sudah berkali-kali ia jejalkan Ryan dengan sikap ketusnya, ia masih saja ramah dan peduli padanya.
Teh yang lain yang
diminta Ryan kemudian datang diantarkan,
siapa itu? Ya siapalah itu. “Bagus juga aku benar-benar jadi violinist
di Wina.”
Ryan membalik koran
yang ia baca. Kenan
tak melihat ia baca koran semenjak
daritadi.
“Terus mau jadi yang lain? Luthier?”
Kenan menarik nafas tak mengacuhkan kata-katanya. “Jadi, kau sudah mandi? Aku mau berangkat
sekarang.” Mendengarnya, Ryan berdiri dan kabur ke kamarnya sementara saat itu giliran Kenan meneguk santai teh di hadapannya.
“Memangnya mau
kemana?” tanya Ryan yang sudah kembali dari pelariannya dalam waktu tak sampai lima belas menit.
“Rumah, Ryan.
RUMAH.”
Ryan menghela nafas
bosan. “Tahu kok, tapi kau belum
bilang
apa-apa soal rumahnya. Aku yang milih
nanti aku dipelototin lagi.”
“Kalau begitu kau
diam saja sampai aku mulai menunjuk.”
Mobil melaju di
atas jalan yang sudah dibersihkan dari salju. Pemandangan pertama bagi Kenan melihat orang berpakaian tebal lalu
lalang tetapi tidak dengan wajah Indonesianya. Di dalam mobil dan di rumah, Kenan masih berbicara bahasa Indonesia tapi
ketika luar dari lingkup kenyamanannya
itu semua akan berubah dari kehidupannya yang lama. Harus beradaptasi lagi.
“Baiklah, Non. Itu
tempat pemasaran rumah di area dekat sekolah. Lalu, jangan sekalipun berharap
rumah yang ada kaya maumu. Ini daerah elit.” Ryan mengingatkan.
Ketus Kenan menjawab ‘ha!’ karena tahu ia tak akan mendapatkan yang ia mau. Jadi ia tinggal berharap yang paling kecil di
wilayah itu.
Ryan keluar mobil
dengan satu tendangannya.
Ia yang keluar sementara Kenan
tetap di dalam. Ia membawakan ke
sepupunya foto-foto rumah ke dalam mobil sementara Kenan leha-leha.
Biar saja dia yang urus. Aku mau manja.
“Ini nona kaya
terhormat. Mau yang mana terserah,” tukas Ryan sungguh tanpa marah.
Kenan memandangi foto itu satu per satu dan pilihannya jatuh pada satu rumah yang yah, kira-kira
satu keluarga berisi 5 orang muat di dalamnya. Itu ukuran terkecil dari semua
foto itu. Tak banyak
pilihan. “Itu yang paling kecil?” Tawa Ryan meledak.
“Sial,” gerutu Kenan. “Kau sengaja ya cari foto ini? Kuhajar
kau.”
Ryan tertawa sampai
menangis. “Gak lah. Foto rumah yang lain jauh lebih besar,” jawab Ryan sambil
mengelap air matanya. “Kau tahu? Foto-foto rumah yang lain adalah bekas minor house bangsawan dulu.”
Kenan memalingkan muka saking kesalnya.
“Terserah saja.” Ryan masih melanjutkan tawa bahagiannya ketika turun dari
mobilnya dan kembali ke tempat pemasaran rumah itu. Kenan tak mau memikirkan berapa jumlah kocek yang dirogoh sepupunya untuknya. Ok, selama Ryan
sendiri tidak bermasalah soal itu. Buktinya enak saja ia ketawa sana-sani tanpa
ada kartu kredit ayahnya.
Kaki Ryan merangsek
masuk mobil. “Jadi mau lihat gimana rumahnya?” Kenan mengangguk. “Tentu saja kau akan
kecewa.” Mata Kenan
melirik cepat ke arah Ryan dengan tambah jengkel. Sementara itu Ryan malah lanjut tertawa.
Mobil melaju lamban
dari tempat pemasaran. Tak sampai tiga menit mereka sudah tiba di ‘rumah baru’ Kenan.
Rumah itu benar-benar
membuat Kenan
kecewa. “Sial! Apa tidak ada yang lebih besar dari ini!? Rumah ini sebesar 2 TK di dekat rumahku!”
maki Kenan dengan suara kecil dan tebakannya Ryan sudah tahu kalau ia sedang memaki-maki. Mata Kenan memelototi
Ryan.
“Hmm.. kalau dari
sini, jalan kaki ke sekolah sekitar 5-10 menit,” kata Ryan sebelum Kenan mulai bertanya. Meski kesal Kenan mengangguk tenang.
Setelah puas membuat Kenan makan hati, mereka
kembali ke dalam mobil dan mulai melaju. “Mau kemana lagi? Aku pikir ini bukan
jalan ke rumahmu,” tanya Kenan.
“Rumahmu,” gumam Ryan. “Kau sih mau saja tinggal di
rumah yang isinya cuma kasur sama meja belajar tapi itu menggelikan. Setidaknya
ada peralatan yang layak di sana dan ok, persediaan makanan juga. Yah, karena
kami lama-lama kenal kau juga, yang berikutnya papa yang akan mengirimkanmu
bahan makanan, Kenan.”
Kenan menghela nafas malas dan pasrah.
“Dasar kebanyakan duit.”
§
“Siapa yang
memindahkan semua barang-barang yang dibeli kemarin?”
Kenan yang baru tiba di rumah ‘kecil’ barunya keki melihat rumahnya sudah penuh
dengan peralatan baru, sampai dapur juga bonus kokinya. Kulkas penuh dengan
makanan mahal yang dulunya takkan pernah bisa ia beli. Lemari pakaiannya pun sudah penuh dengan pakaian baru selain
yang ada di kopernya. “Kerjaan siapa sih ini!?”
“Miss, what kind of food you longing for your dinner?” sela si koki.
Mata Kenan terbelalak. Antara kaget
karena ada orang dengan bahasa asing tiba-tiba nongol dan kaget karena pertama
kali dengar bahasa Inggris yang inggris
banget.
Kenan menjawab setengah kelabakan. “I, I don’t know anything about menu in here.
So, I, I’m very greatful for you to cook
anything for me. Thanks, Ma’am.”
Koki itu menggeleng
karena Kenan
memanggilnya Ma’am. Setelah koki itu
bertanya, ia segera pergi dari ruang
tengah ke dapur dan menggarap isi lemari pendingin yang ada di
dapur–bukan lemari pendingin lainnya
yang berada di ruang tengah–lalu mulai memasak sementara ia berkeliling di rumahnya sendiri.
Rumah itu lebih besar dari pikiran Kenan. Ada satu taman di depan rumah,
pekarangan cantik yang lebih membuatnya
bingung kenapa sudah tertata rapi. Selain
pekarangan itu,
terdapat pula taman yang lainnya yang berada di bagian belakang rumahnya. Mungkin taman yang berada di belakang rumah itu fungsinya untuk
bersantai minum teh saat musim semi, sedangkan taman yang ada di depan untuk mengindahkan tatanan rumah? Masuk
ke garasi, sudah bertengger sebuah mobil keluaran terbaru yang lebih mewah dari
mobil Ryan di sana.
“Ergh!
Ada apa sih sama keluarga Challysto ini? Bikin resah saja!”
Karena hari sudah
gelap, Kenan
dipaksa masuk oleh seseorang–Kenan
kira itu butler dari tail-coat
yang dipakainya–berambut cokelat
menyala bertubuh tinggi tegap,
entah berapa usiannya. Kenan pun mulai traveling
di dalam rumah sementara orang itu hilang. Ia berjalan ke tepian dari arah dapur sambil
melihat-lihat dua kamar tidur besar di sana. Kalau satu untuknya, satu bonus,
si koki sama butler tidurnya dimana?
Tiba-tiba sang koki
memanggil nonanya dengan sopan untuk memberitahu kalau makanan sudah siap disantap. Kenan pun duduk manis di bangkunya dan mulai melahap masakan yang
disediakannya.
“Aku memang belum
pernah ke hotel tapi jelas sekali ini bukan masakan rumah.” Mata Kenan lurus
tertuju pada makan malamnya yang menggoda. “Entah karena di rumah mereka juga
ada koki hotel bintang 5 makanya di sini juga ada?”
Usai memasak untuk Kenan, sang koki mohon undur diri. Undur
diri kemana?
|| Sion ||
Hayoo.. ada yang tahu gak luthier itu artinya apa??
No comments:
Post a Comment