Wednesday, 10 August 2016

Anak cewek umur 20 tahun belajar main... drum... telat ya?

Good afternoon :)
Saya baru mulai belajar drum dari kurang lebih 4 bulan yang lalu. Dalam satu bulan, kalau ditotal, jam latihanku hanya 2 jam. Jadi, sampai hari ini, jam latihanku kalau ditotal belum ada 8 jam.
Yah, ini sebenarnya gak tiba-tiba sih. Kakak yang ngajarin aku sudah MEMPERINGATKAN dari awal kalau aku bakal coba main di ibadah gereja. Cuma satu lagu, Bro.. (dari total 10 lagu dalam satu ibadah).
Apalagi waktu Selasa kemarin kakaknya bener-bener bawa aku ke tim musik ibadah pas mereka lagi latihan buat ibadah hari Minggu besok.
Tanganku gemeteran deh.. plis. Meski cuma 1 lagu, aku takuuuuttt... Aku cuma NEWBIE ToT
Paling gak itu cukup jadi alasanku untuk depresi setiap kali denger suara drum habis pulang latihan Selasa itu.
Yah,,, puji Tuhan aku dapet encouragement dari sana-sinii.





Ini salah satu video yang aku gak sengaja tonton pas iseng buka youtube.
I wanna be like her!!! We lately start study in our adult lifespan. 
This time I actually like her at 1-3 week first lesson. Time could wait but i determined do not this affair make me stress out again!! 

Kalau dia bisa bagus mainnya dalam 2 tahun 3 bulan (DENGAN CATATAN KALAU SETIAP HARI LATIHAN MINIMAL 1 JAM), aku juga pasti bisa dalam 2 tahun (DENGAN CATATAN LATIHAN TIAP SABTU DOANG)!!!
Yeah!
Trus ada yang komen: gaya banget lu mau jadi expert latihan sekali seminggu doang.
> Pertama: Aku gak pengen jadi expert kok... aku cuma mau melayani Tuhan aja. Hehe :)
> Kedua: Gue gak punya drum di rumah tahu!! Beli set drum 30 jute, beli violin rakitan abal-abal aja cuma 300 rebay!!

Konnichiwa~
Domou arigatou! Anata wa watashi no monogatari ikitai desu. Hehe :D

Tuesday, 9 August 2016

Chapter 10

Hmm.. masuk ke bab dekade. Sepertinya Sion akan vakum lagi...
Entah sudah yang keberapa kalinya novel ini dirombak dan dirombak. Terpaksa harus stop di release di blog dulu karena isinya udah gak kompatibel sama cerita yang sekarang...
Huhuhu... T...T


Chapter 10


Pemandangan di luar kaca jendela hanya awan membosankan yang bergumpal-gumpal mirip permen kapas. Kenan menguap berkali-kali menahan bosan setengah hari perjalanan dengan pesawat. Pesawat tersebut baru lepas landas sekitar dua jam tapi ia sudah melayang ke dunia bawah sadarnya.
 “Sudah bangun?” Sapa Ryan dengan cengiran pada Kenan yang baru keluar dari dunia kapuk. “Kau lihat awan itu? Di sini masih cerah tapi begitu kita sampai di daerah Barat, warnanya jadi kelam membuat perasaan cerah waktu bangun pagi jadi buruk. Kau tahu tidak kalau awan tak bisa memilih untuk berubah jadi awan hujan–cumulus nimbus–karena pengaruh molekul air dan suhu di sekitarnya? Sementara manusia punya pilihan untuk berubah.”
Kenan mengerutkan dahi. “Tentu saja. Awan benda mati.”
“Kau benda mati, bukan? Apa lingkungan di sekitarmu bisa menelan senyumanmu yang dulu, Ken? Jadi, kemanakah perginya sepupuku yang dulu?” Kepala Ryan menoleh ke sana kemari seperti mencari orang yang terhilang.
Kenan melongo. Kata-kata Ryan lembut tapi berhasil menusuknya karena benar. Kenan berubah. Ya. Ia berubah tapi ia tak sadar. Oleh karena masalah, sekarang ia sudah lupa caranya tersenyum dan kemana-mana hanya membawa hawa murung. Tak jauh beda dengan awan-awan hujan di tengah cakrawala.
Ryan berhenti mencari-cari. “Jadi? Di sekolah yang baru kau mau apa? Masih dengan wajahmu yang suram itu?” goda Ryan.
Kenan geli dengan sikap Ryan. “Tidak juga,” jawabnya sambil tersenyum.
“Aku pikir senyuman yang itu cuma untuk kepala sekolah aja. Masa aku kalah sama kepala sekolah? Teganya,” tukas Ryan. Kenan tertawa kecil.

Kepala Kenan pening. Akibatnya ia tidak bisa fokus melihat ke sekeliling. Berapa lama perjalanan tadi itu? Baru pertama kali aku naik pesawat tapi sudah kenyang aku menikmati pesawat yang tadi itu. gerutu Kenan. Aku jadi mual.
Ryan menyilangkan tangannya di dada. “Gimana menurutmu?” tunjuk Ryan ke arah luar kaca. “Welcome to England, my sister,” sambutnya.
Mata Kenan tercenggang pada pemandangan di luar bandara yang terlihat dari kaca. Semuanya putih. Semua orang berpakaian tebal dengan boot.
“Kau pintar pilih pakaian ya? Nah, sekarang pakai mantelmu yang daritadi kau pegang-pegang itu. Dan karena kau tipe orang yang selalu serius sama perkataannya, lebih baik pakai juga kacamata dan topinya. Mumpung cocok.”
“Perkataan apa?” tanya Kenan bingung.
“Meskipun tawarannya enak, tujuanku bukan membuat Challysto membawaku ke Wina. Kalian cukup jadi patokan untuk aku melampaui nama itu dengan tanganku sendiri. Aku akan dikenal sebagai violinist Kenan Grace, bukan Challysto,” ungkap Ryan lengkap mengkopi perkataan Kenan dulu, “lupa? Padahal waktu itu sok keren.
Kenan memandangi Ryan sambil senyum. “Oh. Thanks  mengingatkan.”
Ryan terlihat senang. Ingin sekali ia menepuk pundak Kenan. Namun, ketika tangannya hampir menyetuh, Kenan mengelak. Ia menyingkirkan senyum palsu bodoh itu. “Jadi, dimana pun kita tetap pura-pura tak kenal, Mr. Challysto.” Sukses Ryan dibuat takut untuk bicara macam-macam pada Kenan lagi. Kenan mulai melangkah pergi. “Tetap panggil aku Grace. Ayo jalan, tuan Ferliaz.”

Mereka jalan berjauhan menuju parkiran bandara. Di sana ternyata ada mobil jemputan–yang lebih mewah dari mobilnya di Indonesia–parkir dengan menawan dan jadi tontonan masal. Kenan masuk tanpa komentar atau sikap norak.
Ryan memberanikan diri untuk berbicara. “Kenan. Ehm, aku belum beri tahu kau kalau sekolah swasta yang kita tempati ini adalah sekolah elit karena banyak anak-anak orang kaya. Satu area sekolah ada SD, SMP, dan SMA.”
“Oh,” jawab Kenan sedingin salju di luar mobil. Ryan jadi diam lagi.

Suara dengung mesin mobil memenuhi perjalanan dari bandara sampai sekolah yang hendak ditunjukkan Ryan. Begitu hening karena Ryan yang biasanya rewel takut bicara dengan sepupunya sendiri. Kenan tak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan kocak itu. Anak SMA takut dengan anak SMP.
“Ehm, sekolah ini, menurutmu bagaimana?” tanya Ryan ragu setelah mereka keluar dari mobil untuk melihat sejenak sekolah di tengah malam.
Kepala Kenan menengadah ke sekolah elit itu. “Besar.” Pandangan Kenan terlempar pada wajah Ryan. “Jadi, kapan masuk sekolah?”
“Lusa. Sekarang sudah ganti hari, jadi sampai lusa terserah kau mau apa.”
“Kalau begitu carikan aku dan tante Merry rumah kecil. Jawaban Kenan mengagetkan Ryan. “Kalau kau tak mengijinkan, biar aku jadi gembel di sini.”
Ryan meringis. “Astaga. Jalan pikiranmu itu buat aku kalap. Apa masalahnya tinggal di rumah kami, Kenan??” tanya Ryan.
“Aku takkan biarkan orang melihatku keluar dari kediaman Challysto.”
Kenan belum menang. “Saat kau sekolah, tante Merry yang gak bisa bahasa Inggris mau ngapain?” Ken merenung. Ryan berharap penuh Kenan kalah pada argumentasi itu. “Kau senang tinggal kaya orang yatim piatu? Kami ini ada!”
“Aku kan memang yatim piatu, bodoh.” Mata Kenan tajam menatap Ryan. “Well, kalau tante Merry, sepertinya benar. Tante Merry di rumahmu saja.”
Ryan meringis persis bayi. “Kok tante Merry seperti kardus yang dioper-oper ya? Jadi kau serius dengan rumah itu?” Kenan mengangguk. “Ya oloh. Ampun deh. Kalau gitu siang nanti kita kelilingnya,” jawabnya menyerah.
Kenan mendahului Ryan masuk ke mobil. Dasar kebanyakan duit.

Inggris pukul 11 siang di ruang keluarga kediaman keluarga Challysto mulai menghangat tapi tetap saja Kenan menggigil. Matanya terbelalak begitu melihat garis raksa termometer ruangan berada di bawah angka 10. Padahal perapian sudah nyala. Itu kenyataan paling mengerikan kalau ia terjebak di negara yang saat malam suhunya dibawah 0°! Tidak! Tempat macam apa ini!?
“Kau mau teh? Ceylon tea,” sapa Ryan sambil menawarkan.
Niatannya menolak karena kesal tapi lingkungan tak mendukung. “Baiklah,” jawab Kenan sambil duduk di hadapan Ryan. “Sial.”
“Dingin, kan?” Ryan terkekeh sambil mengangkat cangkir tehnya. “Kau harus terbiasa kalau memang mau jadi violinist terkenal. Tekadmu itu keren. Ayo tunjukkan kalau kau serius. Papa selalu cerita kalau sok kerenmu itu memang bawaan dari bibi. Gak heran deh anaknya kaya gini. Tapi, kuharap aku bisa jadi pengiring alunan violinmu nanti.” Ryan dengan santai meneguk tehnya. Mata Kenan terpaku pada sosok di depannya itu. Meskipun sudah berkali-kali ia jejalkan Ryan dengan sikap ketusnya, ia masih saja ramah dan peduli padanya.
Teh yang lain yang diminta Ryan kemudian datang diantarkan, siapa itu? Ya siapalah itu. “Bagus juga aku benar-benar jadi violinist di Wina.”
Ryan membalik koran yang ia baca. Kenan tak melihat ia baca koran semenjak daritadi. “Terus mau jadi yang lain? Luthier?”
Kenan menarik nafas tak mengacuhkan kata-katanya. “Jadi, kau sudah mandi? Aku mau berangkat sekarang.” Mendengarnya, Ryan berdiri dan kabur ke kamarnya sementara saat itu giliran Kenan meneguk santai teh di hadapannya.
“Memangnya mau kemana?” tanya Ryan yang sudah kembali dari pelariannya dalam waktu tak sampai lima belas menit.
“Rumah, Ryan. RUMAH.”
Ryan menghela nafas bosan. “Tahu kok, tapi kau belum bilang apa-apa soal rumahnya. Aku yang milih nanti aku dipelototin lagi.”
“Kalau begitu kau diam saja sampai aku mulai menunjuk.”

Mobil melaju di atas jalan yang sudah dibersihkan dari salju. Pemandangan pertama bagi Kenan melihat orang berpakaian tebal lalu lalang tetapi tidak dengan wajah Indonesianya. Di dalam mobil dan di rumah, Kenan masih berbicara bahasa Indonesia tapi ketika luar dari lingkup kenyamanannya itu semua akan berubah dari kehidupannya yang lama. Harus beradaptasi lagi.
“Baiklah, Non. Itu tempat pemasaran rumah di area dekat sekolah. Lalu, jangan sekalipun berharap rumah yang ada kaya maumu. Ini daerah elit.” Ryan mengingatkan.
Ketus Kenan menjawab ‘ha!’ karena tahu ia tak akan mendapatkan yang ia mau. Jadi ia tinggal berharap yang paling kecil di wilayah itu.
Ryan keluar mobil dengan satu tendangannya. Ia yang keluar sementara Kenan tetap di dalam. Ia membawakan ke sepupunya foto-foto rumah ke dalam mobil sementara Kenan leha-leha. Biar saja dia yang urus. Aku mau manja.
“Ini nona kaya terhormat. Mau yang mana terserah,” tukas Ryan sungguh tanpa marah.
Kenan memandangi foto itu satu per satu dan pilihannya jatuh pada satu rumah yang yah, kira-kira satu keluarga berisi 5 orang muat di dalamnya. Itu ukuran terkecil dari semua foto itu. Tak banyak pilihan. “Itu yang paling kecil?” Tawa Ryan meledak.
Sial,” gerutu Kenan. “Kau sengaja ya cari foto ini? Kuhajar kau.”
Ryan tertawa sampai menangis. “Gak lah. Foto rumah yang lain jauh lebih besar,” jawab Ryan sambil mengelap air matanya. “Kau tahu? Foto-foto rumah yang lain adalah bekas minor house bangsawan dulu.”
Kenan memalingkan muka saking kesalnya. “Terserah saja.” Ryan masih melanjutkan tawa bahagiannya ketika turun dari mobilnya dan kembali ke tempat pemasaran rumah itu. Kenan tak mau memikirkan berapa jumlah kocek yang dirogoh sepupunya untuknya. Ok, selama Ryan sendiri tidak bermasalah soal itu. Buktinya enak saja ia ketawa sana-sani tanpa ada kartu kredit ayahnya.
Kaki Ryan merangsek masuk mobil. “Jadi mau lihat gimana rumahnya?” Kenan mengangguk. “Tentu saja kau akan kecewa.” Mata Kenan melirik cepat ke arah Ryan dengan tambah jengkel. Sementara itu Ryan malah lanjut tertawa.

Mobil melaju lamban dari tempat pemasaran. Tak sampai tiga menit mereka sudah tiba di ‘rumah baru’ Kenan. Rumah itu benar-benar membuat Kenan kecewa. “Sial! Apa tidak ada yang lebih besar dari ini!? Rumah ini sebesar 2 TK di dekat rumahku!” maki Kenan dengan suara kecil dan tebakannya Ryan sudah tahu kalau ia sedang memaki-maki. Mata Kenan memelototi Ryan.
“Hmm.. kalau dari sini, jalan kaki ke sekolah sekitar 5-10 menit,” kata Ryan sebelum Kenan mulai bertanya. Meski kesal Kenan mengangguk tenang.
Setelah puas membuat Kenan makan hati, mereka kembali ke dalam mobil dan mulai melaju. “Mau kemana lagi? Aku pikir ini bukan jalan ke rumahmu,” tanya Kenan.
“Rumahmu,” gumam Ryan. “Kau sih mau saja tinggal di rumah yang isinya cuma kasur sama meja belajar tapi itu menggelikan. Setidaknya ada peralatan yang layak di sana dan ok, persediaan makanan juga. Yah, karena kami lama-lama kenal kau juga, yang berikutnya papa yang akan mengirimkanmu bahan makanan, Kenan.”
Kenan menghela nafas malas dan pasrah. “Dasar kebanyakan duit.”

§

“Siapa yang memindahkan semua barang-barang yang dibeli kemarin?”
Kenan yang baru tiba di rumah ‘kecil’ barunya keki melihat rumahnya sudah penuh dengan peralatan baru, sampai dapur juga bonus kokinya. Kulkas penuh dengan makanan mahal yang dulunya takkan pernah bisa ia beli. Lemari pakaiannya pun sudah penuh dengan pakaian baru selain yang ada di kopernya. Kerjaan siapa sih ini!?”
Miss, what kind of food you longing  for your dinner?” sela si koki.
Mata Kenan terbelalak. Antara kaget karena ada orang dengan bahasa asing tiba-tiba nongol dan kaget karena pertama kali dengar bahasa Inggris yang inggris banget.
Kenan menjawab setengah kelabakan. “I, I don’t know anything about menu in here. So, I, I’m very greatful for you to cook anything for me. Thanks, Ma’am.”
Koki itu menggeleng karena Kenan memanggilnya Ma’am. Setelah koki itu bertanya, ia segera pergi dari ruang tengah ke dapur dan menggarap isi lemari pendingin yang ada di dapur–bukan lemari pendingin lainnya yang berada di ruang tengah–lalu mulai memasak sementara ia berkeliling di rumahnya sendiri.
Rumah itu lebih besar dari pikiran Kenan. Ada satu taman di depan rumah, pekarangan cantik yang lebih membuatnya bingung kenapa sudah tertata rapi. Selain pekarangan itu, terdapat pula taman yang lainnya yang berada di bagian belakang rumahnya. Mungkin taman yang berada di belakang rumah itu fungsinya untuk bersantai minum teh saat musim semi, sedangkan taman yang ada di depan untuk mengindahkan tatanan rumah? Masuk ke garasi, sudah bertengger sebuah mobil keluaran terbaru yang lebih mewah dari mobil Ryan di sana.
 “Ergh! Ada apa sih sama keluarga Challysto ini? Bikin resah saja!”
Karena hari sudah gelap, Kenan dipaksa masuk oleh seseorang–Kenan kira itu butler dari tail-coat yang dipakainya–berambut cokelat menyala bertubuh tinggi tegap, entah berapa usiannya. Kenan pun mulai traveling di dalam rumah sementara orang itu hilang. Ia berjalan ke tepian dari arah dapur sambil melihat-lihat dua kamar tidur besar di sana. Kalau satu untuknya, satu bonus, si koki sama butler tidurnya dimana?
Tiba-tiba sang koki memanggil nonanya dengan sopan untuk memberitahu kalau makanan sudah siap disantap. Kenan pun duduk manis di bangkunya dan mulai melahap masakan yang disediakannya.
“Aku memang belum pernah ke hotel tapi jelas sekali ini bukan masakan rumah.” Mata Kenan lurus tertuju pada makan malamnya yang menggoda. “Entah karena di rumah mereka juga ada koki hotel bintang 5 makanya di sini juga ada?”
Usai memasak untuk Kenan, sang koki mohon undur diri. Undur diri kemana?


|| Sion ||


Hayoo.. ada yang tahu gak luthier itu artinya apa??

Wednesday, 3 August 2016

Chapter 9.. dikit lagi sedekade. Wkwkwk

Yak, Sion di sini!
Sekali-kali daku ingin sekali shelfie lewat kamera lepi untuk memperlihatkan pada dunia kalau penulis itu bisa sangat jelek wajahnya waktu ngelembur bikin karya. Bukan orang kantoran aja yang wajahnya acak-acakan pas jam 5 sore, ya...
Mungkin beberapa orang berpikiran sama? Kalau penulis sering kali dikira pengangguran yang udah lupa mana pintu keluar dari kamar... hahahaha~



Chapter 9


Penuh keberanian bagi Kenan untuk mendatangi rumahnya dan berdiri beberapa langkah dari depan pintu gerbangnya yang reot. “Selamat tinggal, rumahku…”
Setelah memandanginya sampai puas, Kenan pergi melalui gang kecil dari area rumahnya ke jalan besar tempat mobil Ryan parkir. Selesai sudah perpisahan Kenan dengan semua sisa kenangan yang pernah ada di kampungnya. Semuanya.
“Kemana lagi, Kenan?” tanya Ryan dengan nada sebiasa mungkin ketika Kenan menutup pintu mobil. “Masih ada empat jam.”
Tatapan Kenan ke kaca jendela saja, merasa sedih ketika melihat pemandangan yang terus bergeser. “Tebing curam di Selatan sana. Kau tahu kan.”
“ Ok.” Ryan mengangguk lalu memberi arahan pada sopir pribadinya.

Mobil Ryan melaju di jalan berbatu. Padahal, hal itu jelas merusak mobilnya tapi cuma karena permintaan bodoh sepupu kecilnya, Ryan menurut.
Aku benar-benar tidak mengerti dengannya. Kenapa ia selalu saja baik padaku padahal kami baru saja kenal beberapa tahun ini? Ok, meskipun saudara… tapi aku tetap tak mengerti. Apa dia kasihan padaku?
Perjalanan ekstrim dari mobil semewah Ryan berakhir setelah melewati jalanan off-road selama sepuluh menit. Gerakan Kenan membuka pintu dan berlari membawa biolanya sampai ke puncak gesit sekali. Caranya berjalan sudah mirip kambing gunung.
Dengan wajah sedih, ia melihat seksama jurang di bawah tebing, mengingat beberapa kenangan. Dasarnya tak kelihatan, begitu gelap.
Kenan segera mengeluarkan biolanya dan mulai memainkannya. Gerakannya tergesa-gesa karena ia tak tahan lama-lama di sana sendirian. Polonaise Brillante No.1, Op.4. Alunan Biola Kenan menggema. Lagu kesukaanmu, Lena. Air mata menetes. Tangisannya terus mengalir.
Lima menit di atas sana ia mainkan biolanya sampai merasa cukup, mungkin yang terakhir kalinya. Ia masukkan kembali biolanya tanpa mengelap noda air matanya terlebih dahulu. Aku janji, itu air mata terakhirku, Lena. Kenan pun menenteng tas biolanya lalu berjalan menuruni tebing dengan hati-hati.
Loncat ke sana kemari, tak butuh waktu lama bagi Kenan untuk sampai kaki tebing. Begitu tiba, di samping mobil Ryan berdiri bersandar. Ia berusaha tersenyum untuk menyambut kembali Kenan sambil menggerakkan kepalanya mengisyaratkan agar ia masuk ke dalam mobil. Perjalanan pun berlanjut lagi.
Ryan menoleh ke jok bagian belakang. “Sekarang ke mana, Nona?”
Kenan menoleh. “Ke tempat mewah yang sudah kau reservasi dengan elit  pakai handphone-mu dari kemarin,” sergah Kenan dengan wajah murung.
“Ketahuan deh,” jawab Ryan menggoda, “tapi sebelumnya ke rumah dulu ya, baru ke sana sekali jalan ke bandara. Ok?”
“Terserahmu saja.” Kenan kembali menatap ke kaca jendela dalam diam.

Mobil melaju selama setengah jam ke rumah Ryan yang berlawan arah dengan bandara. Memang ada jalan sebelum jalan tol menuju bandara tapi jalan ke sana selalu macet. Jadi, lebih cepat lewat jalan wilayah pedesaan Kenan yang satu arah lalu tembusnya jalanan raya dan setelah itu sampai di bandara.
“Selamat datang, sayang,” sambut bibi Vani sambil memeluk Kenan. Raut wajahnya sedih. “Kuatlah, jangan terpuruk begitu, Ken.” Kenan menggangguk. “Kalau gitu, bajunya diganti ya?” tanyanya seramah mungkin agar keponakannya tak tersinggung. “Di sana sedang musim dingin. Kalau tak ganti baju, kamu bisa mati beku.”
Kenan mengangguk lagi. “Ya, Bibi. Terima kasih.”
“Lalu apa kita bisa bongkar barang bawaanmu?” Kenan menengadah. Bibi Vani tidak enak hati. “Maaf sayang tapi perkiraan bibi, pakaianmu tidak bisa dipakai di sana. Jadi, yang kira-kira bisa dipakai dibawa dan yang tidak ditinggal di sini ya? Bibi akan menambahkan beberapa pakaian musim dingin. Gimana?”
Kenan terdiam dan berpikir sejenak. “Aku yakin bibi lebih tau soal itu.”
Tanpa berlama-lama Kenan langsung bergerak menarik tasnya dari bagasi mobil Ryan lalu membongkarnya, melakukan seperti yang sudah diperintahkan.
“Satu lagi sayang. Kamu berangkat duluan sama Ryan, ya. Bibi, paman, serta tantemu Merry akan menyusul. Ada alasan yang tidak bisa bibi katakan mengapa kami berangkat belakangan.” Kenan mengangguk lagi sebagai jawaban singkat. Kepalanya sudah malas memikirkan hal-hal seperti itu.
Selesai bibi Vani berbicara, Kenan langsung ke lantai dua, pergi ke kamar yang awalnya memang sudah disiapkan untuknya di rumah itu.
“Kata bibi Vani aku bisa pilih pakaian sesukaku dari lemari. Jadi, seperti apa baju-bajunya?” gumam Kenan yang sama sekali tidak kelihatan tertarik.
 Setengah hati Kenan terpukau pada isi lemari pakaian besar di kamarnya. Lemari itu nyatanya sudah penuh oleh pakaian yang pas dengan badannya. Tak berlama-lama, Kenan langsung memilih pakaian mewah yang menurutnya cocok saat musim dingin. Selesai memilah, diarapatkannya pintu lemari lalu keluar dari sana. Darimana mereka tahu ukuranku? Semua baju pas sekali…?
Pelan-pelan tangga dituruninya karena belum terbiasa dengan pakaian itu. Sulit melihat ke bawah karena rok dari semi-dress selututnya megar–petticoat-nya berlapis-lapis. Begitu pula rasanya untuk tetap memegang pegangan tangga. Lengan dari kemeja putih berdasi merah pendeknya pas mengikuti bentuk tangannya. Belum lagi ia mulanya tak sadar ada pita besar di belakang roknya yang terus menabrak-nabrak betisnya. Untung berjalan tidak susah karena hanya stocking hitam dalam sepatu boot kulit setengah betis.
Ini dress atau baju cosplay?? Selera keluarga ini konyol sekali.
 “Mana Ryannya?” tanya Kenan sambil mencari-cari ke segala arah.
“Di depan gerbang. Ryan suka ngobrol dengan siapa saja–tukang kebun, pelayan, koki.” Bibi Vani lebih rileks karena ekspresi Kenan tidak suram lagi.
“Oh, kalau begitu, aku pamit pada bibi dulu.”
Bibi Vani memeluk Kenan lagi. Ia mengucapkan salam perpisahan setelah melepaskan pelukannya sambil mengatakan ‘kopernya sudah di bagasi’. Kenan pun mengucapkan salamnya pada tante Merry–pamannya sedang tak di sana.
“Cewek lama ya,” tukas Ryan yang sudah ganti baju juga. Ia tiba-tiba memakaikan topi dan kacamata secara paksa pada Kenan. “Bajunya cocok. Jadi, kau suka gothic lolita?” Ryan nyengir. “Ayo berangkat. Oh, topi dan kacamatanya juga cocok.” Kenan naik ke jok belakang mobil sementara Ryan masih mengoceh. “Boleh aku juga duduk di belakang?” tanya Ryan sambil memegangi pintu.
“Terserah saja.” Kenan melepas topi dan kacamatanya “Ini kan mobilmu.”

Mobil mewah Ryan melanjutkan perjalanannya kembali ke wilayah perkampungan, melaju menuju tempat yang paling familiar bagi Kenan.
Selama perjalanan sampai jalan rusak lalu sampai tempat ‘itu’ sungguh membuat perhatian masa. Mobil apa pun jenisnya itu; mobil yang lebih elit dari limosin yang biasa dipakai para pengusaha berpenghasilan lebih dari 2 miliar tiap bulannya melaju di daerah pedesaan. Aku mengerti sajalah kalau keluarga ini tidak punya mobil murah untuk dipakai.
“Kupikir kau sangat ingin ke sini? Tapi kalau aku salah, jangan marah ya.”
Telunjuk Ryan mengarah pada bangunan yang sungguh akan Kenan rindukan kelak. Tempat yang paling Lena inginkan untuk datang kalau ia bisa membuka matanya.
Sekolah.
Saat turun dari mobil, Kenan mengenakan topi dan kacamatanya lagi. Sejenak Kenan merasa sedikit bersyukur punya sepupu yang sedikit mengerti hal yang tersimpan dalam hatinya tentang kacamata dan topi itu. Ryan mengikutinya keluar sementara mobilnya terparkir santai di depan gerbang. Pamer?
Kepala Kenan tertunduk kepada penjaga sekolah yang ia kenal dekat. Meskipun ia bingung kenapa Kenan tidak masuk sekolah hari itu tetapi perintah kepala sekolah padanya ialah membukakan gerbang apabila Kenan datang.
Sekolah senyap saat jam pelajaran berlangsung. Ia merasa tenang karena tak perlu ada yang melihatnya, termasuk si ketua kelas. Kenan melenggang santai masuk dan Ryan pun mengikutinya berjalan terus sampai ke ruang kepala sekolah.
“Pagi, Kenan. Bagaimana perasaanmu hari ini?” sapa kepala sekolah–yang telah tahu segala tentangnya karena ulah Ryan–pada Kenan. Beliau mempersilahkan duduk. “Hari ini hari yang luar biasa bukan?”
Dengan rasa hormat, Kenan melepaskan topinya. “Baik, Pak.” Kenan pura-pura tersenyum manis. “Mungkin begitu.”
Pak kepala sekolah mengangguk, “karena tak pernah terpikirkan sekalipun kalau ada putri dari keluarga Challysto terkemuka itu di sekolah ini. Sekolah ini hanya sekolah kampung kumuh. Hal yang luar biasa kalau kau ada di sini.”
Kali ini Kenan bisa menunjukkan senyum tulus. “Terima kasih, Pak, tapi Saya ini hanyalah Kenan Grace dari kelas 1.4 yang nomor absennya 24.” Ryan menatap Kenan sambil nyengir. “Tapi pak, bolehkah Saya punya permintaan?”
“Apa itu?”
“Meskipun Saya hanya sedikit tahu soal libur musim panas darinya,” Kenan menuding Ryan, “bolehkan saat itu saya kemari dan sekolah di sini?” Ryan terhenyak. Permintaan Kenan itu sungguh ajaib! “Saya memang tak punya teman selain Lena tapi tempat ini berharga bagi Saya. Soal biaya, sepertinya urusan dia.”
Pak kepala sekolah takjub seperti Ryan. Beliau tersenyum lebar. “Tentu saja, Kenan. Bukan soal biaya tapi soal keinginanmu yang sungguh polos. Bapak menghargainya. Dengan Lebena, kalian juga bisa terus sekolah di sini.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kenan terharu.
Hatinya tenang ketika keluar dari ruang kepala sekolah. Mereka berjalan menuju kebun dimana ia suka sendirian. Ryan tetap bisu supaya mood sepupunya tidak rusak. Ia diam sambil bersandar pada pohon sementara Kenan duduk di satu-satunya kursi di sana. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati mereka dari belakang. “Kenan? Benar kan? Kau sedang apa di sin?”
Kenan mendecak. “Kenapa kau selalu ada dimana-mana seperti kecoak, Nanta??”
“Aku dari ruang guru–yang berada di sebelah ruang kepala sekolah–mengambil kertas ulangan.” Langkah Nanta semakin mendekati tempat Kenan. Ia berhenti sejenak ketika melihat Ryan. Setelah itu gantian memperhatikan pakaian Kenan. “Lalu aku melihatmu dan –“
“Mengikutiku lagi? Hobimu jelek ya.”
“Maaf. Aku tidak niat begitu.” Buru-buru Nanta menyesal. “Hmm, jadi kau, kalian benar-benar akan pergi jauh? Lena juga ikut? Karena itu kau berusaha membuat teman-teman tidak mencari-cari Lena lagi?” Kenan tidak menjawab. “Padahal kalau tindakanmu seperti itu, yang ada semua orang malah semakin membencimu, Kenan. Tapi, kalian akan kembali kan? Kapan?”
Kapan akan kembali? Sok tahu, batin Kenan.
 “Kalau liburan nanti. Mungkin,” jawab Kenan singkat sambil berdiri dan bersiap pergi. “Kembalilah ke kelasmu, ketua kelas. Kalian mau ulangan, kan.”
Kenan berjalan mendekati Ryan yang diam bak penonton. Dirinya melenggang pergi meninggalkan Nanta di kursi itu.
“Selamat jalan, kalian berdua. Sampai jumpa lagi. Ingat, benar-benar ingat... untuk kembali kemari!”

|| Sion ||