Tuesday, 21 June 2016

Chapter 4

Selamat hari Selasa :D (Ngapusi... padahal janjinya Senin)
Sion kembali lagi dengan update terbaru!
Di chapter ini, aku banyak mencantumkan percakapan bahasa Inggris English British, sekalian pembaca belajar bahasa Inggris British yang bedaaa jauuuhh dari English America alias TOEFL.
Selamat menikmati :D

Chapter 4


Klining.. klining.. Pintu toko Ritsena memang khas banget bunyinya dibanding toko yang lain di kampung itu. Satu hal yang amat disukai Kenan.
“Ada apa ini!? I’m bussy!” Terdengar gema auman dari dalam toko mungil itu. “I’m flee from England when unexpectedly Ryan told me that!
“Permisi,” sapa Kenan sopan.
“Nah, ini Pak nak Kenan yang minta Bapak datang,” ujar Pak James yang malang–korban amukan ayah Ryan–sambil menunjuk Kenan sebagai sambutan.
Oh, you are! Tell me in hurry!” semburnya pada Kenan sambil menuding-nuding wajah orang seenak jidat.
Kenan naik darah. Ia menyahut dengan nada suara super rendah, “ya. Memang saya! Kalau Bapak merasa tak pantas datang karena permintaan Saya, seorang bocah kampung ini, Bapak boleh silahkan pulang, kembali ke tempat Bapak sibuk itu! Ke Inggris itu!”
“Woi! Gila! Kenapa malah disewotin gitu?” Lena bisik-bisik histeris.
Bodo! Ngeselin jadi orang! Sok sibuk banget!” bisik Kenan balik.
Orang itu langsung terdiam. Tak enaknya malah menatap Kenan lekat-lekat. Pelan-pelan Kenan menelan ludah karena rasa takut akhirnya timbul. Ia pun menunduk dengan terpaksa. “Maaf, Pak. Saya jadi marah-marah. Padahal, Saya yang minta tolong,” pinta Kenan yang merasa bersalah campur merinding.
“Oh, oh. Maaf Saya juga salah. Ada apa, Nak? Kamu teman Ryan ya? Katanya kamu suka minta diajarin Ryan main biola yah? Tapi kok wajahmu itu –“
“Iya, Pak. Saya suka biola dan Saya minta tolong Bapak untuk ini,” potong Ken langsung sebelum beliau selesai bicara sembari menyerahkan surat itu.
Wajah pak Anderson berubah merah. Kenan takut kalau dia hendak marah lagi, hendak meledak lagi.  “Da, dari, darimana kamu dapat surat ini, Nak?”
Kenan sedikit melirik Lena dan dengan ragu menjawab, “Dari… buku cerita bergambar Saya, Pak. Surat itu diselotip di dua halaman terakhir.”
Wajahnya sulit diterka. Mungkin agak geram? Nanar? Apapun itu, Kenan hanya takut kalau ia mau ditonjok gara-gara sudah berani kurang ajar.
“Nama lengkap kamu siapa, Nak?”
“Ee, Kenan Grace,” jawab Kenan ragu.
Ia berpikir sejenak. “Nama ayah kamu, Nak?”
“Yuwana Az–“
“Ibu kamu?” tanyanya tanpa titik koma.
Rese ya ini orang, gerutu Kenan dalam hati. “Ine Metha Septhi.”
“Hah!?” Sang Bapak berkata ‘hah’ seperti memenjarakan bom selama puluhan tahun. “Kamu... mana Azmi!?” teriaknya. “Orang itu memang…!”
Padahal semua orang di ruangan itu tahu kalau kalimat Kenan belum selesai. Jadi, darimana ia tahu kalau maksud Kenan adalah ‘Azmi’ dari kata ‘Az’ yang terpotong tadi?
“Ayah Saya sudah meninggal bulan lalu,” kata Kenan lirih.
“Jadi, sampai meninggal pun Azmi itu sengaja tidak memberi tahu kamu kalau si Mata bukan ibumu!? Keterlaluan si Azmi itu!”
“Namanya kan Metha,” bisik Lena.
“Tunggu, apa Bapak bilang!? Bukan ibu saya!? Jadi maksud Bapak –“
“Nama ibumu Ritsena Angelina Challysto, seperti dalam surat ini.” Beliau berkata sambil memamerkan kertas di tangannya. “Masa kamu gak merasa kalau kamu itu pasti tak ada mirip-miripnya sama si Mata ini?” tuntut pak Anderson.
Dada Kenan serasa ditusuk. Ucapannya itu mengesalkan banget, sampai membuat Kenan menggertakkan giginya tapi kata-katanya memang kebenaran. Benar, ia tidak mirip, berbeda dan sangat berbeda, dari orang yang bernama Ine Metha Septi ataupun dari Ningtyas, adik kecilnya. Hal itu membuat Kenan hanya bisa mati kutu.
“Namanya Metha,” bisik Lena.
“I, iya,” jawab Ken ragu, “lantas kenapa Bapak yakin dan bicara begini?”
“Tiga belas tahun yang lalu, sebelum Ritsena melahirkan kamu, dia pindah ke suatu desa seperti ini. Padahal, ia punya warisan rumah mewah sendiri tapi ia malah memilih rumah kampung itu! Tiba-tiba kabarnya hilang setelah surat itu Saya tulis, lenyap begitu saja sampai hari ini!! Dan Azmi… ia sengaja menyembunyikanmu!!”
Ayah?? Kenan gentar. “Jadi, maksud Bapak, Saya ini, keluarga Challysto, pewaris toko ini, dan aset lainnya!?” seru Kenan kaget dengan terbata-bata. Lena mengerang, menarik-narik baju Kenan, membuat Kenan tambah frustasi.
“Ya, keluarga Challysto, keponakan Saya. Pantas dari awal wajahmu tidak asing. Tidak ada yang pernah berani menentang Saya seperti itu tentunya selain kalian. Ah, Ritsena.” Ucapnya sedih.
Kenan diam karena kehabisan kata-kata. Ia dan Lena hanya bisa berdiri mematung berdua kebingungan. Begitu juga Ryan yang selama ini selalu jadi teman bercandanya... ternyata sepupunya sendiri!
“Ryan cerita soal bakatmu. Ah, kamu tahu tidak, Ritsena itu violinist Praha di Wina. Senang rasanya, bakat Ritsena turun langsung ke putri kesayangannya.”
“Sayang kalau bakatnya disia-siain, Pah,” ujar Ryan yang ternyata berdiri di belakang ayahnya duluan sadar dari rasa heran. Beliau malah mangut-mangut.
 “Jadi, Saya bingung, Pak.” Dalam segala aspek.
“Ah, jangan begitu, Ken. Saya tahu kamu ini cerdas. Saya tahu kamu mengerti maksud Saya,” ucapnya dengan nada lembut, “tinggalah bersama kami. Rumah terlalu sepi kalau cuma bertiga.” Ia menawarkan dengan sopan.
Kenan terpaku. “Bapak... percaya pada Saya? Terlepas apapun isi surat itu, Bapak percaya kalau Saya adalah putri saudara Anda? Padahal kita baru pertama kali bertemu.”
Pak Anderson sedikit tersenyum. “Ryan sudah banyak cerita tentangmu. Entah mengapa hanya melalui ceritanya saja ada perasaan yang terasa familiar.” Pak Anderson menepuk kepala Kenan sementara putranya nyengir-nyengir. “Jadi, bagaimana, Nak?”
Secara reflek “Ah, iya itu, maaf, Pak. Saya tinggal dengan teman Saya saja. Di sana –“
“Teman?”
“Dia diusir ibunya, Pak,” sergap Lena memberanikan diri. Dengan gagah.
Paman Anderson mengamuk. “Diusir!? Mana Mata! Berani sekali dia –“
“Namanya Metha,” koreksi Lena entah yang keberapa kalinya. Tangan Kenan siap mencakar teman idiotnya yang melawak tak lihat situasi.
“Tenang, Pak. Saya senang di sana kok.”
“Hah!?” teriaknya. Beberapa saat kemudian ia bisa menenangkan dirinya. “Yah terserah kamu lah mau tinggal dimana. Ritsena banget. Saya memang selalu kalah berdebat dengannya tapi kamu bisa minta sesuatu. Bagaimana?”
Ken melirik Lena tapi ia malah memalingkan muka. “Begini saja, Pak. Saya berterima kasih pada kebaikan Bapak tapi Saya cuma minta dua hal?”
“Apapun itu.”
“Hmm, Saya minta satu biola dari sini dan terakhir Saya minta tempat atau perlengkapan untuk toko kue, Pak untuk mama teman Saya ini,” pinta Kenan. Ia berpikir untuk merasa kalau itu cukup murah buat orang sekaya mereka.
“Cuma segitu, Ken? Ya ampun. Bapak gue orang kaya nih,”  pamer Ryan.
“Hanya ini, Nak? Yakin? Oh ya, sekalian sama toko ini buat kamu. Begitu kan isi suratnya? Oh iya! Tambah tempat les saja,” timpal paman Anderson.
Wah. Kok jadi beranak pinak begini permintaanku, pikir Kenan heran. “Terserah Bapak saja tapi Saya cuma minta dua ini kok.”
“Baiklah, Kenan Juga, panggil paman saja,” jawabnya dengan suasana hatinya yang sudah cerah. “Saya pergi dulu yah.”
Thanks paman Anderson,” kata Kenan lega.
Setelah paman Anderson pergi dari toko Ritsena dan keadaan mulai mencair, Kenan hendak ikut melenggang pergi.
“Ngomong-ngomong,” kata Lena tiba-tiba, “si pamanmu itu daritadi bilang Mata melulu ya? Mantan mamamu banyak matanya ya?”
Kenan memukul Lena pelan. “Emangnya emak gue laba-laba!?
Dari jauh Ryan tertawa terpingkal-pingkal karena sedaritadi memang menahan tawa ketika ayahnya sendiri mengatakan ‘Mata’ berkali-kali. Apalagi dengan tampang serius. Dasar anak yang berbakti pada orang tua.


Tukang bangunan dan dekorasi untuk toko kue kecil keluarga Maganda di depan rumah sudah datang. Daya terjang paman Anderson dalam merespon permintaan Kenan justru membuat orangnya sendiri ngeri. Menurut Kenan, baru 41.25 jam yang lalu ia minta tapi semua sudah tersedia di depan mata.
Dekorasinya cantik. Kenan mangut-mangut. Benar-benar seniman ya, pikir Kenan–apa hubungannya?
“Eh, bangun juga si putri musik,” sindir Lena. Rupanya ia sudah menyiapkan sapaan kalau Kenan sudah bangun.  “Atau nyonya Ken?” tambahnya.
“Nyonya jidatmu.”
“Eh. Kenapa sih kamu ini gak terima saja tawaran si pak Andar, eh Ender, eh Ander, apalah itu sebangsa sejenisnya, buat tinggal di istananya?”
“Anderson. Tahu darimana kamu rumahnya kaya istana?”
“Ya elah, siapa sih yang gak tahu keluarga Challysto?”
“Ya aku tak tahu. Tidak juga. Memangnya enak ya?”
“Sebenarnya aku juga gak tau sih.” Lena merengut. “Ya Tuhan. Mimpi apa sih nih anak. Enak banget ya jadi anak orang kaya! Makannya mewah, banyak pembantu, gak usah kerja! Sekolah di tempat mewah. Baju mewah! Wow!”
“Baju mewah?” Pikiran Kenan melayang pada Ryan yang dekil.
“Iya baju mewah, kenapa? Baju Ryan kaya kaleng rombeng?”
“Hmm....” Kenan mengangguk setuju. “Mungkin gaun lance juga ya?”
Lance? Apaan tuh? Merek apa lagi?”
“Merek sapu terbang baru.”
“Kemarin kain pel, sekarang sapu. Besok apa lagi? Sikat WC?”
“Bagus ‘kan? Ada merek sikat WC yang lebih bagus dari nama –“
Prang. Salah satu alat berat tukang jatuh pada saat hendak memperbaiki kanopi toko. Mendengarnya, cengiran Kenan lenyap seketika setelah bercanda. “Ehm, Len, kita keluar saja ayo.” Merasa tak enak hati, Kenan berniat kabur.

Sekembalinya dari ajang melarikan diri, mereka lihat pintu terbuka lebar. Pertanyaan muncul ketika ada sepatu boots setengah betis di depan toko yang dalam masa perbaikan. Tamu tante Merry? Artis? Artis beli kue kampung? Haha.
“Permisi. Siang, Tante,” salam Kenan. Ia memanggil dengan nada lantang.
Sudah beberapa lama Kenan memanggil tapi hening tak ada jawaban.
“…, ah iya, when Ms. Ken going home? I –“
Kenan tersentak karena namanya disebut dari dalam rumah. Ia risih tapi malah jadi ragu untuk masuk. “Eh. Mereka ngomongin kamu tuh. Masuk sana, jangan bengong saja,” sela Lena. Kenan melihat Lena sejenak lalu mengangguk.
“Permisi, kami pulang, Tante,” salam Kenan.
Langkah mereka sepertinya cukup mengejutkan mereka. “Oh, Anda Nona Ken, aren’t you?” Tamu tante Merry langsung bertanya tanpa memperkenalkan diri. Gak kenal tapi sok kenal. Siapa lagi ini. Artis bilingnual datang bertamu.
Spontan Kenan langsung membalik keadaan dengan hujan pertanyaan. “Anda kemari mencari Saya? Anda siapa ya? Tahu saya darimana?”
My name, Roselyn Snich, dari tempat les spesial to make you be a master in violin. Mr. Anderson minta kepada kami to sent someone, special to you, and hereby I’am here for you, Miss,” jawab Rose ramah sambil senyam-senyum.
Bulu kuduk Kenan meremang. “Oh, begitu,” jawab Kenan spontan.
Kenan cukup terkejut karena pada kenyataannya pamannya terlalu serius dengan perkataannya. Mana pake acara ‘special’. Ada kata ‘master’nya juga.
Dari planet mana tempat les yang namanya freak ini? Apa dia harap aku jadi penerus adiknya? Ingat saja tidak, ah, tahu saja tidak! Orang kaya memang luar biasa, batin Kenan pasrah. “Jadi, les biola private? Kau datang kesini seperti baby sister dan menggentayangiku setiap hari? Amazing. ”
Miss benar-benar genius! Unfortunely, your answer isn’t correct yet. Nona meminta jam berapa pun for have a lesson pada Saya. Nona sendiri yang menentukan waktu dan tempat latihan,” jawab Rose tanpa terburu-buru. Kenan memperhatikan orang asing itu sambil melongo.
“Jadi, Anda akan tinggal di sini? Seperti tutor abadi!? Lalu, apa Anda bisa membantu pekerjaan rumah juga?”
Of course! Saya akan fully of your request. However, I’am here.” Jawab Rose santai. “Apa Miss meminta saya bantu in your little bakery? Sure I can!!
Rose menjawab kegirangan dengan bahasa Indonesianya yang acak-acakan. Bodohnya, Rose hampir tak bisa bahasa Indonesia tapi tetap mengerti apa yang Kenan dan orang di sekitarnya katakatan. Namun, ia hanya bisa membalasnya dengan bahasa Inggris acak-acakan dengan pede maksimal.
“Oh!” Kenan tiba-tiba teringat pada toko musiknya. “Gimana kalau di toko musik saja? Di sana nyaman,” pintanya. Lebih baik di sana daripada di sini. Jauhkan tante dari makhluk Mars  ini, renung Kenan merelakan dirinya untuk dikorbankan.
“Kapan Miss‘ll begin?” Nadanya lebih mirip nantang daripada pertanyaan.
 “Hmm... lihat besok ya.” Kenan sudah kehilangan minat ngobrol.
Ok, Miss. Hmm, Excuse me, Mrs. Maganda. Do you have a room for me?? Next I’ll help you anything if you needed, please??
Enak ya cas cis cus bicara bahasa Inggris tanpa lihat wajah tante Merry yang melongo. Lena juga sama…. tapi kalau dipikir lagi, bukannya wajar kalau anak SD belum lancar bahasa Inggris? Jadi, aku yang tak wajar??
“Tante, maksudnya dia, dia tanya apa di sini ada ruangan lagi untuk jadi kamanya? Berikutnya dia akan bantu apapun di sini kalau diperlukan.”
“Oh! Ada, ada,” jawab tante Merry semangat. “Tapi Ken, siapa yang gaji dia disini?” tanyanya gelisah.
“Tenang, Tante. Jelas pamanku yang gaji. Hebatnya paman bisa nemu tempat les yang didik pengajarnya jadi pembantu. Amazing.” Kenan berbisik geli pada Tante Merry. “Mrs. You have a room own by yourself. Please follow me.
“Mama, Ken tuh pinter banget yah. Bahasa Inggrisnya lancar banget,” tanya Lena pada mamanya. Kenan masih bisa mendengarnya dari agak jauh.
“Ya, namanya juga asli keturunan bule, Nak,” jawab tante Merry pasrah.
“Gak adil ih. Coba mama nikah sama bule yah.”
“Ya udah cari mama baru sana.”
“Ih mama mah. Orang cuma bercanda.”
Nah kumat lagi penyakit bodohnya Lena.

Meski begitu, hati kecil Kenan iri melihat Lena punya sesuatu yang sangat ingin dimilikinya; ibu, keluarga. Namun, apa daya. Kenan tidak bisa memilih di keluarga mana ia dilahirkan. Yang lebih penting baginya saat ini adalah bersyukur karena Tuhan tidak lupa memberinya kesempatan untuk bertemu kerabat terakhirnya. Satu poin lagi yang bisa disyukuri.

|| Sion ||

Tuesday, 14 June 2016

Chapter 3

Happy Monday-Tuesday.. :D
Ini adalah hiburan dari belajar materi UAS dsb... selamat menikmati XD

Chapter 3

Kenan ingin sekali-kali lihat keadaan rumah. Ia cemas apa rumah terurus dengan baik. Yang berbenah rumah kan biasanya ia seorang. Lalu, tiap kali ia ke makam ayahnya tersayang, hanya tertinggal perasaan sedih dan rindu. Satu penyesalan sia-sia baginya untuk tidak berkunjung sebelum ayahnya tiada. 
“Ayo, jalan-jalan,” ajak Kenan yang bosan merenung pada Lena.
“Kemana? Gak bosen apa jalan kaki muter-muter di sini-sini aja?”
Kenan menggeleng sambil seyum-senyum. “Ke toko musik itu.”
“Menghayal ada suara biola lagi?” tanya Lena bingung.
“Itu bukan khayalan. Rasanya ada yang manggil aku ke sana. Ayolah,” rengek Kenan, “sudah sebulan tak ke sana. Aku rindu sama bau serbuk bow yang digesek.”
“Alasannya saja yang aneh-aneh supaya bisa ke sana. Terus, bow apa?? Memangnya pemain biola pakai panah buat gesek senarnya yah? Yang berdiri di depannya bisa mati dong?” (Perhatian: bow dalam bahasa Inggris = panah, sedangkan bow yang Kenan maksud adalah alat yang digunakan untuk menggesek biola dengan serat-serat halus dari rambut kuda)
“Nama alat yang buat menggesek itu bow. Ah, susah bicara sama kamu.”

Aku senang di sini, satu kalimat singkat yang tak dapat terkata bagi Kenan. Wangi semerbak serbuk bow dari biola yang digesek. Ngobrol sama penjaga tokonya seputar alat musik dan komposer. Semua menyenangkan bagi si maniak biola itu. Apalagi karena sahabatnya tersayang tak bisa diajak bicara mengenai musik kalau tidak mau melihatnya korslet dengan liur hendak menetes-netes.
“Oh, Ken. Lama kamu gak ke sini. Kemana saja?” sapa penjaga toko.
Ken menjawab pak James, si penjaga toko dengan senyuman kecil. Ia tertawa. “Ada urusan, Pak.”
“Hmm, bau serbuk bow lagi? Dan siapa itu?” pak James melihat Lena.
Ken terkesiap. “Dia teman Saya, Pak.”
“Oh, halo, siapa nama kamu, Nak?” sambut pak James.
“Nama saya Lebena, Pak! Saya sih ngikut-ngikut Ken saja ke sini, sekalian ngadem gitu, Pak,” jawab Lena pecicilan.
Pak James tertawa melihat aksi konyol Lena yang dibuat-buat. “Oh ya, Ken, kalau dilihat-lihat kamu mirip kenalan Saya tapi lupa siapa namanya.”
“Ah, masa, Pak? Berarti muka saya pasaran?” tanya Ken sambil tertawa.
“Masa anak kaya kamu mukanya pasaran? Hampir kaya bule Asia gitu.”
“Untung gak kaya wajah kriminal wanted ya, Pak?” Kenan terkekeh.
Pak James ikut tertawa. “Tapi teman kamu hampir iya.”
Lena tersentak. “Ee, apa apa?” Lena yang dari tadi melihat grand piano kaget sampai lompat begitu namanya disebut. Kenan tertawa terbahak-bahak.
Pak James berhenti tertawa. “Mata kamu cokelat madu. Rambut kamu juga cokelat terang. Yakin kamu Ken, gak ada keturunan bule apa gitu?”
“Bule kampung mungkin, Pak. Tak ada, Pak. Serius. Lagi pula orang yang punya iris mata warna cokelat itu paling banyak di dunia daripada yang warna hitam. Bapak mimpi nikah sama bule ya?” tanya Kenan geli, “kalau di kampung begini, orang yang rambutnya warna cokelat artinya kurang gizi. Wajar, kan.”
“Tapi nama kamu kaya bule loh. Mukamu kelihatannya juga bukan Indonesia asli.”
Ken merenung. “Sebenarnya Saya sendiri juga bingung soal itu sih, Pak.”
Pak James tertawa lagi karena Kenan bisa bertingkah konyol juga. “Kamu ini, entah kelewat cerdas atau gimana. Oh, kamu gak mau latihan biola lagi? Tuh di sana ada Ryan.” Jari telunjuk pak James menuding bagian belakang toko.
“Oh ya tapi kenapa suaranya tak ada ya?”
“Pasti ketiduran.”
Kenan mengucapkan salam lalu pergi ke belakang dan melihat Ryan tertidur lelap sambil memeluk biolanya. Sebenarnya dalam hati ia tak tega membangunkannya tapi di hatinya juga berkecamuk perasaan ingin main biola.
Sejenak Kenan teringat saat pertama kalinya ia masuk secara tidak sengaja ke toko itu saat telinganya mendengar alunan biola dari jauh. Bahkan saat itu pun, Lena berhasil ia lupakan dan ia tinggalkan di jejeran ruko-ruko. Nyanyian biola yang nyaring itu seperti memanggilnya, meminta untuk dikejar. Kenan berlari-lari berusaha meraih nada-nada itu hingga sampai di toko musik Ritsena. Ketika membuka pintunya, Kenan melihat seorang anak laki-laki berkemeja putih lengan pendek sedang menggesek biola dengan elegan. Rambut cokelat anak laki-laki itu seperti menari-nari mengikuti iringan biolanya.
Michi to You All Violin Version. Kenan merenung lagi. Ketika melihat Ryan yang sedang tertidur di hadapannya, rasanya gambaran anak laki-laki yang dulu begitu indah saat memainkan biola itu hanya hayalannya saja di siang bolong.
“Ehmm. Ehmm,” Ken berdeham supaya Ryan bangun.
Ryan bergerak, membuat Ken terkejut. Kenan kira Ryan terbangun, ternyata malah ngelindur santai kaya bocah. Tak dipungkiri, Kenan iri. Yang terlintas di pikiran Kenan sejenak, kenapa anak yang lebih tua bisa tidur lebih tenang daripada dirinya yang menginjak SMP saja belum.
Oh ya, Ryan ialah anak pemilik toko musik tersebut. Ayahnya punya banyak toko-toko musik mewah kaya gitu, plus komposer terkenal.
Anak orang kaya kok bajunya dekil gitu. Payah banget ini anak sumpah. Kenan mendengus. “Bangun! Kebakaran!” jerit Kenan panik.
“Wah! Kebakaran! Kebakaran!” jerit Ryan langsung loncat berdiri. Kenan terkekeh geli. “Ah sial ini anak. Ketipu lagi gue.”
“Makanya jangan molor!”
“Yeh. Gue kan capek. Bentar lagi gue SMA, dongkol gue ngeliat anak SD. Main-main.” Kenan mengangguk-angguk sambil menunjukkan wajah meledek. “Hah. Oh ya, kemana aja? Lama gak ke sini loe, Bro!”
“Ergh. Iya ya. Ayo ajarin lagi!”
“Jawab enggak nuntut saja.” Ryan menyerahkan biolanya pada Kenan. “Hari ini mau lagu apa? Mentang-mentang jenius, 3 bulan dah clear semua pelajaran dasar yah. Gue aja diajarin sama beberapa pelatih sampai yang ngajarin pada pengen garuk-garuk tembok.”
Kenan tergelak menahan tawa. “Oh ya, kemaren aku denger di radio, judulnya Sky-Blue Eyes. Ada iringan pianonya. Kamu ya yang main pianonya.”
“Enak banget nyuruhnya,” jawab Ryan sambil berdesis, “tau aja enggak.”

Nama toko musik itu adalah Ritsena Enterpresent. Ritsena nama adik ayahnya–alias bibinya–Ryan. Enterpresent, katanya–entah ‘nya’nya itu siapa–toko musik itu dihadiahkan pada si Nona Ritsena tapi isunya–‘nya’ siapa lagi?–ia meninggal dunia waktu mau melahirkan anak perempuannya, atau beredar juga isu lain seperti ia pergi menghilang atau meninggal karena sakit tapi entah mengapa pula Kenan jadi teringat pada ibunya yang sebelum berubah jadi macan rabies, yang meski tak ada hubungannya membuat ada sedikit perasaan rindu.
 “Dua jam cukup kan latihannya?” raung Lena bosan sambil menguap.
“Ah, Len. Buat kaget aja. Ya sudah. Ayo, pulang. Kasian mukamu sudah jelek sekali. Bye-bye Ryan, Pak James! Lusa aku ke sini lagi!” seru Ken riang. 
Ryan menggerak-gerakkan tangannya untuk mengusir.
“Daa Ken! Jangan lupa bawa kue lagi yah!” pinta pak James.
Ken tertawa. “Mamanya yang buat, Pak!” seru Kenan dengan jari tertuding ke arah Lena.


“Eh, aku bingung deh. Kau itu ada bakat main musik dari siapa sih? Perasaan emakmu... ya gitulah. Ayahmu perasaan aku tak tahu yah kalo dia bisa main musik.” Kenan menggeleng-geleng cuek. “Jawab dong. Eh, baunya enak nih. Ayam goreng pake tepung, tumis kangkung!” seru Lena kegirangan.
Itu bakatmu, Cah. Bakatmu mengendus-endus.

“Kenyang, Ken? Enak, kan!” seru Lena dengan ‘girang’.
Gimana mau kenyang. Lihat anak itu maruk lauk saja langsung mual aku.
“Kamu ini ya Len, lebih baik kamu belajar sana. Besok ada ulangan, kan?” tanya tante Merry.
“Oh! Ayo Na! Ajarin!” pekik Lena yang gak niat kaget.
Selain jago mengendus, Kenan kagum pada Lena yang sudah lupa kalau ia yang sekolah, bukan mamanya.
“Tan, aku cuci piringnya ya. Sana belajar dulu sendiri!” usir Ken setelah menawarkan bantuan ke tante Merry.
Selesai cuci piring, Kenan mengajarkan bahasa Inggris ke Lena sampai dua jam. Ia sendiri paling tidak mau menggaruk tembok seperti pelatih Ryan.
“Ooo. Ngerti-ngerti.” Lena ngangguk-ngangguk kaya patung yang ada di Hoka-Hoka Bento kalau kepalanya di pukul ke atas ke bawah. 
“Bagus. Selama ini diajar bu Nana, kemana saja, Non? Ngorok melulu.”
“Gak ngerti deh kalau dia yang ngomong. Di ubek-ubek. Oh ya, kamu jago bahasa Inggris karena bacaaaannyyaaa serba bahasa Inggris yaaa?” sahut Lena gak nyambung dengan nada jijik ketika mengambil salah satu buku cerita bergambar Kenan–Lena tertarik pada cover-nya. Ia mulai asal buka-buka halaman buku bergambar yang ceritanya ditulis dengan bahasa Inggris tersebut sampai ke dua halaman terakhir. “Iih, kok lengket sih halamannya?” Lena mulai sebal. Tangannya main asal merobek halaman yang lengket itu sampai akhirnya kedua kertasnya lepas. “Terus, ini kertas apa yang kamu selotip di buku cerita bergambar? Surat-suratan? Isengnya anak kepinteran aneh banget.”
Kenan yang sedang sibuk merapikan alat tulisnya terkejut. “Aku tak pernah selotip apa-apa di buku. Apalagi... buku cerita bergambar? The Goose that Laid the Golden Eggs??” Segera ia menyambar buku cerita bergambarnya dari tangan Lena. Kertas yang benar ada terselotip di sana dengan hati-hati dilepas dan dibaca.
Untuk beberapa detik Kenan terdiam setelah selesai baca semua yang perlu dibaca. “Kok diam gitu?” Lena heran. Kenan memalingkan mukanya ke Lena. Matanya melotot, mulutnya menganga, lalu diam lagi jadi batu. “Apa sih?”
Giliran Lena menyambar kertas yang dipegang Kenan. Usai baca, dia melirik Kenan bergantian dengan lirikan pada kertas itu. “Ini seriusan? Ini benar punyamu? Ini benar buku cerita bergambarmu? Ada aja surat kaya begini jaman sekarang??” ungkap Lena. Kepalanya pening. Kenan menggeleng. “Besok kita harus ke ‘sana’ lagi ya kayaknya. Seneng dong karena toko ini beneran akan jadi punyamu kalau suratnya asli.” Bukannya senyum, Kenan menyeringai. “Ada nomor teleponnya ayahnya Ryan gak?”
“Tidak…,” Akhirnya Kenan bisa bicara, “yang ada nomor telepon toko Ritsena. Lagi pula kalaupun aku punya nomor telepon ayahnya si Ryan, bakal kuapakan?”
“Eh iya ya.” Lemot Lena kumat setelah banyak sok keren. “Ya sudah sana telepon dulu baru tidur!!”
“Ya kali saja telepon jam segini siapa yang angkat.”
Buku cerita bergambar Kenan tentang cerita rakyat Eropa yang judulnya “The Goose that Laid the Golden Eggs” sekejab membuat Kenan seakan-akan mendapat telur emas gratis. Buku cerita bergambar yang menjadi awal Kenan tertarik belajar bahasa Inggris dan ingin ke sana berhasil menyulap mimpinya jadi kenyataan. Surat itu, yang diselotip seseorang dengan cerdiknya di dua halaman terakhir buku cerita bergambar tersebut adalah surat perjanjian hibah–sejenis surat pembagian warisan–yang di sana tertulis kalau semua aset toko Ritsena Enterpresent dan tempat musik lainnya serta sebagian harta Challysto akan diwariskan dari tangan Ritsena Angelina Challysto pada putri tunggalnya, Kenan Grace Challysto. Ada pula tulisan tertanda ‘Anderson Ferliaz Challysto’ ditambah materai.
Lalu, maksudnya apa? Itu surat asli atau cuma tipu-tipu kaya di FTV SCTV? Siapa juga yang menyelotip surat itu di sana dan kenapa juga harus di buku cerita bergambar? Halooo, ini buku anak kecil lho? Buku yang sewaktu-waktu bisa disumbangkan kalau aku sudah besar! Ah, apaan pula ini. Nama belakangku Challysto dan aku anaknya nona yang super kaya itu, Ritsena? Jangan bercanda. Hidupku sudah berantakan, jangan buat harapanku tambah berantakan kalau ternyata ini cuma ulah iseng orang lain. Semua pikiran Kenan tersebut bercampur menjadi satu menjadi sebuah tanda tanya besar. Satu kekonyolan tambahan baginya. Kenapa? Semua seperti cerita Cinderella yang diasuh ibu tiri rabies?


Kenan membuka matanya, ternyata hari sudah cerah. Waktunya beres-beres, lalu pergi ke sekolah. Sebenarnya bukan sekolah yang ia nantikan, ia hanya tak sabar ingin tahu soal semalam. Rasanya sekolah jadi terasa cepat kalau begitu.
“Gimana ulangannya, Non?” sapa Kenan pada Lena yang tumben berwajah cerah setelah ulangan bahasa Inggris berlangsung. Menakjubkan.
 “Lumayan! Gue yakin dapet minimal 70 lah,” jawabnya ceria.
Perasaan gondok timbul di hati Kenan yang sudah susah payah memeras keringat darah untuk mengajarkan alien langka seperti Lena.
Ken mengehela nafas menyerah. “Eh, kenapa? Oh, sudah siap ke sana?”
“Kemana?” tanya Ken sangat heran.
“Yeh. Aku tahu kamu tuh ‘menikmati’ ulangan bahasa Inggris itu tapi jangan lupa ada rahasia yang musti kita bongkar!” Tangan Lena bergerak secara liar memperagakan dirinya detektif. “Rahasia toko Ritsena!,” Lena mengatakan ‘Ritsena’ dengan nada yang gimana gitu. Kenan kagum pada gelagatnya.
“Pulang dulu, baru telepon, Len.”
“Kalau gitu baru bisa kesana besok dong?? Aah…”

|| Sion ||

Saturday, 11 June 2016

Chapter 2 (Kemarin lupa dikasih judul ya...)

Oke, selamat malam!
Mohon ini jangan ditiru di rumah Anda, di kos Anda, apalagi di kos teman Anda!!
Penulis gila ini DNA-nya sedikit bercampur dengan kalong (Kalong spp.), makanya selalu update apa aja jam-jam segini. Yah,, di saat otak sedang kekurangan eritrosit, tanganku memproduksi ATP-nya sendiri.

Well, itu di atas jangan dianggap serius ya...

Jadi, mari kita lihat apa yang terjadi pada Kenan dan sahabatnya si manusia terancam punah: Lebena dan Ryan Challysto...

Chapter 2


Tak terasa 1 tahun itu cepat. Lagian anak kelas 4, 5 SD kerjaannya apa coba? Main, senang-senang–jelasnya hidup sok innocent, lebih-lebih sok lugu kalau sudah menyangkut UAS. Bodohnya jadi kelihatan. Sayangnya Kenan lain. Masa-masa itu tak bisa Kenan habiskan dengan senang-senang. Dengan pola pikir orang dewasa, ia sanggup mengerjakan apa yang tertutupi dari ke-innocenet-an anak-anak kecil pada dunia yang sebenarnya dan tidak lenje-lenje.
Jam pulang sekolah datang seperti biasanya tapi rasanya Kenan tak ingin pulang dan berniat belok ke rumah Lena–bagai rumah keduanya Kenan. Kenan memang tidak innocent tapi yang namanya kepekaan seorang anak-anak pasti ada. Begitu hal buruk mau terjadi di rumahnya, beberapa kali Kenan terselamatkan dengan lari ke rumah Lena saat pulang sekolah.

“Wah, siapa yang datang lagi ini?” sambut suara lembut dari dalam rumah.
“Ehm, Tante, kita ini mau belajar bareng,” jawab Kenan sambil terkekeh.
“Bohong banget,” sela Lena sambil bibirnya monyong-monyong.
Akhirnya kebohongan itu jadi kenyataan dan mereka malah belajar beneran. Berkali-kali Kenan menggurutu Kenan tapi Lena pura-pura cuek.
Lalu seusai belajar Kenan menatap ke luar jendela. Matahari cerah itu merayap hilang semakin tak tersenyum lagi padanya. Saat itu sudah senja yang artinya harus pulang bagi Kenan. Takut. Ya, takut adalah sikap antisipasi.
Bagi Kenan nama rumah hanya pajangan semata. Dulu tempat itu memang menyenangkan tetapi yang namanya dulu tetap dulu. Tempat itu hanya menjadi neraka bagi Kenan yang malang saat sekarang. Ibunya telah bertranformasi jadi majikan beringas. Kenan selalu frustasi tiap kali mengingatnya.

Secepat kilat sampai depan rumah, muka Kenan langsung pucat. (Perhatian: rumah Kenan hanya beda gang dari rumah Len).
“Dari mana saja kamu!?” teriak ibu Kenan. Ia marah-marah lagi.
“Dari rumah Lebena, Bu.”
“Lebena! Lebena! Kenapa kamu gak pindah aja sekalian ke rumah dia!”
“Permisi. Ken mau ke kamar.”
“Hee... dimarahin lagi ya?” ejek adik Kenan, Tyas.
Kalau beliau sudah mulai mencacimaki, biasanya Kenan melarikan dan menyembunyikan diri ke kamar. Satu-satunya antisipasi dari pukulan.
Hal meresahkan itu bermula ketika ayah Kenan jadi sakit-sakitan semenjak 2 tahun lalu setelah masa PHK itu. Ibunya jadi sering marah-marah dan kurang ajarnya, Tyas malah ikut-ikutan. Kenan tak pernah mengerti mengapa hanya ia yang dijadikan sasaran dan kenapa ibu hanya sayang pada Tyas. Sekarang kebiasaan barunya meningkat ketika ayah mereka harus dibawa ke rumah sakit. Ia selalu marah dan itulah hobi barunya.
Kenan selalu letih mendengar teriakannya tapi ia pun tetap mencoba menutup matanya ketika malam sudah datang dan berharap mimpi buruk akan datang. Setelah ditunggu, tahu-tahunya sudah pagi.

Berikut pekerjaan Kenan sebelum ke sekolah; bangun jam 4 pagi, menyapu, mengepel, mengelap kaca jendela, cuci setrika baju sekolah sendiri.
“Keeeennnnnaaaannnnn!!” seru Lena tiba-tiba. “Seeeekkkoolllaaahhh!!”
 “Ken! Jangan berisik kenapa sih!? Senang ya kalau ibu marah!?” teriak ibu Kenan dari kamar. Cepat-cepat Kenan selesaikan tugasnya dan berangkat.
Di sekolah pun jadi hari menyenangkan bagi Kenan. Entah sebagai bentuk pelarian atau memang karena ia suka belajar. Meski ia punya banyak alasan untuk bisa senang sekolah, sayangnya temannya yang satu itu mengenaskan. Jelas sekali dia benci hafalan dan hitungan. Ya, memang anak yang satu itu hanya suka olah raga. Satu poin lagi kekocakan Lena ketika sedang berhadapan dengan pelajaran.
“Ulangan melulu!!!” seru Putri, teman sekelas yang duduk tak jauh dari Kenan mulai memaki-maki. Begitu juga yang lainnya. “Mending gampang!!”
“Ulangannya tadi?” tanya Kenan pada Lena dengan lembut.
Lena dengan tampang stres membalikkan badannya. “Tau ah. Pasrah. Kalau kamu? Ah ya, ngapain ditanya,” lanjut Lena tanpa ada helaan nafas. “Aku lelah dengan hidup ini.”
Makin sakit ya dia karena ulangan? Kocak amat. Dengan tampang malas Kenan menjawab. “Haaahhh. Aku kan belajar tadi malam. Makanya belajar.”
 “He? Aku bantu mamaku tahu!” Lena pamer.
“Tidak bisa bagi waktu? Ah, payah.”
“Kamu juga gak perlu belajar, orang IQmu 165. Ngomong mah enak.”
Kenan mendecak. “Tak ada pengaruh IQ sama nilai.” Lena cemberut.
Kenyataannya, IQ seorang Kenan meningkat tajam sampai bisa potong bawang! Lebay. Ya Kenan bersyukur pada Tuhan karena Anugerah IQ itu. Mirisnya meskipun bayarannya keadaan hidupnya.
“Ayo nyebrang jalan, anak jenius.”
Kenan mendecak lagi berusaha tidak memukul kepala Lena. “Apa sih?”
“Apa kek. Eh, sebenarnya kau itu makan apa sih? Buku?”
“Nasi, sama ikan, sama tempe, tahu, terus, terus –“
Lena menjawab dengan menunjukkan muka terjeleknya.
“Apa lagi?” tanya Kenan enggan.
“Sama makan kue emakku! Berterimakasihlah kamu sama aku.”
“Perasaan yang buat kue itu ibumu, kenapa harus terima kasih sama kamu?”
“Karena aku anaknya! Wahahahahahha!” Tawa Lena meledak. Dahi Kenan berkerut pada lelucon garing itu. “Hahahha. Terserah deh. Aku pulang yah!” ucap Lena riang. Tangannya melambai-lambai sambil bersiap masuk gang.
“Okelah, Le –“
Nafas Kenan hampir putus. Perasaan buruk yang sama mirip waktu ayahnya ambruk lalu dibawa ke rumah sakit simpang siur di dadanya. Untuk berdetak saja jantungnya sulit. Deru adrenalin membuat Kenan ketakutan.
“Eh, kenapa?” tanya Lena heran. “ Aku pulang deh. Bye!”
Kenan melangkah dua kali dan langsung lari ke tempat Lena berdiri. Ujung jari-jarinya dingin. “Tunggu, Lebena Maganda!” jeritnya tanpa sadar. Lena tersentak. “A,a, aku takut masuk ke rumah.” Kenan gelagapan menjawab.
“Kenapa?” tanyanya cemas. Kenan terdiam dengan tangan mengepal. “Hm, mungkin aku tunggu disini aja. Kalau 10 menit lagi kamu gak keluar aku pulang, gimana?” tanya Lena.
Kenan mengangguk lemah lalu memberanikan diri masuk ke gang itu. Suasananya begitu sunyi di rumahnya. Perasaan bertanya-tanya ada apa gerangan memenuhi benaknya dan Kenan yang malang mendapati barang-barangnya berserakan di depan rumah. Ada apa? “I, I, Ibu. Ibu di rumah?” tanyanya takut.
“Ngapain kamu ke sini, hah!? Pergi sana!” teriak ibu Kenan keras-keras.
“Iya, pergi sana!!” timpal bocah kelas 3 SD yang berada di samping ibunya.
Kenan tersentak. “Apa, apa salah Saya, Bu?” tanyanya merasa bersalah.
“Oh, apa ya??” Tiba-tiba ia hendak menendang Kenan dan Kenan menghindar. “Sudahlah, aku muak melihat mukamu!!” Ia pun menarik Tyas lalu membanting keras pintu dan meninggalkan dengan sengaja sebuah kantung plastik.
 Dengan berurai air mata, Kenan mencoba menyusun segalanya. Salahku apa lagi? Kenapa hanya aku?? Sambil menenteng benda-benda, Ken keluar dari gang kecil rumahnya itu. Ia bersiap mengucapkan selamat tinggal bagi rumah mungilnya.
“Eh!? Apa ini!? Kamu kenapa, Ken!?” seru Lena yang Kenan lupakan masih ada di sana dengan oktaf ketiga. Kenan menggeleng. “Tuhanku! Kamu di usir!?” pekiknya. Lena ikutan shock.
“A,aku –“ Air mata bereneng-renang di mata layu Kenan.
“Ayo, ke rumahku saja,” ajak Lena sambil menarik siku Kenan yang masih bergetar.

Sampai di rumah keluarga Maganda, tante Merry bingung setengah mati melihat muka Kenan yang pucat dan depresi dengan barang-barang di tangan. Lena membawa Kenan ke kamarnya. Di sana pun Kenan menangis sepuasnya lalu tertidur karena lemas. Ia tertidur lelap sampai akhirnya terbangun dan melihat sudah jam sembilan pagi. Jam sembilan! Astaga! Memangnya aku sleeping beauty? Kalau sleeping zombie baru benar! renung Kenan panik.
“Le, Lebena.” Kenan berkata-kata sambil berusaha membuka lebar matanya yang super berat. “Astaga. Ya oloh. Aku enak-enakan tidur –“
“Santai aja, Ken. Semua juga sudah rapi. Ayo sarapan!” ajak Lena ceria.
“Ma, makasih, Len,” jawab Kenan tak enak hati.
“Formal amat.” Lena menjetikkan jari dengan senang. Kemudian tatapannya berubah serius, “tapi ya aku penasaran kenapa ibumu itu ngusir.” Lena seperti bisa membaca isi hati Kenan. “Kalau marah-marah sih biasa ya kayaknya,” ujar Lena sambil menyodorkan sepiring nasi, “lalu ini… Hmmm enak.”
Kenan meraih piring itu dan menyantapnya. Lantas segera ia berjalan ke tempat cucian piring setelah perutnya kenyang dan mengambil spons cuci piring.
“Gak usah. Nanti mamaku bikin kue, percuma ntar banyak lagi cuciannya. “Ayo cepatlah!!” Lena menarik Kenan lagi.
“Ke, ke, kemana??” tanya Kenan tambah bingung.
“Yah ke rumahmu lah! Liat ada apa sama emak killer-mu itu!” Kenan melongo. “Keenakan nih ye,” goda lena.
“Enak aja! Aku masih tau diri tahu!” seru Kenan merasa malu.

Mereka mengendap-endap pergi mendatangi rumah Kenan, kembali ke kandang setan. Kenan sebenarnya takut tapi ia berusaha memberanikan dirinya untuk mencari tahu kebenaran yang disembunyikan ibunya.
“Woi! Jangan bengong mulu! Lihat itu!” seru Lena sambil memukul Ken.
“Ee, ee. Apa ini? Kok warna hitam semua?” tanya Ken gelagapan.
“Nah, kan. Efek teori Darwin buat anak jenius jadi bego. Ini ada pemakaman, kan! Eh. Di depan rumahmu itu ada tendanya sama bendera kuning. Memangnya tentanggamu ada yang sakit parah atau kecelakaan gitu?”
“Bukan.” Ken mulai histeris. “Ini. Ayahku pasti –“
Lena tersentak. “Oh! Oh, maaf Ken! Aku gak tahu! Maaf! Maaf!” Ken menenangkan perasaannya lalu menarik tangan Lena. “Kamu gak takut? Ibumu –“
“Ok!” Ken pura-pura semangat supaya Lena gak tahu kalau ia juga takut.
“Ke sini lagi!? Hobi dipukul ya!?”seru seseorang yang sambil berjalan mendekati mereka berdua. “Dablek ya. Sudah diusir datang lagi kaya tikus!”
“Kabur Ken!!” Lena menarik lengan Ken sekuat tenaga.
“Tapi ini pemakaman ayahku!!” Ken berusaha menepis tangan Lena.
“Entar ajalah!” Lena melirik seseorang yang mulai mendekati mereka membawa hawa-hawa musibah. “Eh, gila emakmu bawa pisau!!” seru Lena.
Pisau!? Apalagi salahku!? Ada apa sih ini??
Pikiran Kenan makin kacau. Lena berusaha keras menenangkan seseorang yang sedang menunduk frustasi di sebelahnya. “Ken, sudah ya. Kapan-kapan kita ke makam ayahmu. Sekarang enggak, oke? Kamu mau nyusul ayahmu, apa?”
“Kalau itu cara –“
“Jangan gila!!” jerit Lena marah membuat Kenan makin tertekan.
Aku memang sudah gila, Len!! Cuma badanku yang masih hidup dengan cara begini. Soal ayah, soal PHK, soal ibu, soal rumah, itu sudah bunuh aku pelan-pelan!! Kenapa, ayah?? Kenapa ayah pergi dariku??

“Mama!” teriakan Lena membangunkan Kenan.
Ehm. Aku ketiduran ya? Haha. Masa tidur sambil jalan. Mungkin aku halusinasi selevel sakau, pikir Kenan yang pikirannya lagi terbang bebas.
Kenan menyapa tante Merry tapi beliau malah kaget. “Loh? Kamu kenapa, sayang? Kok muka kamu pucat begini?” tanya tante Merry lembut.
“… tadi Ken pingsan, Mah. Tadi, kami ke rumahnya –“
Pingsan? Ia berpikir sejenak sementara Lena menceritakan semuanya pada mamanya.
“Ya ampun. Kok Ine jadi gitu ya. Padahal dulu dia gak kaya gitu,” ucap Tante. (perhatian: Ine nama ibu Kenan) “Ya sudah Ken, kamu tinggal di sini saja. Lumayan kan Lena ada teman ngobrol. Kamu bantu-bantu saja di rumah yah.”
“Ta, ta, tapi, Tan?”
“Oh. Jadi sekarang mau nih, Kenan Grace jadi seorang gembel di jalanan minta-minta buat makan, terus –“
“Iya iya. Sadis banget sih.”
Ada senyuman kecil merekah di wajah tante Merry. “Nah, sekarang kamu sama Lena bagi-bagi tugas saja yah. Sembari tante buat kue.”
“Ah, tan. Aku ini bisa bantu bikin kue tapi cuma bisa sedikit.”
Tante Merry tersenyum. “Oh ya? Kok kamu gak bilang ke Tante?”
“Waktu baca-baca aku lihat resep-resep tradisional begitu, Tan. Ada yang sudah kucoba sendiri, misalnya kue barayot, kecimpring, cake tape, dan yang paling susah kue lumpang! Pakai bahan murahan juga bisa”, jawab Ken bangga.” Si Lena cengok dan itu membuat Kenan tambah puas.
“Oh. Bagus. Kapan-kapan bikin kue bareng yah, kalau di jual kan bisa tambahan biaya kita,” ujar tante Merry sengaja membuat Kenan yang sudah dianggap bagai anak sendiri bersemangat.
“Bikin kafe saja sekalian, Tan, atau toko kue kecil-kecilan dulu saja, Tan.”
Tante Merry tertawa. “Tante punya pelanggangan tetap kok.”
“Buat tambahan saja, tan! Biar aku sama Lena yang jaga!”
“Semangat sekali.” Tante tersenyum pada Kenan. Pipi Ken merona. “Ya sudah. Kalian masuk sana. Cepat tidur. Besok sekolah, kan? Oh ya, buku pelajaran sama seragam kamu gimana?”
“Oh. Dilempar sekalian kok, Tan. Tapi buku-buku lainnya tak ikut. Buku pelajaran, seragam, cukup, Tan. Makasih ya, Tan. Tante baik sekali.”
Dahi Lena berkerut. Dilempar sekalian???
“Ah masa? Kamu juga sering di sini, kan. Jadi santai saja ya, Nak,” ujar tante Merry sambil tertawa, “kamu rapikan dulu saja barang kamu ya.”
Kenan mengangguk. Bersamaan dengan itu, Lena membantu Kenan selama sehari itu.
Dimulailah hari-hari Kenan di rumah keluarga Maganda yang beranggotakan Lena dan mamanya–lalu dia. Berapa lama ia akan di sana tetap menjadi pertanyaan. Meski demikian, Kenan tetap memikirkan rumahnya yang biasanya ia rapi dan bersihkan tiap hari. Akan tetapi, menurut Kenan lebih baik ia tetap di sana dan melakukan apapun supaya bisa berguna serta tidak memberatkan tante Merry dan sahabatnya.

|| Sion ||

*Perhatian: please, jangan copy-paste tulisan ini ke sumber pribadi apa pun.. saya buat novel ini 5 tahun dan Anda mengkopinya dalam waktu 5 menit.
Sankyu~

Catatan hari peralihan: Jumat ke Sabtu...
Sepertinya ini pelampiasan stres karena ujian?
*Ngakak #CalonIlmuwanSedeng

Sebenarnya.. aku niatnya update novelnya setiap Senin saja... kenapa? Sekalian update PKM tercinta (apa itu PKM? Makanya kuliah biar tau), atau Rabu. Kenapa (siapa yang tanya ya?)? Karena itu hari liburku!! Wahahha (apa siiihh luu, Nat??)
Courtesy of Digimon Frontier Anime

Jadi, semoga karya ini, novel pertama dari seorang penulis amatir ini, berkenan di hati pembaca sekalian :D
#DanMasihBerdoaUntukHardCopynya

Sankyu~

Courtesy of Naruto Anime: Boruto
#IMissMyMomDanMyBrother <= Beginilah nasib mahasiswa yang pulangnya hanya satu semester sekali

|| Sion ||


Thursday, 2 June 2016

Chapter 1 (revisi)

Haiii semuaaaaaa...
Sion di sini~ :3
Aku sebenernya udah lama re-editing chapter 1 ini. Bagi yang pernah baca (juga komen) mungkin yang masih inget bisa dibuat pembanding dan mita komentarnya #grin
Selamat membaca~


_______________________________________________________________________

Chapter 1


Kepala Kenan menengadah ke langit kelam Sleman. Beberapa tetes sisa air hujan membasahi wajahnya dan menyegarkan dirinya yang mulai bosan. Dua jam tidak kurang lama baginya untuk menunggu hujan reda di bawah bayangan kanopi rumah tetangga. Masalahnya adalah... kanopi tempatnya berteduh tidak kurang kecil untuknya dan kedua kawannya. Belum lagi kedua makhluk itu begitu rusuh saling dorong untuk berebut tempat.
Pelangi seperti di langit desa wisata Kalibiru yang kulihat di tv ternyata bisa muncul di sini juga ya? Cantik... Mata Kenan berkilauan waktu memandang pelangi yang terbentang di angkasa. Ah, padahal sama-sama di Yogyakarta tapi kenapa rasanya kampung kumuh Parejo ini dan desa itu bagai langit dan kuburan?
 “Pelangi!!” Lena mendorong Rudi menjauh darinya. Ia pasti tidak sadar kalau ia mendorong temannya sampai terjerembap di lumpur. “Ihiy!! Ini sudah ketiga kalinya aku lihat pelangi!! Kenan, itu pelangi!!”
Tak usah berisik teriak-teriak juga aku tahu itu pelangi...
Lena berlari ke sana kemari, berputar-putar membentuk lintasan angka 8 lalu cengar cengir kuda. Setelah capek dan kepalanya pegal, ia berhenti. Matanya bersinar-sinar saat memandang Kenan–entah apa yang Lena ingin sampaikan dari senyuman bahagianya itu–lalu mulai berlari-lari lagi.
Di kesempatan berikutnya–saat Lena capek (lagi) dan istirahat sambil ngos-ngosan (lagi)–Rudi berjingkat-jingkat mendekatinya dari belakang. Tangannya–dan seluruh badannya–penuh lumpur. Tak perlu menunggu lama sampai gumpalan lumpur tersebut melayang ke kepala Lena. Semuanya. Yah, tak perlu tunggu beberapa detik juga sampai jeritan 5 oktaf Lena menggema.
“Ru... diii!!!!”
Mereka pun kejar-kejaran di area berlumpur. Lumpur yang mereka injak-injak itu ikut pula memantul-mantul ke segala arah. Jangan tanya kenapa nantinya dari ujung kepala ke ujung kaki Kenan penuh noda lumpur. Rasanya dua jam mereka untuk menunggu hujan reda (tujuannya kan supaya pakaian mereka tidak basah) sia-sia.
“Kau yang mulai duluan, anak cewek gila!”
Rudi menembakkan peluru lumpur ke dahi Lena. Dan... homerun! Mendarat sempurna di jidat lapangan tempur Lena. Alhasil, Lena tambah ngamuk.
Dari kejar-kejaran sekarang lempar-lemparan lumpur? Aku pasti tidak bisa sampai rumah dengan selamat sentosa ya...
Lemparan bola lumpur Lena sayangnya tidak ada yang tepat sasaran. Ia menghabiskan semua amunisi lumpur di tangannya dengan sia-sia. Waktu Lena menunduk untuk mengisi ulang amunisinya, Rudi melemparkan satu bola lumpur terbesar yang dibuatnya. Hiyat! Bola lumpur itu melayang melewati Lena menuju... Kenan.
Seinci lagi lumpur itu hampir mengenai muka Kenan yang ada di belakang Lena. Kenan mendongak ke belakang lalu pandangannya kembali ke kedua bocah lumpur di hadapannya. Matanya memelototi Rudi.
Sadar suasana jadi tegang, Lena bangkit berdiri. Ia melihat ke arah Rudi melihat. Di balik punggungnya, Lena mendapati Kenan yang diam saja. Lena mengerjapkan mata berkali-kali, masih berpikir kenapa badan Rudi bergetar (sebenarnya dia takut pada Kenan).
“Ehm, kenan?” Pandangan mata Lena kembali pada teman di belakangnya. “Oh, Ke.. nan...” Ekspresi Lena seketika berubah seperti melihat hantu. Ia BENAR-BENAR baru sadar ulah mereka berdua pada temannya tersebut. Lena celingukkan kemana-mana, ketakutan sama seperti Rudi ketakutan. Berikutnya, dengan gagah berani–dan terpaksa–Lena menarik baju Rudi kemudian berlari mendekati Kenan yang alisnya sudah terangkat sebelah. “Ma, maaf, Ken! Rudi, sini! Kamu kan yang salah!” Lena mencengkram tangannya pada pundak Rudi lalu memandang Kenan penuh harap supaya ia memaafkannya.
Rudi baru mau protes pada tuduhan semena-mena Lena tapi ia urungkan niatnya waktu melihat bola mata Kenan. Sejenak Kenan hanya menatapnya, terus menatapnya, bingung. Sekian lama, detik demi detik. Hening total. Akhirnya Rudi menyerah, ia menarik Lena menjauhi Kenan lalu memecah keheningan yang rasanya membuat mereka stres.
“Hmm, jangankan maafin kita, kau yakin dia bisa ngomong, Na?” tanya Rudi yang sebegitu herannya mengapa Lena kuat menghadapi kebisuan Kenan.
“Emangnya selama ini aku ngomong sama tembok? Emangnya Kenan tembok? Eh, iya kali ya. Eh, enak aja! Kupingku belum soak kaya kamu ya!”
Rudi tersinggung. “Aku kan nanyanya baik-baik! Kenapa malah sewot??
Akhinya... mereka sendiri berdebat sementara Kenan diam sebisu rumput yang bergoyang tertiup angin. Terus saja begitu. Padahal mereka sendiri tak sadar ada Kenan di sana dari awal (baru sadar setelah Kenan berubah menjadi monster lumpur). Yah, salahnya juga yang terlalu pendiam sampai kehadirannya terlupakan. Saking pendiamnya, jumlah kata yang keluar dari mulutnya tiap hari bisa dihitung dengan jari. Karena itu tak jarang ia dikira bisu. Ia bahkan berpikir kalau mungkin sebentar lagi akan lupa caranya berbicara.
Rudi merengut. “Dosa lho bohong melulu! Aku sudah seminggu di sini dan tak pernah lihat ia ngobrol dengan siapapun!”
“Ken tidak suka padamu!” Lena cengengesan.
Katanya mau minta maaf, sekarang malah tuduh-tuduhan. Ergh...
Kenan buka mulutnya, “Hei. Kalian ini berisik sekali. Hari sudah senja, pulanglah.”
Rudi tercengang melihat Kenan bicara. Lena cengar-cengir bangga karena dianggap Kenan sebagai temannya. “Ih, kok cara ngomongnya si Ken aneh gitu? Memangnya dia pembaca berita yang kaku di tv?” bisik Rudi merasa ngeri sembari melihat punggung Kenan yang terus menjauhi mereka. “Serem banget.”
“Mana kutahu! Aku bukan pembantunya! Kalau gak salah, ayahnya pernah bilang ke aku kalau otak Ken terlalu pintar buat –“
“Ha, apa hubungannya pintar sama cara ngomong?” Rudi mulai nyolot.
Lena mengelak ikut tak mau kalah. “Mana kutahu! Umurku masih 5 tahun tahu! Masuk SD saja belum! Mana ngerti yang kaya gitu!”
“Jadi maksudmu, dia itu gak nor, mal?” Alis Rudi sebelah terangkat.
“Yah kamu lah yang gak normal itu!”
“Hah!? Kamu tuh!”
Mereka tenaga kuda ya...
Kenan sempat menengok ke belakang, menonton mereka sekilas. Tanpa menonton lebih lama, Kenan berjalan semakin jauh meninggalkan mereka berdua. Rudi dan Lena sadar kalau mereka ditinggal langsung berlari mengejar.
Tiba dirumah, Kenan makan malam bersama keluarga kecilnya. Ayahnya senang bertanya ini itu meski tahu putrinya takkan menjawab. Hal itu sudah cukup membuat Kenan bahagia karena merasa dicintai. Semua perasaan tersimpan di dalam hatinya–jelas karena Kenan tak bisa mengekspresikan senyum.


Satu-satunya teman bicara–iya kalau ngomong beneran–Kenan adalah Lena. Orang-orang mengiranya bisu, guru-guru di SD-nya pun mulanya demikian. Ia sama sekali takkan bersuara kalau tidak ditanya. Beberapa teman sekelas lainnya masih ada yang mau ngobrol dengannya dengan alasan tanya PR. Kepintaran Kenan yang seperti komputer bukan lagi rahasia umum, sehingga sering kali Kenan hanya dimanfaatkan dalam kerja kelompok.
Hmm.. Lena... Sepintas Kenan ingat cerita lama saat Lena menolongnya dari omelan teman-teman sekelasnya soal piket kelas. Dan soal piket kelas sebelumnya membuat Kenan tak sengaja melirik ke jam dinding. Oh! Aku lupa sama Lena!! Buru-buru Kenan merapikan buku yang daritadi  dibacanya di perpustakaan sekolah sampai lupa waktu.
“Yah. Molor lagi deh. Baca kamus atau kamu yang dibaca kamus?” sindir Lena pada temannya yang rambutnya super berantakan karena lari-lari. Kepala Kenan tertunduk malu. “Ya sudahlah. Ayo keliling dulu sebelum pulang!” ajaknya.
Senyuman Lena membuat Kenan merasa bersalah karena terlambat tapi ikhlasnya Lena tak marah. Menurut Kenan, Lena teman yang baik, tidak seperti si cerewet Rudi yang akhirnya pindah ke luar kota karena pekerjaan orang tuanya.
“Len, Lihat! Biola itu bagus ya! Oh ya, kau senang musik?” tanya Kenan.
“Apaan itu biola?” tanya Lena polos. “Alat musik? Enggak.”
“Bukan. Nama bibi tukang jaga kebun–Bibi Ola. Eh, merek kain pel deh.”
Lena cemberut. “Hah!?
“Hoh,” balas Kenan gemas.
“Ih. Serius.” Lena cemberut.
“Aku tak jadilah. Lupakan saja,” jawab Kenan malas.
“Ih ngambek tuh. Padahal hari ini di rumahku mama buat es krim loh.”
Kenan terpancing. “Wah! Tante buat es krim lagi!? Mau dong!!”
“Ih, siapa loe tiba-tiba bilang mau mau?” sindir Lena menohok Kenan.

Kenan senang berada di dekat teman kecilnya, Lena. Dia baik, konyol, dan mudah dibego-begoin. Seperti itulah kira-kira Lena di mata Kenan yang kelewat polos tapi bodoh karena Lena sering dikerjai dengan cara yang sama berkali-kali.
Mereka pula selalu sama-sama, hingga masuk ke sekolah yang sama–SDN 17 Depok, Sleman. Dari balita sampai saat itu mereka sudah kelas 3 SD, di sebelah Kenan Lena selalu tak pernah capek merepet. Bahkan, selama hampir sejam mereka berjalan kaki dari sekolah ke rumah setiap hari. Ekonomi keluarga mereka serba kekurangan sampai untuk ongkos angkutan umum untuk ke sekolah pun tak ada. Padahal, dulu mereka orang yang terlebih dari mampu. Untungnya keduanya sepakat sama-sama cuek soal itu.
Biasanya, saat pulang sekolah mereka melintasi jalur yang berbeda-beda sesuka hati Lena. Bisa kadang-kadang lewat jalan yang sepi, biasa lewat jalan besar penuh truk, bahkan bisa potong jalan melalui perumahan. Yah, kurang lebih 5 bulan yang lalu Lena tak sengaja memilih jalur ruko pertokoan di dekat kompleks perumahan elit Luna garden, kemudian bagaikan Kenan bertemu dengan kembarannya yang sudah terpisah puluhan tahun, mereka menemukan sebuah toko musik di salah satu ruko-ruko itu. Sejak hari itu, Kenan ngotot kalau mereka harus pulang dari sekolah lewat jalur itu supaya bisa singgah di sana.
Satu minggu pertama mereka hanya selalu numpang lihat dari jauh. Mata Kenan hobi jelalatan melihat biola-biola yang tergantung dan terlihat jelas dari luar. Hari Senin berikutnya, Kenan mendengar alunan biola dari dalam toko tersebut dan sontak berlari sampai ke pintu depan toko. Sayangnya, begitu penjaga toko itu melihat Kenan, ia malah lari pontang panting. Ya, semenjak ‘itu’, Kenan berevolusi menjadi penggila biola.
“Hei! Bengong mulu! Kamu denger gak daritadi aku ngomong apa??”
Pikiran Kenan buyar. “Eh, enggak. Iya?Eh, apa apa?” jawab Kenan tergagap-gagap.
“Kenapa sih sama biola itu?” Ali Lena naik saat melihat biola yang tergantung di etalase toko. “Aa, sa, sta, stra.. –“
“Stradivarius.” Kenan menjawab dengan antusias. “Dari yang kubaca, itu biola antik. Yang ada di sana hanya replikanya. Mungkin. Replikanya saja mahal sekali tapi bukan itu yang kulihat. Coba lihat yang ada di sebelah pintu, yang berwarna coklat muda mengi–“ segera Kenan bungkam sampai lidahnya tergigit. Jebakan Lena sukses besar.
“Oh, bagus. Penjahat ngaku. Aku ngomong sama batu ya daritadi.”
“Maaf!” Kenan langsung menutupi kedua matanya.
Penjara udah kepenuhan. Mau rebutan kamar di sana sama koruptor? Katanya kamarnya bagus-bagus lho, makan juga gratis.”
Ikh, sial. “Cita-citaku mewah sekali ya.”
“Makanya kembangkan terus bakat penjahatmu ya, Nak.” Keduanya tertawa-tawa tanpa berpikir sedikit pun tentang dimana mereka berdiri saat itu.
Lena menghela nafas panjang. “Haaahh. Andai aku orang kaya, aku beliin kamu biola itu,” sergahnya sedih. “Apa aku perlu jadi koruptor dulu ya?”
“Hmm.. kamu sudah kaya, Len.” Kenan menatap dengan jahil.
“Ngelucu ya? Keluargaku miskin, kamu juga kan, tetangga juga kan (?).”
“Hmm.. kukira tadi –“
Keringat mengalir deras di kening Kenan waktu lagi-lagi ia tertangkap basah berisik di depan toko musik tersebut oleh penjaga tokonya. Sebelum penjaga tokonya keluar, Kenan menarik tangan Lenan lalu lari kejar-kejaran seperti anak balita tapi Lena nyatanya memang seperti balita karena ia terlalu sering tersandung tanpa sebab. Mengherankan sekaligus menggelikan bagi Kenan.
Hanya saat bersama Lena Kenan bisa benar-benar tertawa. Namun, hanya saat bersama Lena juga Kenan selalu ingat kalau ia mulai bergantung padanya ketika masa lalu sempat membuatnya terpuruk. Rasanya benar-benar tenang dalam kesenangan itu hanya pura-pura belaka seperti mimpi yang akan lenyap ketika Kenan terbangun, lenyap bersamaan dengan Lena lenyap dari hidupnya.
Ia teringat kembali akan masa lalu. Tidak seperti dulu, dua tahun yang lalu masa terburuk keluarganya. Masa PHK masal dan ayahnya salah satu imbasnya. Oleh karena itu masa lalu yang tak perlu ditatap lagi, Kenan hanya bisa berharap pada Tuhan kalau masa-masa indah saat ini lebih dari harta berharga.
Kenan menghela nafas, tersenyum sambil menatap Lena yang ngos-ngosan dari jauh. Mudah saja kan menganggap masa lalu ya masa lalu. Bicara mah mudah. Sekali sudah mengalami hal tidak enak, hal yang enak malah seperti ilusi. Semua yang baik hari ini terjadi seperti mimpi saja. Apa aku salah kalau aku takut semua yang kumiliki sekarang akan hilang begitu saja seperti kejadian pada ayah dulu?? Kalau iya ini ilusi, aku harus berubah jadi seperti apa lagi saat semuanya lenyap lagi??


|| Sion ||