...
“Lalu mana biolanya?” tanya pak James. Kenan menggeleng. “Kalau begitu,
bagaimana dengan lagu dari piano Ryan saja?” saran pak James.
Kenan balik memandangi Ryan. Ryan berjalan ke arah grand
piano. Ia duduk di kursinya lalu membuka tutup pembukanya. Beberapa saat
kemudian mulai mengalun lembut lagu dari iringan piano.
“Chopin: Nocturne No.2, Op.9,” gumam Kenan.
Kenan diam mendengarkan sambil
menundukkan kepala. Hatinya
miris ketika mengingat Lena yang bertepuk tangan dengan riang ketika pertama
kali Ryan memainkan lagu ini di hadapannya. Wajah kagumnya seperti orang bodoh.
Selesai memainkan satu lagu itu, improvisasi medley Ryan melanjutkannya dengan lagu
lain.
Aku tahu lagu itu. “Stella Quintet: Crescendo.”
Wajah bodoh Lena yang kagum Kenan ketika memainkan lagu ini dengan
biola terlintas di kepalanya.
Ketika Lena melamun, tertawa, lalu bertepuk tangan dan menjerit-jerit seperti
orang gila untuk meminta sahabatnya
memainkan lagu yang lain. Lena yang waktu itu begitu bahagia dan bisa tertawa
sesuka hatinya.
Namun, Lena yang ada
saat ini hanyalah orang
yang sedang terbaring tak berdaya dengan selang di hidung dan mulutnya. Tak ada
lagi guratan senyum dari bibirnya. Tak ada lagi tawa di wajahnya. Seakan-seakan
melihat Lena bisa ‘bebas’ hanya ilusi semata.
Lutut Kenan gentar. Ia jatuh berlutut. Kedua tangannya menapak ke lantai lalu ia menangis keras-keras. Semua air
mata yang ia tahan
selama tiga hari tumpah ruah.
“Menangislah sepuasmu, kau orang yang tegar, Kenan.
Kau tidak sendirian, aku ada di sini.” Nada-nada dari tuts piano lenyap dan saat itu tangan orang yang memainkan piano itu tadi
sedang memegang pundaknya. Begitu menyakitkan. Hati Kenan semakin perih untuk menerima kenyataan dengan rasa
bersalah.
~Sion :D


