Friday, 22 September 2017

Chapter 14 :D

Kalau gak ada reminder-nya, Sion suka lupa update. ToT
Biarkan diriku curhat dulu ya...

Sion nganggur tulen ni. Nunggu buat wisuda kagak boleh keluar rumah, mau ke rumah temen aja diomelin. Apalah dayaku ini ToT
Kira-kira, kegiatan apa yang cukup masuk akal untuk mengisi kekosongan ni?? Jadi adek rumah tangga itu meremukkan tulang. Hiks...

Ya sudahlah...
Check it out chapter 14,, yuhuuu...


Chapter 14


Pengharapan Kenan serasa runtuh setiap kali wajah Lena yang selalu tersenyum pura-pura kuat terbayang. Ia kehabisan akal untuk bersikap pada Lena, bahkan pada dirinya sendiri. Hidupnya penuh gelimpang harta, sementara dunia Lena adalah kotak sempit rumah sakit dan untuk seumur hidup ia takkan pernah meninggalkan obat, infus, suntikan, dan selang-selang yang makin hari makin bertambah banyak jumlahnya.
Sesakit apapun hati Kenan diiris-iris melihat Lena, ia sudah berjanji tak ada tangisan lagi. Sosok Lena yang hidupnya terpuruk tetapi masih saja sukacita cukup membuat Kenan punya semangat hidup. Kenapa harus sedih? Kenapa harus kalah pada keadaan? Pada keadaan Lena juga pada keadaan saat itu dimana suhu udara menusuk tulang. Ia lelah memikirkan masalah karena segalanya takkan ada habisnya.
Esok paginya sebelum ke sekolah ia menyempatkan diri mampir ke minimart terdekat. Ada sesuatu yang harus ia beli dan tak terlupakan juga susu kotak kesukaannya yang baru ia sadari beberapa saat yang lalu kalau harganya memang mahal sekali.
Pantas Sam curiga.

“Kau suka sekali sama susu itu ya? Lagi banyak uang?” tanya Sam curiga.
“Tidak juga. Ada satu boks penuh persedian. Kau mau? Besok kubawa.”
Sam menatapnya heran. “Susu itu sudah disiapkan? Kerabatmu itu benar-benar kaya raya, baik, dan perhatian ya. Aku jadi ingin lihat mereka dan tempat tinggalmu.”
“Hanya rumah biasa saja. Tak perlu dilihat karena bisa kugambarkan.”
“Terdengar seperti sarang lebah.” Sam tertawa sambil duduk di bangkunya. “Oh, kau sudah beli harmonika?” tanya Sam. “Asal kau masih ada niat belajar harmonika, kecuali kalau kau setuju menerima violin Melque.”
“Melque serius?” Tangan Kenan memukul dahi. “Ah, aku lupa harmonikanya. Nanti pulang sekolah ingin sekali aku beli. Toko musik dimana?” tanya Kenan.
“Kau mau pergi bersamaku? Aku ingin beli senar baru sekalian.”
Sebelum Kenan sadar kalau ia hendak mengangguk, ia lebih dahulu terkesiap ketika mengingat kalau ia belanja selalu menggunakan kartu kredit atau kartu debit pemberian keluarga Challysto. Juga, ia teringat sesuatu yang tadi sudah disiapkannya.
“Ah, aku lupa pulang sekolah nanti aku harus ke perpustakaan,” elaknya.
“Perpustakaan? Untuk apa?” tanya Sam yang tidak curiga Kenan beralasan.
“Dari dulu aku suka perpustakaan. Baru kemarin aku tak sengaja menemukan perpustakaan sekolah ini. Besar sekali. Luar biasa. Berbagai macam buku ada.”
Sam tertawa. “Jangan konyol. Sekolah ini seperti istana. Sampai sekarang pun aku tak pernah tahu di mana perpustakaannya.”
Bodohnya anak ini keterlaluan juga… “Maaf, aku memilih perpustakaannya.”
“Tidak apa-apa. Lagipula kita bisa pergi sama-sama lain kali,” jawab Sam mengiyakan dengan santai.
Ia memang tidak peka kalau Kenan sedang membohonginya. Satu hal yang membuat Kenan nyaman berteman dengannya dan bukan dengan Melque dkk. Lebih mudah membohongi anak bloon daripada bocah tukang gosip.

Seperti ucapannya tadi, sepulang sekolah Kenan langsung pergi ke perpustakaan untuk menjalankan maksudnya sendiri, bukannya membaca.
Di perpustakaan besar yang luasnya seperti pabrik Coca-Cola itu, Kenan mencari buku yang menurutnya lumayan normal apabila dibaca anak sepantarannya. Sekembalinya dari menjelajah, ia meletakkan tumpukan buku itu di meja dengan tidak ada hasrat ingin membacanya sama sekali. Hanya basa-basi.
Kenan mulai iseng membuka-buka halaman buku yang penuh dengan istilah Inggris rumit lalu diletakkan lagi. Dengan sengaja ia mengabaikan larangan untuk membawa makanan dan minuman dan dengan sengaja pula menumpahkan sebotol susu strawberry yang tadi pagi ia beli ke meja. Penjaga perpustakaan menghampiri lalu memarahinya.
Satu jam lebih ia terjebak di perpusatakaan untuk membersihkan ulahnya. Begitu usai, ia dapat bonus hukuman merapikan buku-buku yang berantakan. Percayalah, itu makan banyak waktu dan tenaga tapi memang itulah yang ia harapkan. Berlama-lama dengan cara yang wajar sampai semua murid pergi.

Suara pintu terbuka. Kenan tak sempat bersembunyi.
“Sudah kuduga. Ternyata memang kau,” ujar Ryan. Dahinya berkerut.
“Kau langsung lari ke sini begitu mendengarkan suara violinku? Instingmu hebat.” Kenan menoleh. “Jadi, gosip itu sudah sampai ke SMA?” tanya Kenan lagi pada Ryan yang hanya diam memandanginya. “Sampai kau yang anak emas turun tangan.”
 “Tentu saja. Harusnya mereka curiga pada suara yang tiba-tiba muncul beberapa minggu setelah kedatangan murid baru. Kenapa kau jadi ‘The Pernambuco’?”
“Memangnya aku yang menamai diriku dengan nama bodoh itu? Ada yang salah dengan penghuni sekolah ini. Dan mereka saja yang langsung percaya aku tak bisa main musik,” jelas Kenan sewot. “Lalu, kau yang paling mengenal nadaku kenapa kemari? Mau mengiringiku dengan flute atau mau main violin sama-sama?”
Ryan berkacak pinggang. Ekspresinya adalah emosi wajah yang tak pernah Kenan lihat sebelumnya. “Tahu darimana aku bisa main flute? Aku tak pernah bilang apalagi menunjukkannya padamu. Terus, bagaimana kau bisa ambil violin dari ruang kesenian yang selalu terkunci rapat itu?”
 “Tempat itu seperti gudang harta alat musik ya.” Pikiran Kenan memutar kembali memori di saat ia yang sudah tak punya apa-apa menumpang di rumah keluarga Lena yang miskin dulu. “Aku sudah bilang, jangan tanya yang kau sudah tahu jawabannya. Siapa yang tak kenal seluk beluk Ryan Ferliaz Challysto di tempat ini??”
“Jawab sajalah, Ken.”
“Ada satu jendela yang kuncinya longgar. Mudah membukanya dari luar.”
Kaki Ryan melangkah maju untuk mendekati Kenan.
“Kenapa? Kau itu sebenarnya kenapa? Apa yang kau pikirkan? Aku tak mengerti. Aku menghargai mimpi dan tekadmu. Selalu. Tapi dari awal, apa untungnya buatmu jaga jarak dariku? Dari Challysto, Kenan?” tanya Ryan yang akhirnya menumpahkan perasaannya, putus asa untuk mendekatkan diri pada sepupu kecilnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Kenan menyeringai marah. Mata Kenan menyala, melotot melihat Ryan yang warna irisnya sama sepertinya, cokelat madu.
“Jangan bakar amarahku, Ryan Ferliaz Challysto. Aku bukan siapa-siapa yang perlu repot-repot jaga jarak dari kau dan keluargamu. Jangan rusak kesepatakan kita karena emosi sesaat itu. Jadi, aku minta tolong jaga ucapanmu. Tidak pantas.”
Ryan balik memelototi Kenan dan mengabaikan pengusirannya. “Bukan siapa-siapa? Siapa? Aku? Aku sepupumu! Aku kakakmu, Kenan Grace Chall –“
“Diam!!” Kenan melempar bow dari tangannya.
Ryan terlompat kaget karena Kenan berteriak sangat keras. Jeritan penuh emosi yang baru pertama kali ia dengar dari sepupunya yang jadi semakin pemurung setibanya di Inggris.
Ryan menenangkan dirinya sendiri. “Darahmu tak bisa kau tolak, Kenan.” Ryan mulai menguraikan semua yang mengganggu hatinya selama ini. “Dari awal masalah sakitnya Lena, berikutnya rumah, dsb, lama-lama terlihat alasan-alasan yang kau sembunyikan. Kenapa kau menghindari kami? Kenapa kau menolak kami? Apakah sampai saat ini pikiran ‘rasa bersalah, aku hanya anak hilang, aku tidak pantas’ itu masih saja ada di kepalamu sampai kau bisa secara sengaja mengabaikan orang-orang yang sayang padamu? Kenan di hadapanku yang sudah lama kehilangan senyumannya juga sudah kehilangan hatinya ya.”
Kenan diam mematung, menunduk. Wajahnya tertutupi oleh poni.
“Aku tidak peduli pada itu semua, Ferliaz. Dari awal aku memang yatim piatu. Dari awal aku sudah tak punya apa-apa. Hartaku tinggal Lena dan violin.
“Siapapun itu, paman Anderson dan bibi Vani, hanya peduli padaku ketika aku ditemukan mewarisi darah yang sama denganmu. Kalau tidak, aku tetap saja anak yatim piatu yang hidup sebatang kara!” Kenan sudah mendongak dengan gigi gemelatukan. “Satu hal, Ryan. Lebena segalnya bagiku, dia duniaku saat tidak ada siapapun yang dapat kuharapkan. Jadi, hatiku yang ada pada Lena hancur melihat Lena hancur! Kau yang punya segalanya tidak akan mengerti itu!!” Kenan menggertakkan giginya keras-keras. “Uang dan harta keluarga Challysto yang dapat membeli sepertiga Eropa juga tidak dapat menemukan apalagi membeli hatiku yang memang sudah hilang!” ujar Kenan dalam.
Ryan menarik tangan Kenan lalu melayangkan tangannya ke pipinya. Ia menampar Kenan, sepupunya yang ia anggap adiknya sendiri.
“Beli apa katamu!?” tanya Ryan dengan sangat marah. “Otakmu memang makin rusak kena salju Inggris dan obat-obatan rumah sakit yang menguap!”
Kenan memegangi pipinya yang memerah. Ia berhenti bersikap tempramental dan jadi tenang sambil menyusuni semua barang-barangnya. “Ini tempatku, kediamanku, tuan Challysto. Tolong pergilah dengan menutup mulutmu dari Brokeveth, juga Inggris.” Tas di pundak kiri sementara tas violin di lengan kanan, Kenan berjalan pergi menuju pintu. Ia pula masih ingat memungut bow yang ia lempar. Jari telunjuk kirinya menekan-nekan pelipisnya. “Oh iya, kau benar, otakku rusak akibat salju, obat, dan uang-uang yang kalian sodorkan padaku.” Kenan menarik pintu agar tertutup. “Sayangnya uang itu tidak berhasil juga mencari dimana hatiku.”
“Kenan!” seru Ryan sekuat tenaga.
Beberapa detik kemudian ia berlari dan membuka paksa pintu, tapi ia tak mendapati seorang pun di balik pintu itu.
Ryan memegangi keningnya. “Pikiranmu masih saja berbelit-belit. Apa yang salah dengan isi kepalanya? Apa karena terlalu kepintaran makanya anak 13 tahun bisa bicara seperti itu? Mau sampai kamu mau menutup diri, Kenan?” Ryan seperti hendak menahan tangis. “‘The Pernambuco’, sepupuku yang tak mengerti juga disayang.”

|| Sion ||

Tiba-tiba Sion kepikiran. Adakah dari antara kalian yang mencicipi udara Inggris? Naik feriswheel atau lihat gedung yang kaya pickles itu. Hwehehe.

See you next week~

Tuesday, 12 September 2017

SINOPSIS Novel Baru niii

Mumpung lagi buka blog, Sion mau sharing sedikit niii
Novel si Black Lady Violinist tidak terbengkalai kok 0__o
Cuma akhirnya Sion bikin novel baru yang genre-nya thriller-romance, dewasa.
Moga-moga kalau kita ketemu muka nanti kalian tidak mengerling ngeri melihat wajahku dan berkata begini dalam benak kalian, "Gile, anak SMA udah bisa nulis cerita beginian".
Karena novel yang ini sudah tersusun rapi di otak Sion dari sebelum ujian SBMPTN. Wkwkwkwk. Macam mana siswa model begini.

Jadi,,,, ini novelnya mau dibikin sekuel, dua buku.
Ini sinopsis dari buku yang pertama, mohon komentarnya :) Sankyu~



“Sebab Kejahatan ada di kediaman mereka, ya dalam batin mereka”

THOSE IS YOUR HEART

Kebohongan tidak pernah TELEDOR untuk menutupi kebenaran. Hanya di MATA AMBER Jane Whalon dan sukunya berpendar ‘BAYANG-BAYANG’ hitam baik hati yang sukarela MENYUARAKAN kejujuran terpendam dari hati seseorang. Sekalipun itu kejahatan. Seolah-olah ‘bayang-bayang’ itu hidup, mereka terus menjeritkan hal tabu yang berusaha ditutup-tutupi manusia. Agar mereka terlihat baik?

Wakil kepala dari departemen kepolisian, Raquell A. Lafleur. Terkenal perfeksionis, tajam, ditakuti, dan pembawaannya serius. Di bola mata Jane, Raquell satu-satunya manusia biasa yang pernah ditemuinya tidak memiliki si ‘bayang-bayang’ hitam.
Apa kau cyborg yang diprogram untuk mengadili kejahatan? Apa kau bukan manusia yang tidak punya satu hal pun yang dipendam di dalam hati, sehingga tak ada satupun jeritan hatimu terdengar olehku? Siapa kau?

Domba yang terhilang, Jane Whalon. Warga sipil yang bagi Raquell dinilai cukup bego dan mencurigakan. Kemunculannya di TKP mengacaukan fokus kerjanya. Pertama kali dalam hidupnya ia menemukan seseorang yang mampu menaklukan keras hatinya.
Apa yang disembunyikannya? Mengapa dia selalu bisa melarikan diri dari kumpulan polisi terlatih yang kuutus untuk mengejarnya? Padahal ekspresi wajahnya begitu tolol setiap kali dia ketakutan ketika melihat mayat. Siapa kau?

Tak ada kasus kejahatan yang tak terselesaikan di tangan Raqeull A. Lafleur. Semua menjadi bersih tak berbekas di bawah kendalinya. Namun, hanya satu ini,  pembunuhan berantai yang tidak segan menghabisi nyawa manusia bermata amber. Semua berubah ketika Raquell akhirnya menyadari bahwa Jane yang dicurigai sebagai pelaku ternyata hanyalah target yang terhilang dari si pembunuh. Target yang terus diincar hingga ke ujung bumi.

|| Sion ||

Chapter 13!!

Maaf ya, Sion pusing ngerjain skr*psi. Ehehe~
Mohon doanya buat wisuda Sion ya. Pusing ngerjain jurnalnya nii *__*

Nah, terima kasih ada pembaca yang mengingatkan untuk update tulisan Sion. :)
Makasiiiii telah menantikannya :D

Tapi tapi tapiii, sebelum Sion update, tiba-tiba teringat untuk bahas angka 13 niii.
Menurut beberapa kepercayaan, angka 13 itu angka pembawa sial.
Bahkan hampir gak pernah lihat ada rumah nomor 13 atau lantai 13. Tiba-tiba muncul deret nomor baru yang gak sesuai EYD ya, 12-a 12-b terus 14. Kreatif sekali....
Nah, menurut kepercayaanmu gimana??
Hehehe

Okey deh, Sion lanjut yoo, monggo dibaca ^^b


Chapter 13


Sehabis bangun lebih siang karena hari libur, Kenan menguap lebar. Ia berguling malas di kasur. Namun, kantuknya lenyap waktu terdengar suara pelayannya sedang berbicara dengan siapapun itu. Hatinya resah mendengar dialog-dialog di luar kamarnya karena mungkin saja yang dibicarakan ialah nonanya yang malas di hari libur. Itu memalukan.
Mata Kenan tertuju pada jam dinding. Jarum panjangnya terus bergerak ke angka 8:12 AM. Selimut dilemparnya, sekejab ia sudah di kamar mandi. Meski mandi bebek, yang penting ia harus cepat pergi dari sana sebelum Ryan datang!
Dalam lima menit Kenan menyelesaikan acara mandi dan berpakaian. Tak dipikirkan lagi rapi tidaknya, cocok tidaknya, lapar tidaknya.
Pintu Kenan buka lebar-lebar dan berharap bisa segera pergi sebelum harapannya musnah. “Hai, Kenan! Selamat pagi!” sapa Ryan senang. Kenan mengerang. Tas yang dipakainya dijatuhkan ke lantai. “Ada masalah, Miss?”
Kenan mendongak setelah merenung dan menyesal. “Ini baru jam setengah sembilan! Kenapa sudah datang!?” seru Kenan kesal.
“Kami malah sudah datang dari pukul setengah delapan. Kenapa? Kau kecewa?" goda Ryan. Rasanya kepala Kenan sudah berasap.
“Kamu bohong kalau Kenan perginya siang-siang, Ryan?” sela bibi Vani
Ryan mengabaikan mamanya. “Waduh, masa? Lagipula sepupu kita yang cantik ini sekali-kali harus ikut pertemuan keluarga, kan?”
Paman Anderson tertawa dari kejauhan.
“Anak bapak sama saja!” gerutu Kenan yang sudah keberapa kalinya.
Kenan mengehela nafas panjang-panjang supaya Challysto sekeluarga tahu ia sedang kesal. “Terserahlah. Pantas saja daritadi pagi sudah bising–bodohnya aku tak kunjung sadar,” ujar Kenan menyerah sambil beranjak ke kursi di meja makan dan berkumpul.
Have a breakfast, Miss?” tanya si pelayan padanya.
Tangan Kenan diletakan di meja untuk menopangkan dagunya.
“Kalian sudah makan? Datang pagi-pagi ke rumah orang sebelum yang punya bangun. Hebat sekali,” sindir Kenan terutama pada Ryan. Ia malah tertawa. “Oh, thanks pada tuan tanah yang memberikan rumahnya padaku,” timpal Kenan.
Keluarga Challysto sekalian tak ada satu pun yang termakan sindiran pedas Kenan lalu marah. Parah sekali rasa pede mereka ini.
“Makan apa saja yang Kenan mau,” kata bibi Vani santai dari ujung meja.
Kenan berbicara pada pelayannya yang masih bertengger di sebelahnya, “Ya, thank you. Any sort of menu which would to be served,” jawabnya tanpa kata sir lagi. Sang pelayan mengangguk dan ia pergi ke dapur. Mata Kenan terfokus kembali pada orang sekeluarga di hadapannya itu. “Ngomong-ngomong kenapa kalian bisa masuk? Kalau kalian sampai terlihat publik masuk ke rumahku –“
 “Ya ya, Nona. Bosan aku mendengarnya. Tenang saja, kami pakai mobil biasa kok.” ‘Biasa’ seperti apa? “Dan masuk ke halamanmu yang besar itu begitu saja. “Kenapa bisa masuk? Pelayanmu yang mengijinkan. Oh ya, kau tak tahu ya kalau keluarga Reamer pelayan setia keluarga Challysto selama bertahun-tahun.”
Alis Ryan terangkat sebelah. Wajah meledeknya kentara sekali.
Ya benar. Ryan tidak akan sembarangan menempatkan orang di rumah yang dibelikannya untukku. Kenan merenung dalam hati sedikit bersyukur. 
Kenan meneguk segelas air yang sudah tersedia di depannya. “Jadi, ada keperluan apa ke sini? Kalau cuma iseng, sekarang juga aku pergi.” Ia menyelak.
Ryan tertawa senang. “Asyik sekali ya punya adik perempuan yang langsung ngomong tanpa basa-basi ini.”
Paman Anderson yang daritadi diam langsung mengawali perbincangan serius. Gayanya seperti menteri hukum di rapat parlemen.
“Kami benar tak tahu apa-apa karena datang sangat terlambat dan tantemu yang paling kaget soal kau dan rumah ini. Kamu tinggal sendiri padahal masih 13 tahun. Jadi, tak ada salahnya berkunjung ke tempat keponakan cantiknya, ‘kan?”
Raut wajah paman Anderson begitu senang ketika ia mengatakan itu. Sepertinya ia ingin punya anak perempuan. Apalagi anak lelakinya tak berguna.
Ryan tertawa lagi. Apa sih yang dia tertawakan? Kulempar juga sepatuku.
 “Jadi kami gak bakal diusir, kan?” goda paman Anderson.
Tak terasa bibir Kenan merekahkan senyum tanpa sekehendaknya.
“Tidak juga. Terima kasih perhatiannya, Paman. Bibi juga. Tante juga.”
“Jadi, apa kau senang dengan rumah ini, Kenan?” tanya bibi Vani. Kenan mengangguk. “Jangan sampai lupa makan. Nanti bisa mati beku.” Kenan tertawa geli. “Juga, jangan lupa kembali ke rumah ya, Sayang. Vincent tahu jalannya.”
“Kalau ada waktu atau acara keluarga pasti aku ke sana, Bibi. Kalau hari ini tidak karena aku tak mau bersama-sama dengan anak laki-laki yang cakep itu.”
Ryan kegeeran, cengar-cengir mirip cihua-hua diberi whiskas.
“Oke, oke. Lebih baik makan dulu,” perintah paman Anderson pada mereka semua karena sarapan sudah disiapkan.

“Memangnya tadi kau niat kemana sambil bawa-bawa violin?” tanya Ryan setelah piringnya bersih duluan. “Di sini kan tidak ada tebing curam seperti di dekat rumahmu dulu.” Kepala bibi Vani tegak ketika mendengar kata ‘curam’.
“Menurutku tanpa bertanya juga kau tahu,” jawab Kenan to the point.
Mata Ryan lirak-lirik. “Hmm, kupikir kau mau jalan-jalan dengan mobil.”
Garpu dan pisau Kenan letakkan di piring. Kenan berhenti makan dan kepalanya tertunduk. “Aku bukan orang yang bisa senang-senang dengan harta yang berlimpah sementara ada orang lain yang hanya bisa berbaring di ranjang dengan seprai dan selang-selang sebagai teman main.”
Ryan tertegun, menyesal menanyakan pertanyaan itu. “Ma, maaf, Ken. Aku boleh ikut kau untuk menjenguk?”
Kenan mendongak. “Dan membuat fashion show keluarga Challysto di rumah sakit? Tidak terima kasih. Pulang saja kau,” usir Kenan.
Ryan mulai mencandai sepupunya lagi. “Aih galaknya.” Ia mengangkat alisnya. “Soal itu santai saja. Ada cara jitu untuk mengelabui orang-orang.”
Tangan Kenan mengangkat garpu dan pisaunya lagi. “Taktik yang sama seperti saat kau menyiasati orang-orang untuk masuk ke rumahku.”
Begitu selesai sarapan, mereka semua masuk ke mobil yang dikatakan biasa oleh Ryan. Tak Kenan sangka kalau mobil itu memang biasa sekali untuk ukuran mereka. Kalau di Indonesia, mungkin bisa dikatakan hanya mobil Inova atau Xenia. Lalu mobil pun melaju dengan tenang tanpa ada seorang pun memperhatikan.
Begitu memasuki tempat parkir rumah sakit, mereka beraksi dengan penyamaran luar biasa absurd-nya. Bibi Vani memakai coat panjang, topi lebar, dan kacamata gelap sementara paman pakai kacamata gaya lama dan ganti coat yang terlihat seperti dibeli di pasar loak dengan banting harga. Ryan–ini yang paling ngaco–ganti baju gembel, rambut diacak-acak, bertopi baseball, lalu pakai headphone di leher, persis anak sakau.
Mereka mau lomba stand-up comedy keluarga atau mau cosplay? Pasti ulah Ryan. Konyolnya, kenapa paman dan bibi mau-mau saja dikerjai putranya??
Mereka kemudian melenggang santai memasuki koridor National Hospital of Neurology dengan sopir ikut berbaur. Tak Kenan sangka cara aneh bin ajaib seperti di FTV itu ampuh. Mereka benar-benar selamat tanpa seorang pun curiga hingga tiba di kamar Lena. Satpam yang jaga pun hanya mengira keluarga aneh itu seperti keluarga pinggiran kota yang hendak mengunjungi kerabatnya yang sedang operasi usus buntu atau wasir.
Ketika paman Anderson membuka pintu, Lena yang melamun menatap ke kaca jendela menolehkan kepalanya pada mereka yang menjenguknya beramai-ramai. Ia awalnya berpikir kalau mereka sekumpulan badut penghibur yang disewa Kenan.
“Kenan? Mama syudah syampai?” tanya Lena bingung. “Kalian syama syiapa?”
Begitu pintu ditutup, semua langsung melepaskan penyamaran konyol itu. Lena pun terkejut. “Eh? Lyan, om, tante?”
Ryan tersenyum. “Yo. Sudah lama gak ketemu, Len. Gimana Inggris?”
Lena tersenyum lebar. Kenan melihat ke arah lain dengan sedih. “Mungkin lain kali kau bisa ke sini lagi karena dia hanya punya aku,” gumamnya pada Ryan. Sebenarnya Kenan pribadi tak berharap Ryan mendengar. Itu hanya ungkapan sedihnya.
“Ya,” jawab Ryan. Ryan berjalan menarik kursi ke dekat Lena. “Kabarmu baik? Kangen juga sama anak yang rada bloon kaya kamu. Kenan orangnya terlalu serius sih.”
Lena cekikikan mendengarnya. Kenan yakin mereka itu pinang dibelah dua.
 “Aku gak tau Ingglis di lual kaca ini. Aku juga tambah bloon kalena gak syekolah lagi.” Lena tertawa-tawa. “Di syini syemua orang ngomong bahasya Ingglis. Aku gak ngelti.” Kenan mendekat lalu duduk di ranjang Lena dan mendengarkan.
“Belajar dong!” seru Ryan.
“Gimana belajalnya? Memangnya di syini ada kamus? Nonton televisyi aja bahasya Ingglis. Novel, komik, bahasa Ingglis syemua! Aku pastyi waktu itu syengaja dijatuhkan dali pesyawat.” Lena merengut. Kenan mengeluarkan bekal dari tasnya yang sudah ia siapkan dari semalam untuk saat yang tepat seperti itu. “Hehe, thanks.”
Ryan penasaran dengan isinya. “Apa itu? Kok gak bagi-bagi?” Kenan menjejalkan sepotong sandwich ke mulut Ryan. “Enak.”
“Enyak, kan? Ini buatan Ken syendili loh!” seru Lena bangga. Bibi Vani, paman Anderson, dan tante Merry yang hanya diam mendengar juga tersenyum. “Oh ya Ken, minta syatu lagu dong, apa aja,” pinta Lena pada Kenan. “Hehe. Ken jangan marah ya.”
Kenan tersenyum lalu menggeleng. Tanpa bicara sepatah kata pun atau berpikir hal yang muluk-muluk, Kenan mengeluarkan violinnya dan meletakkannya di pundaknya. Mata paman Anderson terpaku padanya karena ia tahu ia ingin sekali mendengar lagi permainan violin dari putri adiknya.
Kenan berusaha mengingat lagu. “Tschaikovsky: Dance of the Reed Pipes.”
“Kau halus dengal,” pintanya sambil menarik lengan Ryan lebih mendekat. Lena menunduk sambil tersenyum. “Balbie Nutclackel suite. Apa aku bisya bebas menjelajah syepelti yang dilakukan putli syugal plum kalau aku syudah syembuh nanti?” tanya Lena membuat tante Merry dan bibi Vani sedih.
Tuhan, tolong aku. Aku mau sembuh,  ujar Lena dalam hati merasa sedih.

|| Sion ||

Mari kita ngobrol~~
Ada yang tahu lagu "Dance of the Reed Pipes"?
Ada yang main game Piano Tiles?
Coba deh mainin lagu ini. Kekeke