Thursday, 2 November 2017

Chapter 16 :D

Hye... gak kerasa bentar lagi tahun 2017 udah mau habis aja ToT
Kalau dipiki-pikir, selama setahun ini apa yang udah Sion lakuin ya? Hiks...
Kalau tiap akhir tahun mikirin resolusi buat awal tahun dan tiap tahun mikir kalau resolusinya terlalu mustarab, gitu aja terus sampe lebaran monyet..

Ah, mudah-mudahan novelku tidak boring.
Sion lanjutin aja ke chapter 16 yaa


Chapter 16


Hari itu tanggal 28 Desember di Inggris. Jalanan penuh dengan sisa-sisa hiasan natal. Kegiatan tetangga Kenan juga masih dipengaruhi hawa-hawa natal sementara ia tidak peduli dan memilih meringkuk di tempat tidur. Yang dapat ia kerjakan dengan otak mampet adalah merenung soal Lena akibat Melque.
Tiba-tiba ponsel Kenan berbunyi dan masuk satu pesan dari orang yang ia lupa kapan mereka terakhir bicara.
Hi Ken. Merry Christmas. Kau diundang ke pesta perkumpulan pemusik di Overtune Hall. Mom and Dad, dan tante Merry ingin kau datang. Jadi, ini permintaan mereka, not me. Mereka jago mendadani orang lain jadi tak dikenali (seperti permintaanmu yang bawel).  Please, datang jam 8 ke rumah.
Ponselnya Kenan sembunyikan di bawah bantal–supaya tidak berdering lagi lalu ia merentangkan badan. Matanya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Sekali lagi ia tak punya niat tapi sekali lagi pula ia tersadar tujuannya datang ke Inggris dengan melalui Lena yang hampir dikorbankan.

Mobil Kenan memasuki halaman besar rumah keluarga Challysto. Setelahnya, mobil Kenan yang tak kalah mewah dengan manor house megah di Timur Laut kota London itu diparkirkan di carp-port yang muat menampung 6 mobil.
“Syukurlah kau datang.” Bibi Vani dan tante Merry menyambut Kenan.
Kenan mengangguk. “Kalau aku tak datang, kalian pasti juga tidak.
Bibi Vani tertawa kecil. “Pasti, ‘kan? Yang penting kau. Ryan sudah berangkat duluan tanpa bilang apa-apa. Jadi, ayo ke kamarmu,” ajak bibi Vani.
Tante Merry jalan mendahului. Pintu kamar Kenan dibuka, menunjukkan isinya yang masih sama seperti saat ia tinggalkan dua bulan lalu–dua hari pertama di Inggris. Ia didudukkan di kursi yang terakhir ia pakai untuk meringkuk. Satu hal yang beda, meja yang dulu kosong sekarang penuh dengan peralatan make up.
Melalui kaca Kenan memandangi tante Merry. Beliau yang daritadi mengurusi rambut Kenan kalut ketika matanya bertemu dengan mata Kenan.
“Di sana aku berperan sebagai siapa?” tanya Kenan tanpa basa basi.
“Ehm, terserah Kenan saja maunya siapa,” jawab bibi Vani santai.
“Ya, sudah. Seperti biasa saja ya.”
Bibi Vani menghela nafas panjang pasrah. “Ya, terserah Kenan saja.”
Tante Merry mengerutkan dahi karena jawaban Kenan. Ia lantas menatap Kenan lewat cermin dalam diam. Beberapa saat kemudian ia beranjak ke depan lemari pakaian lalu mengambilkan sebuah dress panjang warna merah muda berenda di sana sini lalu mengatarkannya ke bibi Vani. Bibi Vani mengangguk dan siap membuat Kenan memakai pakaian semerbak renda serta petticoat itu.
“Pas kan?” tanya bibi Vani ke tante Merry, dijawab dengan anggukan dan senyuman kecil. Kenan mengerti maksud senyuman sarat makna itu.
Kenan menyela. “Kalau pakai ini aku bisa mati kedinginan nanti, Bibi.”
Bibi Vani tertawa geli. “Ada coat yang nanti kamu pakai dan dilepas di dalam hall. Ada penghangat ruangan di sana. Jadi, gak ada yang perlu mati dengan bibir ungu.” Tante Merry ikut-ikutan tertawa dengan pernyataan Kenan.
“Kalau gitu kamu berangkat duluan ya. Vincent tahu jalannya.”
Memangnya ada yang Vincent tidak tahu, ya? pikir Kenan.
“Kami mau ganti pakaian dulu. Oh ya, di bawah ada Rose, lanjut bibi Vani.
Telinga Kenan naik, merasa sumpek dengan nama itu.
“Tante Merry,” panggil Kenan ketika bibi dan tantenya mulai beranjak pergi.
Tante Merry menghentikan langkahnya dan menengok ke arah Kenan.
“Soal Lena kemarin, aku benar-benar minta maaf,” pinta Kenan menyesal.
Tante Merry yang daritadi membisu saja akhirnya berbicara. “Sudahlah, Kenan. Itu bukan salah siapa-siapa, hanya kecelakaan,” jawab tante Merry sambil tersenyum lembut. Meskipun Kenan tahu beliau sedang bersikap lapang dada.
Kenan mengangguk berat lalu pergi ke lantai satu setelah mereka.
Sampai di ujung tangga ia menemukan orang yang sudah lama sekali tak ia jumpai dan ia harapkan lebih lama lagi tak perlu dijumpai.
“Hai, Rose,” tegur Kenan ketika ia melaluinya.
“Ya?” Rose berhenti lalu menoleh. “Ehmm.. I am sorry..., who are you?"
Kenan merasa lega dengan pertanyaan itu, yang berarti dandanan ala bibi tantenya benar-benar mujarab.
“Kenan. Kenan Grace,” jawab Kenan singkat.
Butuh waktu cukup lama bagi Rose untuk mengolah data-data di kepalanya yang korslet. “I am not recognize you anymore! Where do you live, Miss? Why do not you stay in here?” tanya Rose senang.
There is a lot of problems. Then, please forgetting all about me, all about this affair, Rose. You have apparently adequate to remember just someone called Kenan Grace.”
Sejenak beradu mata, berikutnya meninggalkan Rose dalam kebingungannya sendiri. Ia mematung sampai Kenan berada di sebelah Vincent untuk meminta mantel.
Miss!? What is this sense? What is your plan to talk like that!?seru Rose berselang beberapa detik setelah Kenan menuruni tangga menuju garasi.Miss!!

Dalam mobil yang menderu sepanjang perjalanan, Kenan memainkan renda-renda rok gaunnya yang bertumpuk-tumpuk bak seprai. Merah muda adalah warna yang memuakkannya. Hanya saja, merah muda lebih baik dibanding putih di luar mobil layaknya semenanjung himalaya. Sepanjang itu Kenan diam dan tiba-tiba saja pintu sudah terbuka. Pelayannya yang sopan mengagetkan dirinya ketika kepalanya menyembul masuk ke mobil sementara tangannya terulur.
Beberapa saat ia memandanginya, berpikir harus berbuat apa. Barulah ia ingat kalau ia harus keluar, menghadapi dunia baru yang akan mengubahkan hidupnya selamanya. Kenan memilih mengulurkan tangannya, keluar dari mobil.
Kenan mendongak ke bangunan Overtune Hall di pusat City of London, sebuah ballroom raksasa. Vincent mengucapkan kata ‘Miss’ sampai dua kali, baru perhatiannya beralih lalu mulai berjalan masuk. Dalam sekejab perhatian massa tercuri. Tentu saja ia jadi sasaran gosip karena wajahnya asing ditambah butler di samping.
Pintu dibukakan petugas penjaga pintu bagi Kenan–dan tentu untuk Vincent yang setia mengekor pula–dan ia masuk ke dalamnya. Suasana pesta yang ‘baru’ pertama kalinya terasa riuh di hadapannya. Memulai petualangannya, ia teringat untuk melepaskan mantelnya lalu menyerahkannya pada Vincent.
“Terima kasih.” Nada Kenan sedatar jalan tol. “Kau di sana saja, Vincent.”
Sikap arogansi Kenan timbul bukan karena disengaja tapi karena ia tak punya lagi ekspresi lain yang bisa ditampakkan dari dirinya yang selalu kepikiran tentang Lena. Vincent yang selalu sopan mulai paham pada perasaan asli nonanya.
“Seperti yang Nona minta.
Fokusnya kembali pada tempat itu. Rasanya hanya ia satu-satunya kambing congek diantara kerumunan pemusik-pemusik lihai. Sementara kakinya berjalan pelan-pelan semakin ke dalam, kepalanya tetap tidak berhasil memikirkan apa-apa.
“Hai!! Kau siapa? Aku yakin aku baru pertama kali melihatmu,” sapa seorang anak perempuan, tiba-tiba menghadang jalannya.
Kenan mendongak, memperhatikan, menilai, dan menimbang-nimbang untuk memberikan jawaban. “Ana Alexa. Salam kenal,” tukasnya santun.
Anak perempuan itu terlihat girang. “Namaku Stella Cadénte, dari SMA Brokeveth. Salam kenal.” Ia menyentakkan kedua tangan Kenan. “Kau memang orang baru yang menarik. Aku tak pernah salah menilai orang, kau beda dari semua pemusik baru atau orang kaya baru lain. Jadi, kau dari keluarga mana?”
Kenan pura-pura berpikir. “Aku hanyalah anak yatim piatu yang bisa ada di sini karena kerabat jauhku akhirnya menemukanku. Mereka keluarga pemusik dan katanya aku punya bakat,” sahut Kenan dengan jawaban yang sudah terekam di kepalanya.
“Begitukah? Latar belakangmu keren!” Gadis itu bersorak-sorak kecil. “Aku pemain harpa. Kalau kau? Oh, ayo ikut aku mengelilingi tempat ini!!”
Stella menarik tangan Kenan tanpa persetujuan ke sana kemari. Ia orang yang ceria seperti Sam–dan bawel seperti Melque. Pula, ia tidak segan dengan orang yang pertama kali ia temui. Ia mengenalkan Kenan pada teman-temannya yang rata-rata sekolah di SMA Brokeveth. Jarang ada anak dari SMP Brokeveth di sini. Mungkin usia 12-14 tahun belum waktunya debutante[1]?
“Kau mau teh, Alexa?” tawar Stella. Kenan menggeleng sambil mengucapkan terima kasih. “Berapa usiamu? Kelihatannya kau lebih muda dariku tapi kelakuanmu dewasa sekali. Aku kagum pada sikap cool-mu. Kau bisa cepat terbiasa pada tempat ini sementara aku butuh satu setengah tahun lamanya!”
Stella meneguk tehnya sementara mata Kenan menjelajahi hall. Sebenarnya, tak satupun objek yang menarik perhatian dirinya. Apalagi Stella tetap saja merepet meskipun hampir tak ada pertanyaannya yang ditanggapinya.
Cadénte,” panggil Kenan.
“Panggil Stella saja,” sahutnya. “Kenapa?”
Kenan berpikir sejenak. “Sebenarnya ini tempat apa? Ini pesta apa?”
Stella meletakkan cawan tehnya. “Kau berhasil membuatku mati kutu dengan satu pertanyaanmu. Kalau kau tak tahu, kenapa kau datang?” Kenan mengangkat bahunya. Stella cekikikan. Mana undanganmu?” Tangan kanan Kenan mengangkat undangan yang disimpannya. “Jadi, kau intip saja tidak, ‘kan.”
Tidak penting.”
Stella nyengir. “Aku tahu, tempat ini memang tidak menarik bagimu. Yah, bagiku juga. Bagaimanapun, pesta ini adalah momen penting bagi pemusik baru. Debutante, kau tahu ‘kan artinya? Tujuan utamanya adalah industri musik.”
“Soal bisnis?”
“Begitulah.” Stella mengangguk. “Jadi, darimana kau dapat undangan itu dan siapa kerabatmu?” Kenan tak mau jawab. “Manfaatkanlah, Alexa. Undangan itu jadi kesempatanmu mengenalkan diri pada dunia musik yang keras ini.”
Ingatan kecil menyakitkan yang jadi alasan ia ada di tempat itu terngiang di kepalanya. “Tentu. Aku paling mengerti kalau dunia ini bukan untuk senang-senang.”
Stella tersenyum sedih. “Oh ya, kau belum kukenalkan dengan tamu utama di pesta ini, ‘kan? Ayo!!” seru Stella semangat ketika teh yang diminumnya habis.
Kenan terpaksa ikut Stella karena tangannya dicengkeram. Dengan lihai Stella menembus kerumunan para lelaki berjas yang sedang asyik mengobrol. Meskipun Stella menubruk satu per satu orang tapi tak ada satu pun yang protes atau memaki. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan sikap Stella.
Lama diseret-seret, tiba-tiba Stella berhenti. “Ini tamu utamanya, pianis dari keluarga Challysto yang terkenal. Teman sekelasku, Ryan Ferliaz Challysto.” Kenan menengadah. Mata Ryan melihat sepupu kecilnya dengan tanpa berkedip. “Ucapkanlah sesuatu pada Alexa!” pinta Stella sambil menyentak siku Ryan.
Ryan menatap Kenan heran. Ia tahu Ryan tak mengenali sepupunya lagi tapi ia kenal Vincent–yang ada di dekat pintu sana. Jadi, ia masih merenung kata ‘Alexa' dari Stella.
“Salam kenal, Sir. Aku Ana Alexa. Aku hanyalah anak yatim piatu yang bisa ada di sini karena kerabat jauhku akhirnya menemukanku. Mereka keluarga pemusik dan katanya aku punya bakat,” salam Kenan dengan perkataan yang sama seperti yang ia katakan pada Stella tadi.
Stella tersenyum sementara Ryan bingung harus jawab apa. Sayangnya, waktu tak mengijinkan untuk kalut lama-lama kalau tak mau semua orang curiga.
“Ehm, salam kenal. Ryan Ferliaz dari..., keluarga Challysto,” jawab Ryan ragu. Ryan berbicara sambil menunduk karena tak berani menatap mata Kenan yang memandangnya datar. Semua teman-temannya menatapnya, begitu juga Stella.
Apa lagi ulahnya ini. Matamu yang kemarin masih lebih baik daripada sekarang yang dingin dan tak punya perasaan lagi. Apa kau mau masuk ke dunia musik ini dengan wajah seperti itu, Kenan?? Mana musikmu yang ceria dulu untuk Lena?


[1] Pengenalan gadis muda dari keluarga terhormat ke masyarakat kelas atas untuk yang pertama kali

|| Sion ||

Thursday, 12 October 2017

Chapter 15

Halow... konbanwa :D
Sion mau minta maaf kalau update ini chapternya kelamaan ya?
Lepi Sion rusakToT gak bisa nerima sinyal wifi makanya gak bisa update. Hiks hiks.

Hmm... adakah seseorang yang mau memberika ide suatu nama? Nama suatu negeri fantasi seperti "Narnia".
Siapa tahu kalian punya suatu nama yang kebayang-kebayang terus dimana pun, bahkan sampai di tempat suci tempat mengejan pagi-pagi. Wkwkwk
Sion berharap komennya ni. XD
Itu beneran buat novel berikutnyaaaa. Hehehe

Jadi, ini lanjutannyaa~~

Chapter 15


Hari-hari berlalu sejak Kenan dan Ryan saling berteriak–bonus tamparan Ryan kepada Kenan–di atap gedung SMP Brokeveth, mereka tak pernah komunikasi lagi. Itu sudah tiga minggu sejak hari itu dan kehidupan Kenan di Inggris tetap berjalan monoton. Ia tak tahu lagi mau dipermak jadi seperti apa hidupnya itu. Setiap hari hanya penuh kesendirian, ratapan, tanpa pengharapan.
Kenan duduk menggulung di kursi di kamarnya sambil menatap ke luar. Matanya yang sendu melihat dunia dengan tatapan letih.
Sebentar lagi tahun baru. Meskipun libur dan ada banyak uang, aku tak butuh semua itu kalau Lena tidak bisa berlari-lari lagi di sampingku. Cuma salju itu temanku di sini. Mata Kenan terpejam. “Inggris jadi tempat menyedihkan untukku atau memang aku yang menyedihkan? Ah, keduanya sama saja.” Kenan menguap lalu tertidur.
Esok paginya langit mendung dan sangat gelap. Salju turun lebat sampai-sampai jalanan tertutup es hingga setengah betis orang dewasa. Sebagian jalan raya sudah dibersihkan mobil pembersih salju, halaman rumah Kenan juga sudah bersih dari tumpukan es. Pelayan Kenan, Vincent, sudah bersiap memasangkan rantai pada roda mobil di garasi dan meminta nonanya untuk naik pergi ke sekolah dengan mobil itu. Jelas Kenan menolak melalui perdebatan panjang antara dua orang yang keras kepala.
Dengan sepatu boot tinggi Kenan menempuh jalanan bersalju ditemani Vincent–dalam hal itu, Kenan yang kalah. Sepanjang perjalanan ke sekolah, Vincent memayungi nonanya di sepanjang perjalanan sementara dirinya hanya terlindungi setengah payung. Di dalam bus pun ia senantiasa seperti patung di sebelah Kenan, tak peduli sebanyak apa pun mata memandanginya. Jari jemari Kenan sudah gatal ingin menggaruk wajah Vincent yang melenggang santai di sampingnya sambil pamer baju tail-coat­. Alasan apapun untuk pakai baju lain benar-benar mental darinya.
Sampai di kelas–Vincent langsung diusir, Kenan tiduran di mejanya. Ia harus bersikap cuek pada anak-anak borjuis yang perhatiannya terang-terangan padanya.
Aku tahu pasti ada yang salah dengan bawa-bawa pelayan berekor dua.
 “Hei hei hei! Siapa itu tadi? Kepala pelayankah? Kau punya butler?” tanya Melque berulang-ulang di depan muka Kenan.
Satu-satunya orang yang Kenan sama sekali tak mau dapat perhatiannya adalah anak itu yang tukang gosip. Rasanya telinganya ada dimana-mana. Belum lagi pengikutnya yang numpang nimbrung gosip itu berderet panjang.
Kenan akhirnya kalah dari persaingan untuk mengabaikan Melque, “Kalau iya memangnya kenapa? Kau berisik sekali, Mel.”
Terdengar suara ‘oh’ yang kompak di kalangan perempuan.
“Kau orang awam? Aku tak percaya,” tukas Melque dengan mata tercenggang. “Apa kau sama sekali tidak tahu kalau yang punya butler di sini hanya keluarga yang amat teramat kaya? Keluarga yang kayanya biasa saja seperti kami–termasuk Sadykova–takkan punya!! Siapa kerabatmu yang mengalahkan kekayaan keluarga Consta itu, sih??” tanya Melque terus berusaha untuk mengorek informasi yang disembunyikan secara rapi oleh Kenan.
Kenan yakin kalau Melque akan mulai mencari kebenaran dari kebohongan murahan yang ia buat akibat kejadian terpaksa barusan–hanya karena kalah berdebat dari seorang kepala pelayan.
“Mana kutahu. Aku tak pernah bertanya sekalipun. Itu cuma pelayan yang dititipkan sementara padaku,” jawab Kenan singkat lalu pura-pura tidur. “Pergi kau.” Melque menarik-narik paksa tangan Kenan tapi Kenan sendiri tetap bersikeras tak mau bicara dengannya.

Saat pulang sekolah, Kenan ambil langkah seribu dari perhatian masal. Sekaligus kabur dari ulah Jerish Consta dan Melque akibat kejadian butler pagi tadi. Kenan lari menembus tumpukan salju. Ia berjalan kaki sampai rumah sakit dan hanya berpikir untuk bertemu Lena lebih cepat. Tak ada yang lain.
“Hai Len, bagaimana kabarmu?” tanya Kenan pada Lena yang memandangi jendela tanpa mengedip dalam dua puluh detik.
Lena merespon cepat ketika mendengar suara Kenan. Ia menjerit-jerit senang. Tetap seperti anak cacat mental yang dulu. “Hai Ken!! Aku khawatil kalena kemalin kau tidak datang. Aku pikil kau kenapa-kenapa!”
Kenan menarik dirinya untuk duduk di samping Lena.
“Pasti kau lihat dari kaca. Aku minta maaf karena salju yang lebat, aku tak diijinkan keluar oleh pelayanku. Aku bahkan jadi bolos sekolah.”
Lena melirik ke arah kaca jendela. “Memang. Kacanya juga jadi dingin syekali.” Tangan Lena yang memegangi kaca bergetar. “Oh ya, kau punya pelayan? May you told me about that?Kenan terkesiap karena Lena tiba-tiba bicara dalam bahasa Inggris. “I think syomeone at thele wanna heals that too, doesyn’t you?”
Badan Kenan tersentak. Kepalanya cepat-cepat menoleh ke arah yang ditunjukkan mata Lena, ke depan pintu kamar. Kenan langsung berdiri dan kakinya segera berlari keluar kamar untuk menangkap tikus yang mengintip sebelum ia kabur.
“Melque!?"
Melque jatuh terduduk karena tiba-tiba Kenan menyentakkan pintu.
I’m so sorry, Kenan! I just curious about you, especially about your butler! Forgive me because I’m following you!” pinta Melque sebelum Kenan berkata apa pun.
Amarah Kenan sebelumnya lenyap ketika melihat Melque mengaku sendiri tanpa paksaan. Apalagi ia tampak ketakutan setengah mati dengan tangan di atas kepala seperti terdakwa yang ditangkap polres karena ketahuan mencuri semangka tetangga.
Up, Melque,” perintah Kenan.
Melque dengan takut berdiri pelan-pelan. Kenan menariknya ke dalam kamar Lena. Mungkin lebih tepatnya menyeretnya.
Mata Lena bersinar-sinar karena senang. “Kenan’s classmate? Thanks fol coming hele!” seru Lena senang dengan aksen cadelnya akibat penyakitnya.
Kau masih tetap polos. Mata yang berbinar-binar melihat seseorang berkedok teman sekelas. Padahal hanya seorang penguntit. Kenan melirik Mel setengah geram.
Awalnya Melque tersenyum terhadap sambutan Lena. Seperti yang diduga Kenan, senyumnya menguap seketika begitu melihat tumpukan selang, obat-obatan, monitor, infus, dsb, yang menempel di tubuh Lena.
Grace,” panggil Melque. Bisikannya hampir mirip lengkingan pelan.
Kenan menutup pintu dan menarik Melque mendekati Lena. Sesuai dengan keinginan tuan kamarnya sendiri.
My name is Lebena Maganda. People call me Lena. My mom syaid I’m Indonesyia with half Filipino. How about you?” tanya Lena.
Jujur Kenan kaget mendengar pengakuan Lena kalau dirinya adalah campuran Filipina. Lena sendiri tak pernah mengatakan apapun padanya.
Melque membentangkan senyum yang dipaksakan. “Hi Lena. I’m Melque, Melque Gardien. How do you do?” tanyanya canggung.
Lena menjerit senang. “Galdien? The leal Galdien!? I heal about youl family so much flom tv! Ken, you nevel told me if you’ve a famous fliend? So Ken’s family alsyo–“
Kenan membekap mulut Lena sebelum ia membocorkan semuanya. Melque heran dengan tingkah temannya.
“Stt, diam, Len. Di sini aku tidak mau mengungkit soal itu, ok? Hanya Kenan Grace, tidak ada ‘mereka’ dalam hidupku.”
Lena melihat dengan bingung. “Kenapa?” Kenan menggeleng. “Kau halus belitahu aku apa yang kau lahasyiakan daliku, Kenan.”
Why? What happen to Kenan’s family?” tanya Melque bingung.
Nothing. Just an accident.” Tiba-tiba Lena turun dari tempat tidurnya. “How about that vio–“
“Lena!” seru Kenan kaget karena Lena turun dari tempat tidurnya hendak menarik violinnya yang ada di bawah ranjangnya.
Lena oleng, selang-selang tersebut tersangkut lalu ia jatuh. Tangannya memegangi dada kirinya. Ia merengut kesakitan dan kemudian batuk berdarah.
“Lena!” seru Kenan panik. Ia berlari keluar kamar dan berseru-seru, “Doctor!
Kenan berhasil menyita perhatian perawat yang sedang berada di sekitar lorong itu. Para perawat langsung berlari ke arahnya, dan dua dokter mengikuti.
What happen, Miss!?” tanya para perawat tak kalah paniknya.
Kenan menjelaskan dengan kalang kabut. “Her heart! A cough! With a blood!
Para perawat kaget dan mereka langsung memasuki kamar Lena berbondong-bondong. Melque diusir keluar oleh perawat sementara Kenan hanya bisa terdiam memandangi kamar Lena yang ditutup dari dalam.
“Lena… lagi-lagi ini salahku…”
Melque memandangi Kenan dengan iba. Ia tak mengerti apa yang dirinya katakan tapi ia tahu kalau Kenan sedang menyalahkan diri sendiri.
Kenan, it is not your fault–
Don’t try to close to me!” jerit Kenan. Melque kaget karena sebelumnya Kenan belum pernah menjerit di depan umum. “Guilty as charged. It is not me. Suara Kenan bergetar. It is because of you, because of your embroil, following me,” Kenan mengepalkan tangan ingin meninju seseorang. “Do not ever be talk to me again!” serunya sekali lagi.
Kenan yang naik darah berjalan pergi meninggalkan Melque yang masih terjebak dengan rasa kagetnya.

Kenan kembali setelah sejam melarikan diri. Setibanya, ia melihat Melque masih ada di depan kamar Lena, entah menunggu apa sambil duduk.
Why you are still here? I already chase you away,” tanya Kenan dingin. Melque mendongak. Ia membuka mulutnya tapi Kenan lebih dahulu menyela,I never give you a chance to speak. So, you can go home.Kenan menatap Melque. “Right now, Gardien,” perintahnya dengan nada menekan.
Alis Melque berkerut. Ia sungguh terkejut melihat Kenan yang asli yang ditutup-tutupi setelah selama itu selalu bersikap tenang di Brokeveth.
I, I know I am just a wretch. I am sure if I not deserve to earn your forgiven because I know everything got worse by my presence. I, I apologize, Grace. Pardon me as if my misbehavior, my friend.”
Melque beranjak dari kursinya lalu berjalan pergi dengan takut.
You are just my classmate,” koreksi Kenan dengan nada datar, “so obvious.”


|| Sion ||