Saturday, 30 July 2016

Chapter 8 Jeng jeng

Apakah sudah ada yang pernah bertanya.. ini novel apa cerita bersambung?
Ya elah, siapa juga yang peduli ya.
Hehe.

Mungkin aku mau sedikit memberi selingan. Well, kalau tidak berkenan di skip aja.
Kira-kira ada gak ya Ryan Challysto secara nyata? Aku kepo kalau ada anak orang kaya semi gelandangan kaya dia. Hahaha.

Kalau begitu Saya mau lanjutin dulu novelnya. Semoga pembaca menikmatinya :D

Chapter 8

“Ada apa, Ken? Ryan juga, kenapa tidak pulang dulu? Pakai jas jalan-jalan pula,” salam hangat paman Anderson yang tidak peka pada ketegangan situasi itu.
“Ok, Paman, aku tak mampu basa-basi sekarang,” sahut Kenan. “Sebelumnya, maaf kalau aku tak pernah anggap kalian keluargaku. Aku sudah tak ingat yang namanya keluarga… perasaanku selalu saja –“
“Pah, masih ingat Lena, kan?” potong Ryan yang paham kalau sepupunya sudah tidak bisa berpikir jernih. “Ternyata dia sakit parah dan karena tak ada biaya, dibiarkan saja. Sekarang dokter sudah angkat tangan dan hanya bisa mengajukan opsi rumah sakit ternama di Inggris atau Amerika.”
Paman Anderson terdiam sejenak. “..., Kenan, kenapa kamu diam saja? Kenapa sulit sekali untuk datang lalu cerita? Pada bibi Vanimu juga? Coba kamu bilang, Kenan. Kalau diam saja paman juga tidak mengerti.” Kenan mengunci mulutnya, diam saja. Beliau menghela nafas pelan. Seperti Ryan, ia sama sekali tak mengerti jalan pikiran keponakannya itu. “Kalau memang seperti yang Ryan jelaskan, kamu mengerti kan, Kenan? Inggris, seperti tawaran bibimu waktu itu.”
Kenan terkesiap. Ajuan soal Inggris itu terucap sekali lagi tapi sekarang dengan beban yang amat berat. Namun, kali itu ia tak punya pilihan. Tidak bisa bilang TIDAK dengan mantap dan bangga lagi kalau tak mau Lena mati.
“Benar sekali kalau rumah sakit di sana jauh lebih canggih dari tempat ini. Kamu bisa sekolah sekaligus mendampingi temanmu yang dirawat di sana.”
Kenapa? Kenapa harus Inggris?? Sekalipun aku selalu bermimpi untuk ke sana tapi bukan sekarang dan bukan di saat Lena sekarat!! Lagipula hanya aku!! Hanya aku yang kelak menikmati itu sementara Lena hanya terpasung di ranjang rumah sakit dengan selang-selang itu!! Jeritan-jeritan memenuhi benak Kenan.
“Tentu saja ibu Lena berhak memilih untuk ikut ke Inggris atau tetap –“
“Tunggu! Kenapa tante Merry dibawa-bawa?? Tante kan punya tokonya sendiri untuk dijaga!” celetuk Kenan tak setuju.
“Apa kamu pikir ketika anaknya sekarat, seorang ibu bisa tenang memikirkan dirinya sendiri? Apalagi usahanya?” tanya paman Anderson semakin menyudutkan Kenan pada pilihan ‘ya’.
Pernyataan beliau melanda Kenan dengan rasa bingung, rasa bersalah, dan ketakutan luar biasa. Ia berpikir keras dalam mengambil keputusan karena ia yang paling tahu kalau segalanya pasti berubah tergantung dari jawabannya. Tangannya yang gemetaran mengepal. Saking kerasnya kepalan itu, telapak tangannya tergores-gores. Ia berharap, dengan rasa sakit itu ia juga bisa merasakan rasa sakit yang ditahan Lena akibat pemikiran negative thinking-nya terhadap keluarganya.

“Ya, Paman. Berpikir lama-lama cuma buang-buang waktu.” Kenan memalingkan wajahnya. “Ya, aku akan ke sana, bersama Lena.” Ryan menatap Kenan takjub. “Tak usah melihatku begitu. Aku tahu apa yang kau pikirkan dan ya, Lena jauh lebih berharga dari diriku sendiri. Jadi, akan aku jalani saja.”
Aku memang tak pernah paham jalan pikirannya tapi tak bisa kupercaya kalau dia rela dibawa kemanapun hanya demi orang lain meskipun Lena itu hanya sahabatnya!! Sementara kami yang keluarganya?? renung Ryan kaget setengah mati. Ia menggeleng-geleng lalu menghilang pergi.
Paman Anderson mengamati kepergian Ryan sejenak lalu kembali memandangi keponakan kecilnya. “Kapan kau siap untuk berangkat, Kenan?”
“Aku pikir Lena tak punya waktu lama-lama.”
Paman Anderson menghela nafas lagi. “Tiga hari lagi?”
Kenan mengangguk dengan ekspresi datar. Mereka berdua lalu terdiam.
“Mungkin, itu saja, Paman? Dan mungkin pikiranku juga sudah kusut.”
Tangan paman Anderson membelai kepala Kenan. “Kau mau diantar? Biar paman urus administrasi dulu.”
Inginnya bilang tidak tapi untuk kembali ke sekolah di desa jauhnya bukan main. Jadi, mau tidak mau ia menunggu pamannya itu baru kembali ke sekolah.
Tinggal tiga hari lagi aku masih bisa di sini? Kampung ini, tempat aku lahir, tempat kenangan terakhir ayahku, tempat toko musik milik ibuku, tebing curam yang sunyi, dan rumah Lena sendiri?? Aku memang miskin dan memang hanya itu sisa-sisa hartaku, tapi… Hati Kenan seperti diremas-remas.

§

“Ehm, Kenan?” sapa teman satu kelas Kenan saat istirahat sekolah membuat lamunannya langsung buyar “Lena kemana ya? Sudah dua hari tidak masuk kok tidak ada keterangannya?”
“Sakit”, jawabnya singkat, “mungkin lama.”
Anak itu berusaha mencari tahu lagi. “Sakit apa? Kok tidak ada suratnya? Lama bagaimana, Kenan?” Seisi kelas langsung menatap mereka berdua.
Kenan melirikkan matanya sedikit ke arah teman sekelas yang ia lupa namanya. “Aku tidak tahu.” Ia kembali melirik ke arah lain.
“Kok bisa gak tahu? Kalian kan tinggal sama-sama! Bagimana sih?”
Kenan berdiri dari kursinya. “Aku sudah bilang kan, aku tidak tahu.”
Mood Kenan terlampau jelek saat itu. Hari itu adalah hari terakhir dimana ia bisa berada di tempatnya sekarang. Lantas, dengan menghindarnya Kenan dari percakapan seputar Lena, seisi kelas malah ribut bergosip tentangnya. Ia memang tidak akrab dengan mereka tetapi Lena iya. Mereka pasti terus penasaran pada absen salah satu teman dekatnya. Buntu sudah otaknya untuk menyahut.

Kebun belakang sekolah adalah tempat yang tepat untuk Kenan menghabiskan waktu istirahatnya. Setidaknya untuk menghindari orang-orang sebelum ia dan Lena tiba-tiba menghilang nantinya.
“Kenan? Boleh aku bicara?” tanya seseorang dari balik sudut dinding. “Kau merahasiakan apa soal Lena? Kalau mau bohong setidaknya carilah alasan yang lebih cerdas karena sekarang kau hanya menarik perhatian seisi kelas.”
Kenan terganggu. “Kenapa kau ada di sini? Mengikutiku, Ketua kelas?”
“Lebih baik aku yang mengikutimu daripada teman dekat Lena lalu kau dicakar-cakar olehnya. Jawab sajalah. Mungkin aku bisa membantu menengahi.”
Kenan mengernyit, merenungi akan niatan ketua kelas. “Ia di ICU sekarang. Sudah puas? Pergilah.”
“Aku tak mengerti, Kenan. Kalau memang dia di ICU, seberat apapun sakitnya, kau hanya perlu bilang ia di rumah sakit, kan?? Masalahnya apa?”
“…, karena setelah dari ICU, kami akan pergi ke tempat yang jauh. Aku tidak mau kalau ada yang berusaha untuk mencari Lena lagi.”
“Tempat yang jauh? Kenapa Lena gak boleh dicari lagi??”
Kenan mulai frustasi. “Sudahlah. Ini hanya membuatku tambah gila,” sergahnya skeptis lalu pergi.

“Maaf, yang tadi. Apa kau marah padaku, Ken? Kadang aku hanya merasa bertanggung jawab terhadap anak-anak di kelas ini. Makanya aku terus tanya soal Lena. Kalau dia di rumah sakit, mungkin kami bisa jenguk hari ini?” ucap ketua kelas yang kembali mendatangi Kenan setelah ia kembali ke kelas dengan ramah.
Para anak perempuan yang mencuri dengar berbondong-bondong datang ke meja Kenan. “Rumah sakit? Lena sakit apa? Kudengar kemarin Lena memang pingsan saat olah raga tapi separah itu, Ken??” Pertanyaan yang kurang lebih mirip diulang-ulang terus di depan muka Kenan persis kaset rusak.
“Ya ya,” tukas Kenan menyerah sambil melihat ke arah luar jendela agar tak seorang pun sadar dengan nada tercekiknya. “Datang saja ke rumah sakit st. Anna. Ruang ICU 3 lantai 2. Lalu ingat, hanya untuk hari ini. Masuk satu-satu.”
“ICU!? Separah itukah?” ulang mereka histeris dengan suara keras.
“Siapa yang di ICU?” tanya kubu anak laki-laki dari ujung ruang kelas.
Kelas berubah heboh. Suaranya mengalahkan toa. Lantas ketua kelas beranjak ke depan kelas untuk memukul-mukul penghapus papan tulis ke meja guru.“Tenang semua! Ini sudah mau pelajaran! Kalian sudah dengar tadi kan? Lena di rumah sakit dan sekarang ada di ICU. Bagi yang mau jenguk, pulang sekolah nanti kita kumpul dan langsung berangkat. Ada pertanyaan?”
“Kalau besok? Kenapa harus hari ini?” sahut seseorang dari pojok kelas.
“Sejujurnya aku tak tahu tapi begitu kata Kenan,” jawab ketua kelas.
“Memangnya kenapa, Ken?” tanya murid lainnya memojokkan Kenan. “Kau dengarkan tadi? Ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok!!”
Seisi kelas dengan cepat memelototi Kenan. Ia tetap diam membisu,  memandangi lantai saja.
“Ya sudahlah. Datang saja hari ini bagi yang mau,” sela ketua kelas.
“Kau tahu gak kenapa kamu gak punya teman, Ken? Karena kamu itu aneh, gak pernah jelas. Tinggal bilang saja kok susahnya minta ampun,” seru seseorang yang bernama Sarah memotong perkataan ketua kelas.
“Sarah!!” teriak sang ketua kelas.
“Aduh, aku salah ya?” cibir Sarah. Kenan tetap berusaha tak mengacuhkan. “Lihatkan? Orang ngomong saja gak didengarkan. Hei, lihat sini! Gak bosan ya sendirian terus gak punya teman?” maki Sarah semakin kencang.
“Aku harus peduli soal itu? Pikirkan saja kau yang punya banyak teman tapi tak punya etika terhadap orang lain yang bukan temanmu,” sanggah Kenan.
Sarah berdiri dari bangkunya. “Apa kamu bilang!?” Ia menghampiri meja Kenan, siap main pukul-pukulan barbie. Mengingat tubuh Kenan kuat akibat sering membopong Lena, sebelum tangan Sarah melayang ke wajahnya, didorongkannya anak itu sampai jatuh terduduk. Punggungnya mengenai kursi di belakangnya dan aw, sakitnya luar biasa. Belum lagi kepalanya juga terbentur alat tulis yang berjatuhan dari atas meja. Seisi kelas memperhatikan kejadian itu dan tak ada seorang pun berani bicara. Sarah menangis dan mengeluh kesakitan. Biarpun begitu, tak ada seorang pun berusaha mendekat apalagi membantunya berdiri.
Kenan menatapnya berang. Itu sudah melampaui titik kesabarannya. Dari stres jadi amukan. “Tidak perlu repot-repot memukul wajahku. Ibuku saja sudah cukup. Lagipula kau tahu, aku mudah membalas apa yang kau lakukan sekarang padaku kalau aku mau tapi tak ada gunanya. Jangan pakai mulutmu untuk menghina orang lain saja. Jadi, lebih baik kau pergi ke sudut sana, belajar tata krama, lalu ke UKS.” Mata Kenan melotot sehingga Sarah jadi ketakutan.
Ruangan kelas menghening. Terlebih karena Kenan biasanya diam tiba-tiba mengamuk dasyat. Satu sama lain hanya pandang-pandangan saja.
“Aku tutup masalah ini. Jangan lupa jenguk Lena pulang sekolah nanti,” tukas Nanta. Sang ketua kelas menutup forum kriminal tersebut. Pelajaran dimulai setelah guru masuk dan terus berlangsung sampai bel pulang sekolah bernyanyi.
Mendengar suara yang enggan didengarnya, Kenan segera beranjak dari kursinya untuk segera pulang, untuk mengemasi barang-barangnya. Selama itu, banyak dari anak-anak teman sekelas menatapnya diam-diam dengan ngeri.
“Hei,” sapa Nanta menangkap bahu Kenan. “Langsung pulang? Tidak ikut jenguk Lena sama kami?” Kenan menggeleng lalu pergi.

Tak lama berselang, Kenan sudah tiba di depan rumah tante Merry. Entah kenapa ia hanya bisa mematung melihat halaman rumah dengan pintu gerbang yang menganga. Sebelumnya, ia melihat sebuah mobil terparkir di pinggir jalan dekat itu. Tanpa masuk ke dalam rumah pun, ia tahu kalau dia ada di sana.
“Begitulah, Ma’am. Maaf saya baru cerita hari ini,” kata Ryan. Tante Merry mengangguk, berpura-pura bersikap tenang. “Lalu, jawaban Ma’am?”
Tante Merry tersenyum lemah. “Tante belum tahu, sayang.”
“Maaf dadakan, Ma’am. Kenan berangkat besok pagi. Jadi, kalau Ma’am pilih ikut, langsung berangkat bersama kami ketika Kenan dijemput mobil. Lagi pula, Ma’am, semua anggota keluarga Challysto akan tinggal di Inggris untuk sementara waktu. Lebih baik kalau kita tinggal bersama di sana, Rose juga.”
“Begitu? Akan tante pikirkan baik-baik. Lalu soal Kenan –“ Tante Merry tak sengaja melihat orang yang dibicarakan berdiam diri di dekatnya.  “Eh, orangnya sudah tiba rupanya.”
Ekspresi Kenan datar. “Iya, Tan. Aku mau langsung mengemasi barang-barangku,” jawabnya sambil lalu tanpa sedikit pun memandang wajah Ryan.

“Tante sudah mengemasi barang Lena. Menurutmu, Tante juga ikut?”
 “Bukannya Tante memang harus ikut? Tante mau jaga Lena terus kan?” kata Kenan memantapkan pilihan tante Merry. “Oh ya Tan, aku boleh gak –“
“Pergilah sesukamu,” jawab beliau mengiyakan.
Kenan menatap tante Merry penuh arti. Ia mengangguk lalu pergi.
Kenan berjalan mengelilingi desa tempat ia dan Lena tinggal. Desa itu tak seperti desa yang pada umumnya terkenal miskin karena tak jarang juga kendaraan mewah lalu lalang. Bangunan-bangunan di desa itu juga sudah bagus.
Terus dan terus Kenan berjalan hingga tanpa sadar sudah tiba di pusat kota yang berada dua kilometer lebih dari sekolahannya itu.
“Hei, ngapain kamu di sini? Sudah selesai packing?” sapa Ryan yang tiba-tiba muncul dan menepuk pundak Kenan dari belakang. “Mau ikut aku, Ken?”
Ryan membawa sepupu kecilnya ke restoran terdekat. Akan tetapi, sepanjang perjalanan mereka berdua hanya bisa diam tanpa kata.
“Pesan dulu,” tawar Ryan pada Kenan. Ia malah menggeleng. “Aku paham ini berat tapi coba tegakkan kepalamu! Ya, aku tak punya hak apapun untuk mengatakan ini tapi aku selalui hargai semua usahamu.”
Kenan menengadah. “Usaha apa? Aku pernah berusaha apa?”
“13 tahun kau tegar, mau berusaha, berbakat. Pokoknya perfek!”
Alis Kenan naik sebelah. “Lantas? Itu tidak mengubah apa-apa, Ryan.”
“Hmm… sebelum berangkat kita ke sana dulu oke?” ajak Ryan riang. Tempat yang dimaksudkan Ryan adalah toko yang sudah jadi milik Kenan. Sebenarnya toko itu dari dulu juga sudah jadi miliknya jauh sebelum ia tahu.
“Hai Pak James!” sapa Kenan hangat, memaksakan diri untuk tersenyum.
“Oh, Non Ken. Lama gak ke sini yah,” sapa pak James.
“Ada masalah kecil.” Kenan berpura-pura tertawa. Ryan memandanginya.
“Lalu mana biolanya?” tanya pak James. Kenan menggeleng. “Kalau begitu, bagaimana dengan lagu dari piano Ryan saja?” saran pak James.
Kenan balik memandangi Ryan. Ryan berjalan ke arah grand piano. Ia duduk di kursinya lalu membuka tutup pembukanya. Beberapa saat kemudian mulai mengalun lembut lagu dari iringan piano.
“Chopin: Nocturne No.2, Op.9,” gumam Kenan.
Kenan diam mendengarkan sambil menundukkan kepala. Hatinya miris ketika mengingat Lena yang bertepuk tangan dengan riang ketika pertama kali Ryan memainkan lagu ini di hadapannya. Wajah kagumnya seperti orang bodoh.
Selesai memainkan satu lagu itu, improvisasi medley Ryan melanjutkannya dengan lagu lain.
Aku tahu lagu itu. “Stella Quintet: Crescendo.”
Wajah bodoh Lena yang kagum Kenan ketika memainkan lagu ini dengan biola terlintas di kepalanya. Ketika Lena melamun, tertawa, lalu bertepuk tangan dan menjerit-jerit seperti orang gila untuk meminta sahabatnya memainkan lagu yang lain. Lena yang waktu itu begitu bahagia dan bisa tertawa sesuka hatinya. Namun, Lena yang ada saat ini hanyalah orang yang sedang terbaring tak berdaya dengan selang di hidung dan mulutnya. Tak ada lagi guratan senyum dari bibirnya. Tak ada lagi tawa di wajahnya. Seakan-seakan melihat Lena bisa ‘bebas’ hanya ilusi semata.
Lutut Kenan gentar. Ia jatuh berlutut. Kedua tangannya menapak ke lantai lalu ia menangis keras-keras. Semua air mata yang ia tahan selama tiga hari tumpah ruah.

“Menangislah sepuasmu, kau orang yang tegar, Kenan. Kau tidak sendirian, aku ada di sini.” Nada-nada dari tuts piano lenyap dan saat itu tangan orang yang memainkan piano itu tadi sedang memegang pundaknya. Begitu menyakitkan. Hati Kenan semakin perih untuk menerima kenyataan dengan rasa bersalah.

|| Sion ||


Yuhuuu Sion di sini!! 
Aku sempat berpikir... ada gak ya manusia macam Kenan? Kalau menurut (mahasiswa calon) psikolog, ternyata ada lho bocah yang pikirannya cepat dewasa dibandingkan umurnya. Kenapa? Karena tuntutan keadaan. Tapi, menurut berita, orang Indonesia paling tinggi IQ-nya masih pak Habibie. Maybe suatu hari akan terliput orang asli Indo yang IQ-nya sepantaran Einstein yang mengeluarkan postulat BUMI ITU BENTUKNYA JAJAR GENJANG...

Friday, 29 July 2016

New Release Naruto 469!

Baiklah, bagi penggemar naruto, silahkan nonton update naruto shippuden terbaru di... http://gogoanime.io/naruto-shippuden-episode-469
(Promo ya gue??)

Nah, Saya hanya lagi ketawa-ketawa sendiri (jam 2 pagi) melihat episode yang ini. Makanya Saya berbagi kebahagian Saya dengan Anda. XD
Why? Kenapa? Bilamana?
Karena ada yang spesial dari episode ini (bagi gue sii)... wajah Kakashi tanpa masker akhirnya terlihat. :'D


Kishimoto-sensei tidak mengecewakan penggemarnya (khususnya buat yang cewek) karena wajah Kakashi lumayan enak dilihat X'D
hahaha

tapi....


Yak, siapa ini?? Tenang saja, dia hanya tokoh hayalan seperti Kakashi..
Cowok ganteng ini adalah salah satu tokoh reverse harem dari gal game yang pernah Saya mainkan. Apa judul game-nya? Siapa namanya? Cari sendiri dong :P



Lantas.. kenapa cowok ini Saya bawa-bawa? Yah.. cuma menurut Saya sih.. tapi mereka mirip ToT Beda letak tahi lalat sama warna rambutnya wae. Tapi yah namanya anime ya? Mereka kan hanya tokoh buatan 2-D. Jadi kalau mirip-mirip ya biasa aja.
Oke..ini hanya selingan dan hiburan. Jadi, jangan dibawa serius. Hahaha..
Yang penting terima kasih sama Kishimoto-sensei yap <3

|| Sion ||

Tuesday, 19 July 2016

Bab 7 uye!

Setelah vakum lama (halah, cuma 2 minggu doang), mari kembali ke cerita Kenan dan sahabatnya Lena yang mulai *DilarangSpoiler*. Jadi, kemana Ryan??
Ini cerita mereka, sembari belajar bahasa Inggris dikit yaw. Selamat membaca :D

Chapter 7

Srak sruk srak sruk. Bunyi Rose yang sibuk mengepel lantai sementara Kenan dan Lena makan kue coklat buatan tante Merry. Mereka memang dari awal sepakat membuat Rose bekerja, meskipun hasilnya mengerikan. Setelahnya Lena malah bersikeras ingin mengerjakan ulang pekerjaan tangan tak berguna Rose.
“Terserah, kalau pingsan lagi tak seret kamu,” acam Kenan.
Lena malah cekikikan bergurau.
Tak berapa lama kemudian… Brak. Terdengar suara sesuatu yang keras sekali menabrak lantai sehabis Kenan membalikan badannya dari Lena.
“Astaga! Kan sudah kubilang, Lena!!” teriak Kenan histeris waktu sadar siapa yang berbunyi brak di balik punggungnya.
Lena pingsan lagi. Dari awal wajahnya sudah pucat tapi selalu pura-pura sehat. Pada akhirnya Kenanlah yang mengangkutnya susah payah sampai sofa.
Akhir-akhir itu Lena jadi tambah sering pingsan. Dulu biasanya hanya suka pusing saja. Sementara mereka yang baru empat bulan sekolah di SMP, dia sudah lima kali pingsan kelelahan. Entah apa penyebab jelasnya.
“Tadi bunyi apa, Lena, Ken?” tanya tante Merry yang datang dari dapur. Kenan tak sempat berpikir harus menjawab apa. “Ya ampun Lena, pingsan lagi? Makanya mama bilang istirahat!” nasihat tante Merry pada Lena yang sedang pingsan. Tante Merry benar-benar menceramahi orang yang sedang pingsan.
“Angkut ke kamar saja ya, Tan?” saran Kenan. Tante mengangguk.
Mereka pun mengangkut Lena ke kamarnya dan menungguinya sampai sadar. Tiga jam bukan waktu yang singkat untuk terus menunggu dalam cemas.
“Tan, gimana kalau bawa ke rumah sakit? Bahaya juga kayaknya kalau keseringan begini.”
“Tante juga pikir begitu sih tapi –“
“Ah, maaf, Tan. Soal biaya, gimana kalau aku kerja sambilan saja, Tan –“
“Tante masih mampu bayar semuanya kok, sayang. Gak perlu ada yang kerja saat sekolah yah,” jawab tante Merry menenangkan.

“Hei hei. Jalan yuk. Bosen juga di rumah mulu.”
“Hmm. Begitu ya reaksi terima kasih anak yang sudah dibawa susah payah ke kamar? Cukup tahu diri ya,” sahut Kenan pada omongan Lena yang berlagak. “Minta dijambak ya.”
Lena baru sadar maksudnya. “Hah!? Masa!? Ah! Maaf!”
“Ya sudahlah. Lagian aku cuma bercanda kok.”
“Oh, ya?  Tapi jangan lupa sama pelajaran itu yah. Si ‘itu’.”
Badan Kenan tersentak. “Oh ya! Tante Merry titip beli tepung di pasar!!”
“Ciye niat kabur. Eh ya, lagian gak ada si Ryan ya. Dia kemana?”
“Kenapa cari-cari? Suka? Hahahhaha,” goda Kenan sambil cekikikan.
“Kok tahu sih? Ih. Dia kan sudah satu minggu dari pertengahan bulan Oktober gak muncul di toko. Dari awal kita masuk sekolah juga dia gak nongol.”
“Dia juga punya sekolah kan, Einstein?”
“Hah? Pertanyaan lucu apa tuh?” tanya Lena telmi.
“Dua minggu dia sekolah di sini buat ngisi waktu libur saja. Aslinya dia sekolah di Inggris. Yang konyol itu waktu dia bilang tak bisa bahasa Inggris untuk menghindari Rose” jelas Kenan. Bibirnya tak tahan untuk terus tersenyum geli.
Mulut Lena menganga ke mana-mana. “Hah!? Masa sih, Inggris!? Dia cuma pura-pura bego selama ini? Ya oloh. Kok gampang banget aku kena tipu!!”
Kenan tertawa kecil. “Menurutku, karena dia sama-sama sebel dengan bahasanya acak-acakannya Rose. Mungkin. Yah kalau aku jadi dia juga aku akan melakukan hal yang sama.”
Lena bisu memandangi Kenan. Suasananya mendadak jadi aneh karena perkataan Kenan yang memang suka aneh.
“Sebenarnya keluarga itu apa, Len? Melihat ‘mereka’ aku jadi bingung sendiri. Apa dulu keluargaku begitu juga?? Kalau keluargamu dulu gimana?”
Giliran Lena ngomel. “Kamu tanya itu sama anak TK saja dijamin mereka bisa jawab. Kerenan dikit napa pertanyaannya? Udah SMP nih! SMP!”
“Iya ya. Mungkin karena aku lama-lama lupa sama ayah ibuku sendiri.”
Lena berpikir sejenak. “Mamaku kan mamamu juga.” Ia nyengir kuda.
Sejauh apapun aku anggap tante Merry ibuku, beliau tetap bukan ibuku. Kenan tersenyum sedih. “Mungkin aku kebanyakan nonton sinetron yang adegannya tabrakan mobil atau anaknya ditukar-tukar terus. Makanya kepikiran?”
 “Yah, memangnya tentang apa?” tanya Lena geli.
“Tahu kan sinetron alay favorit ibu-ibu itu? Yang ada keluarga bahagia lagi senang-senang liburan terus gara-gara ada yang dendam karena harta nanti dibuat kaya mati kecelakaan. Lalu, supaya sinetronnya jangan tamat duluan, pasti ada saja satu-dua orang yang selamat. Kalau dua orang yang selamat, tamatnya pasti mengenaskan. Entah lupa ingatan, entah sengaja dibuat kecelakaan lagi, dan begitulah! Sinetron mengalahkan efek Final Destination.”
Wajah Lena mendekati Kenan. “Kalau misalnya aku yang jadi yang kecelakaan lagi dan kamu penontonnya, gimana Ken?” tanya Lena terus terang.
“Aku lagi dicobai iblis ya? Terus kamu berharap ada apa? Ada bis yang menimpa kita sampai kita kaya emping?”
Tawa Lena meledak. “Ya enggak lah. Kan misalnya.” Kenan memandangi Lena. “Hahaha... tenang aja. Aku tahu rasa sakit hatimu itu kaya apa. Gak bakal aku tanya macem-macem lagi,” terang Lena pada Kenan.
Ken mengangkat sebelah alisnya. “Sakit apa?”
“Keluarga… ya?,” ujar Lena sembari berjalan pergi.


“Kuat, Len? Kesehatanmu itu mengkhawatirkanku tahu!”
Mata Kenan melihat Lena lekat-lekat ketika wajah Lena yang ceria berubah menjadi semakin pucat bahkan sebelum mulai berlari.
“Ya ampun. Perasaan dari dulu kamu gak pernah bisa ngalahin kecepatan lariku. Jangan ngeledek deh,” jawab Lena santai. “Calon atlet nih.”
“Dulu?” bisik Kenan was-was.
“Apa? Jangan melihat kaya gitu. Jijik tahu.”
Kenan menatap Lena khawatir. “Kalau pingsan lagi gimana?”
“Memang tampangku benar-benar kaya zombie, ya? Aku rasa hari ini aku sehat banget.”
“Sesukamulah,” ucap Kenan menyerah.
Setelah Kenan kalah berdebat dengan Lena, ia memutuskan untuk menyerah dan membiarkan Lena tetap ikut lari dengan rona wajah seputih mayat.
Lari yang mereka lakukan bukan untuk kesenangan melainkan ujian–karena Kenan tidak akan mungkin membiarkan Lena yang sakit lari. Hari itu ialah minggu kedua bulan November, hari pengambilan nilai kedua untuk lari jarak menengah pelajaran olah raga. Jaraknya lumayan jauh. Panjang lintasannya kira-kira seperti mengelilingi dua setengah kali lapangan sepak bola.
Sadar akan keterbatasan baru Lena, Kenan terus berjaga-jaga. Padahal Lena cuek saja. Ia tak pernah sadar banyak orang yang cemas padanya. Apalagi kalau orang-orang sampai tahu kalau Lena yang selalu ceria itu sekarang bisa pingsan kapan saja; berdiri atau sekalipun duduk diam.
“Mulai!” teriak sang guru pada semua muridnya yang sudah siap sedia.
Mereka mulai berlari saling mendahului satu sama lain, sedangkan Kenan berlari langsung ke sebelah Lena untuk berlari beriringan bersamanya.
Lama mereka terus berlari tapi makin tertinggal ke belakang sampai benar-benar menjadi yang terbelakang. Kenan sadar kalau kondisi Lena makin melemah tapi Lena terus memaksakan dirinya. Kenan sudah tak tahu berapa jarak yang sudah mereka lalui karena matanya hanya terus memerhatikan gerak-gerik Lena.
“Masih kuat? Wajahmu makin menakutkan, Lena. Istirahat saja ayolah,” pinta Kenan memelas pada Lena yang keras kepala merasa dirinya masih kuat.
“Jangan manjain aku kaya begitu ah.”
“Kau ini, cobalah sedikit mengerti kalau kami gila memikirkanmu!”
“Kau ini, cobalah sedikit mengerti kalau aku juga gila setiap kamu bicara soal itu terus,” tolak Lena tak mengacuhkan sedikitpun nasihat Kenan padanya.
“Len, istirahat 5 menit saja ok?” tanya Kenan masih terus membujuk. “Ayolah sekali ini saja dengar permintaanku, Len –“
Bruk. Perkataan Kenan terhenti seketika waktu mendengar suara itu. Suara yang jadi familiar dalam beberapa bulan. “Lena?” tanya Kenan sembari melirik kesebelahnya yang ternyata Lena tak ada di sana lagi. Kenan membalikan tubuhnya. “Lena!!” jeritnya ketika melihat Lena yang lagi-lagi ambruk dan dagunya tepat mengenai jalanan beraspal. “Aku kan sudah bilang istirahat!”
“Aku, gak apa-apa kok –“
Ucapan terakhir Lena terputus saat ia kehilangan total kesadarannya.
“Tolong! Tolong!! Teman saya pingsan!!” jerit Kenan sekuat tenaga sambil membiarkan tubuh Lena lunglai terbaring di pangkuannya.
Lima menit penuh Kenan terus menjerit tanpa henti. Belum ada satu pun kendaraan yang lewat di jalan itu. Mengenaskan untuk mengingatnya, rute lintasan yang dipilih guru itu memang jalanan sepi yang jarang dilalui kendaraan.
Tak lama kemudian, lewatlah sebuah mobil yang terbilang mewah dan berhenti hanya beberapa meter di depan tempat mereka terduduk. Seseorang yang ada di bangku belakang mobil tersebut segera keluar mendatangi mereka. Mengejutkan. Orang yang tak disangka malah muncul di saat seperti itu.
“Ken? Lena kenapa!?” tanya Ryan dengan suara lantang.
“Ry, Ryan, kenapa kamu ada di sini?” tanya Kenan dengan mata melotot, “itu urusan belakangan, tolong bantu angkut Lena ke rumah sakit!” pinta Kenan dengan suara serak.
Ryan sigap menganggkut Lena yang sudah tak sadarkan diri ke dalam mobilnya dan segera ke rumah sakit terdekat seperti permintaan sepupunya.
“Ehmm.., aku lewat sini karena jalanannya sepi.”
Di tengah perjalanan tampaknya Lena mulai sadarkan diri. Ia mulai bisa membuka matanya pelan-pelan. Kenan merasa sedikit lega karenanya.
“Lena, kamu gak apa-apa? Tenang saja, kita sudah dekat rumah sakit.”
“Ih, ka, mu, apa-apa, an sih. Me, ma, ng, nya –“
Belum sempat kalimat Lena selesai, Lena terbatuk-batuk terus hingga yang kesekian kalinya membuat ia memuntahkan banyak sekali darah.
“Lena!” pekik Kenan. “Sudah diam saja!!”
Ryan terkejut melihat jok mobilnya terkena semburan muntahan darah Lena. Setelah kejadian itu Lena kembali tak sadarkan diri. Sampai di rumah sakit cepat-cepat Lena yang pingsan dibawa ke ruang ICU.
“Kenapa dia? Kok sampai muntah darah?” tanya Ryan cemas sekali. Kenan menggeleng penuh rasa takut. “Kenapa? Kenan!?” seru Ryan pada Kenan.
Badan Kenan bergetar. “Sudah lima bulan… sakit Lena semakin parah. Awalnya ia hanya mengeluhkan badannya sulit digerakkan tapi lama-lama keseimbangannya makin parah. Lena selalu jatuh meski tak ada apa-apa. Kalau dia jatuh lagi dan dagunya terantuk, ia pasti mimisan. Kami tak punya biaya untuk memeriksakannya ke rumah sakit! Maafkan aku, Lena!!” jerit Kenan frustasi.
“Kenapa tidak minta sama ayahku!? Kita ini kan keluarga!”
“Aku bukan siapa-siapa!!”
Ryan mengepalkan tinjunya. “Bukan siapa-siapa!? Matamu kemana sih?? Apa kami kelihatan seperti majikan keji dan kau pembantu yang minta plester saja tak diberi?? Masalahmu apa sih?? Mulut dipakai untuk bicara, Kenan!! Perlu sampai orang yang paling kamu sayangi mati di hadapanmu dulu baru kamu bisa buka mulut lalu minta bantuan sama keluarga sendiri!?”
“Iya begitu!!” jerit Kenan lebih keras. Ia lantas lari tanpa arah yang jelas di lantai rumah sakit hanya untuk meninggalkan Ryan seorang diri.


“Keadaannya sangat parah, Pak. Pasien ini jantung dan sarafnya jadi lemah akibat komplikasi. Kalau saja dia lebih cepat diperiksakan mungkin hasilnya lain tapi sayangnya penyakit ini tidak dapat kami tangani,” terang dokter pada Ryan–meskipun dokter tidak tahu kalau di hadapannya sebenarnya anak SMA. “Di rumah sakit ini fasilitasnya sangat tidak lengkap untuk perawatan penyakit genetik anak itu,” Ryan mengangguk mencoba paham situasinya, “tapi… mungkin ia punya harapan lebih besar untuk sembuh jika ditangani rumah sakit yang fasilitasnya sangat canggih seperti di Amerika atau Inggris.”
“Ya. Terima kasih dokter,” ucap Ryan sambil berdiri untuk meninggalkan ruangan. Setelah bersalaman, Ryan mohon undur diri dari hadapan dokter. “Kamu dengar, kan, Kenan?” tanya Ryan pada Kenan begitu keluar dari ruangan tersebut.
Kenan terpaku kaget. Rupanya sepupunya sadar kalau dari awal ia terus menguping pembicaraan. Namun, ia hanya bisa diam sambil menahan tangisnya.
Ryan yang iba membantunya berdiri dan membopongnya ke kursi terdekat sambil menenangkannya. “Sudahlah,” hibur Ryan sembari menepuk pundaknya.
“Le, Lena. I, ini salahku. I, ini salahku,” cercah Kenan terus menyalahkan dan mengutuki dirinya sendiri tanpa henti.
“Dengar, kau sudah tahu apa yang bisa kau lakukan. Kau tahu sendiri aku cuma anak SMA, sebanyak apapun uang di rekeningku. Lebih baik kita langsung diskusi dengan papaku. Hanya itu… yang bisa kukatakan saat ini, Kenan.”
Suasana menjadi hening akibat perkataan Ryan yang blak-blakan. Apalagi mengingat kalau Ryan hampir tidak pernah bicara serius seumur hidupnya.
Air mata Kenan batal keluar dari tempatnya lagi karena rasanya sudah kering semuanya. Dengan diam ia bisa berpikir dan terus berpikir. Mereka berdua pun menjadi bisu seribu bahasa.
Kenan sudah membulatkan keputusan setelah berpikir beberapa menit. Ya,  itu keputusan berat.
Apa yang kupikirkan daritadi? Apa yang kupikirkan dari dulu?? Aku belum penah melakukan apa-apa untuk menolong dirimu. Sekarang pikiran ‘aku tidak pantas di hadapan mereka’ tidak bisa membuatmu tetap hidup.

|| Sion ||

Tuesday, 5 July 2016

Chapter 6

Ini Selasa ya? Kukira Senin. Wkwkwk
Btw, besok kan udah libur lebaran.. aku vakum update novelnya dulu y? Hohoho. Chapter 7 tanggal 18 Juli aja. Ingat!! 18 Juli!! Pembacaku, mohon menantikannya y? Hehe..
Komen dan kritik Anda sangat membangun novelku ini. Kan aku juga pengen menang lomba novel :D

Chapter 6


Hari itu finalnya, hari kenaikan kelas. Semua hari menyenangkan dan banyak yang menyakitkan di masa SD terlalui. Kenan sudah cukup tenang untuk menilai semuanya biasa tapi tidak bagi Lena. Ketika harapan bahwa semua mata pelajaran bisa berubah jadi pelajaran olah raga musnah, sekolah selalu ‘menyenangkan’ baginya. Lalu, seharian itu ialah hari pengambilan rapor yang ditunggu-tunggu bersama tante Merry. Rapor mereka yang terakhir di SD.
“Nah, sekarang mau rapor siapa dulu?” tanya tante Merry pada Lena dengan tatapan maut membuat Lena bergidik.
Kenan tersenyum jahil. “Rapor Lena dulu, Tan.” Kenan puas dalam hati sementara tante Merry menoleh ke Lena. Lena berusaha melarikan diri. Sayangnya dia terlambat karena lengannya sudah Kenan tarik terlebih dahulu.
“Nah Ibu, rapor mana dulu yang mau diambil?” tawar wali kelas mereka.
 “Tentu saja Lena dulu, Ibu,” jawab tante Merry dengan muka ramah.
Bu guru menyodorkan rapor Lena. “Ada kemajuan pesat, Ibu. Dia peringkat 10 untuk UN sekolah ini. Lena peringkat 7 untuk kelas. Nilai UN-nya 35.75 dan 81.53 rata-ratanya untuk kelas, Ibu.”
“Wah. Ada nilai yang di bawah 70, Bu?” tanya tante Merry tidak percaya.
Bu guru tersenyum. “Di atas angka 75 semua. Lena sudah berusaha keras.”
Tante Merry menoleh ke Lena. Beliau tersenyum. “Makasih, Ibu.” Bu guru ikut tersenyum ke Lena meskipun tidak tahu apa tujuan tante Merry senyum.
“Selamat, Ibu untuk Lena,” dukung ibu Sri.
Seandainya mereka tahu kalau aku yang mengajarinya sampai nungging, batin Kenan. Mengajari Lena seperti mengajari anak orang utan untuk menari.
“Saya minta rapornya Kenan juga yah, Bu,” pinta tante Merry yang untungnya masih ingat kalau Kenan masih ada di sana.
Bu guru menyerahkan rapor Kenan. “Oh iya, Ibu. Ini. Nilainya seperti biasa; bagus dan stabil. Kenan peringkat pertama UN sekolah ini. Nilainya 39.45. Nilai rata-rata kelasnya 89.57.” Beliau melirik ke arah Kenan. “Selamat, Kenan. Selamat juga, Lena sudah lulus. Kalian sudah berjuang sebaik mungkin. Bersyukur pada Tuhan selalu karena kepintaran kalian semuanya dari-Nya. Ah,  besok kalian sudah tak pakai seragam putih merah lagi ya.” Bu Sri tertawa. Kenan pun tersenyum kecil. Lena ikut-ikutan nyengir meski tadi merinding ketakutan.
“Iya, makasih, Bu. Kami pamit,” salam terakhir tante Merry pada bu Sri.
Setelah dari sekolah, mereka pergi menjelajahi pasar. Salah satu tempat kesukaan Kenan. Selama liburan, Kenan dan Lena habis-habisan bantu tante Merry untuk gunakan uangnya saat pesta jajan kelulusan. Itu sudah cukup.

Pesta liburan akhir selesai dalam sehari. Tak terasa hari sudah sore. Mereka menikmati hari itu, dimana mereka sudah siap pakai emblem SMP sampai lupa waktu. Sekolah baru datang menanti dengan tantangan-tantangan baru.
Mereka jalan kaki sampai menemukan angkutan umum. Perjalanan pulang cukup jauh sehingga membuat tante Merry dan anaknya tertidur lelap bersama-sama. Sayangnya Kenan tetap terjaga karena ada yang menggangunya.

Kenan membangunakan tante Merry beserta Lena karena sudah dekat gang dekat rumah. Akan tetapi, ada sesuatu yang dilihat Kenan. Mobil mewah kah? Kenan berpikir kalau sepertinya ia pernah lihat mobil itu. Mobil sedan mewah warna silver, pelat belakangnya CO.
“Mobil siapa itu, Mah? Mama menang undian?” tanya Lena polosnya.
Kenan melihat lebih fokus. “Bukan. Mobil pamanku.”
“Eh eh. Kenapa? Ada apa? Mau ngambil kamu yah? Yaaaahhh, jangan dong. Siapa lagi guru les gratisku dong?”
“Mrs. Rose. Sukur.”
Lena menggertakan gigi, jadi melek sepenuhnya. “Ogah!!”
Sementara mereka berdebat, mobil itu tiba-tiba sudah tiada. Sayang sekali tidak berpapasan. Mrs. Rose lalu menghampiri mereka bertiga dari dalam rumah.
Mr. Anderson came, mencari you, Ms. Ken.” Benar dugaan Kenan. “Jam 3.45 PM. He came together with Mr. Ryan dan gave me a message for you, Miss. They then go home.” Pesan? “Wait a minute, Miss.” Rose masuk ke rumah.
“Apa katanya Ken?” sela Lena tiba-tiba sambil mendahului Kenan masuk.
“Paman sama Ryan tadi datang. Ia titip pesan sama Rose lalu langsung balik,” jawab Kenan sambil mengikuti Lena, “masa kamu gak paham sedikit pun?” Mata Lena menatap lurus sambil menjawab ‘enggak’. “Ih.”
Di dalam rumah Rose memberikan selembar kartu pada Kenan. Ia menerimanya, selembar kartu karton yang rapi tulisannya dan lalu langsung membukanya. Kenan mulai membacanya.
Dear Kenan. Datang ya ke rumah sama tante dan sahabatmu. Kita makan malam untuk merayakan lulusnya kamu hari ini, sekalian ada hal penting yang harus dibicarakan. Pakai baju yang sudah disiapkan bibimu untuk kalian ya. Sopir akan menjemput kalian pukul 7 nanti. Siap-siap langsung berangkat begitu nanti ia datang. From: pamanmu, bibi Vani, dan Ryan.
“Ha? Aneh. Tahu darimana ya mereka?” gumam Kenan.
Ternyata Lena mendengarnya. “Apa? Tahu apa?”
“Kalau hari ini kita terima rapor kelulusan. Hmm, mungkin lebih baik kamu baca saja sendiri ya,” jelas Kenan ragu-ragu.
“Tapi… gak pake bahasa Inggris kan?”
“Ya kali! Traumanya itu sama bahasa Inggris! English-fobia!”
“Kan gara-gara kamu yang bawa-bawa makhluk itu kesini,” tuduh Lena pada Kenan sambil menunjuk-nunjuk Rose terang-terangan.
Lena lalu membaca dan ternganga melihatnya. Dia pun mengoper kartu itu ke mamanya. Entah kenapa tapi Kenan merasa ia tahu apa reaksi bocah itu.
“Wah! Masa nih? Keren!! Berarti makanan high class dong!! Bajunya juga mewah! Beruntung ya temenan sama kamu, Ken! Banyak bawa untung!” teriak Lena kegirangan. Tepat sekali dugaan Kenan. Norak.

Saat itu jam setengah tujuh, deadline-nya setengah jam lagi. Kenan masih ragu untuk memakai itu, gaun yang disiapkan bibinya–antara malas dan risih. Apalagi sepatu hak tinggi. Rasanya bikin Kenan mau nangis. Pulang nanti kakinya pasti lecet-lecet. Meski bukan tomboy, ia juga bukan feminine.
 “Wah, keren! Gaun orang kaya!!” seru Lena berputar-putar kegirangan dari kamar mandi. Meskipun Lena pecicilan tapi faktanya Lena lebih feminin dari Kenan. Nor judge people by the cover. Jadi, ini maksudnya.

Setelah sepuluh menit, selesailah si Lena pakai gaunnya itu. Dia diberi gaun warna merah muda. Kalau Kenan disuruh pakai yang seperti itu juga, ia pasti ke sana pakai baju kodok doraemonnya.
“Ya ampun kok belum dipakai gaunnya? Ayo! Tinggal 15 menit lagi!!”
Kenan mendengus kesal. “Bawel. Memangnya harus ya?”
Excuse me, Miss. Mr. Anderson said, I must help you for make up and wearing your dress. Could I?” tanya Rose menawarkan bantuan, yang tiba-tiba dari mana dia muncul pun masih Kenan pertanyakan.
Ia ingin sekali melawan. “Please help her!” pinta Lena duluan pada Rose.
Hmm… saat begini baru lancar bahasa Inggrisnya. Amit-amit.
Sigap Rose langsung mendorong Kenan masuk kamar sementara tante Merry sudah selesai dengan dandanannya. Tinggal Ken seorang yang ketinggalan.
Kenan tak tahu wajahnya seperti apa karena daritadi ia malas buka mata. Sebelumnya ia belum pernah pakai make-up. Jadi, selama didandani, untuk menghilangkan asumsi, Kenan terus berpikir; syukur warna gaunnya biru.
Brak brak brak. Suara pintu ditendang-tendang dari luar. Bocah sakit.
Tin tin. Saat itu bunyi klakson mobil dari luar rumah.
Kenan mengerang karena tambah kesal. “Rose –“
I finished! Please open your eyes, Miss.
Brak. Kenan membuka pintu yang terus dikunci dari dalam oleh Rose. Begitu keluar, Lena tercenggang melihatnya. “Ho… Ken, ini kamu?”
“Bukan. Saya Ryani Ferliazi.”
“Mama!!! Ms. Rose ngebuang Kenan yang asli ke empang!!!” jerit Lena.
“Kenapa, kenapa, Lena?” jawab tante kebingungan dengan jeritan putrinya yang kaya mau diculik orang–ada yang sudi ya?
“Itu, Mah, itu Mah! Ada –“
Kata-kata Lena terputus karena ia bingung memilih kata dan membuat mamanya tambah bingung ditambah menunjuk-nunjuk Kenan.
“Kenapa?” Tante meliri Kenan. “Ini Ken?! Kamu cantik sekali, sayang!”
“Masa?” jawab Kenan curiga. “Rose! Give me your mirror!” Rose menyanggupi permintaan Kenan yang entah datang dari mana cermin tersebut.
Lena mencuri bergitu saja kaca dari tangan Rose. “Nih nih! Kaca! Kaca!” sergah Lena tak sabar menyodorkan cermin itu ke hidungnya. Daripada hidungnya terlanjur bonyok, segera Kenan rebut kacanya dan melihat dirinya sendiri… sangat aneh! Dandannya mengerikan tapi mereka bilang itu cantik!
Begini ya jadi perempuan? Hebat ya wanita bangsawan Eropa zaman dulu bisa berhari-hari di pesta sambil cekikikan minum teh pakai… INI. INI…


Kluntang kluntang. Bunyi adu jotos garpu dan pisau di piring Lena membuat semua yang ada di ruangan itu jadi tak enak hati untuk makan.
Berisik Len!! Kucakar juga kau!! Gara-gara kau, semua tak mau makan!!
 Kenan sebenarnya ingin melempar Lena dengan pisau di tangannya. Sayangnya karena mejanya terlalu panjanggg, Kenan pun mengurungkan niatnya. Ryan yang melihatnya terus menahan tawa saja–demi etiket semua orang.
“Ehem,” paman berdeham kecang untuk memulai perbincangan. “Ken.”
Kenan menoleh. “Ya, Paman?”
Bibi Vani menyela, “Ken, sayang,” katanya memulai pembicaraanya.
“Ya, bibi Vani?” Kenan menyahut dengan tenang.
“Kita santai saja ya. Bibi mau bahas soal sekolahmu.”
 “Kenapa dengan sekolahku, Bi?”
“Ada sekolah bagus di Inggris. Teman kamu ikut saja. Kami tidak memaksa tapi kami hanya ingin kamu bisa sekolah di tempat yang terbaik seperti Ryan juga bisa.” Bibi Vani melengkan kepalanya. “Bibi menyesal tidak lebih cepat mencarimu, Kenan. Kamu sendirian melalui semua hal berat itu. Mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan karena Kenan juga putri kami,” ujar bibi Vani halus. Kenan terpukau karena tak menyangka beliau langsung bicara to the point.
Kenan tak tega menolak niatan baik mereka tapi di sisi lain ia juga tak ingin tinggal di ‘istana’ itu. “Hmm, Bibi? Memangnya sekolah yang seperti –“
Bibi Vani tersenyum lembut. “Bibi dengar dari Ryan, kamu pengen ke luar negeri, bukan?” Kenan terkejut. “Jadi, bukannya kalau ada kesempatan sekolah di Inggris sekarang cocok sama keinginanmu?”
Hening sesaat. Bibi Vani membiarkan Kenan memutuskan. Sepertinya mereka tahu pasti kalau Kenan adalah orang yang penuh pertimbangan–diterka dari sifat asli Ritsena. Sejujurnya, Kenan sendiri juga sulit memilih. Dibilang kebetulan ya bukan! Karena jelas itu faktor kesengajaan–ulah ayahnya, Ryan, dsb.

Makan malam berlangsung cukup tenang di meja tersebut. Black list Lena karena tak pernah ada ketenangan dalam kamus makannya. Keluarga Challysto kecil itu kerap menunggu jawaban Kenan sampai makan malam usai.
“Terima kasih jamuan makan malamnya, Tuan, Nyonya,” ucap tante Merry sungkan. Tak berapa lama kemudian Lena mengulang hal yang sama.
“Sama-sama Ma’am, dan Lena,” jawab bibi Vani riang. “Lalu, menurut Kenan?” sambungnya setelah bersalaman dengan tante Merry dan Lena.
“Tentu saja, tidak, Bibi,” jawab Kenan mantap sambil tersenyum.
“Dasar anak ini.” Bibi Vani menyerah sambil membalas senyum Kenan. “Anderson, Ryan, kapan-kapan kita ke rumah mereka juga ya,” tawar bibi Vani.
“Jadi mama nyerah sama Kenan?” Wajah Ryan mirip anak balita sedang ngambek. “Yah, sayang kan anak yang jarang ada kaya dia gitu disia-siain begitu saja,” cercah Ryan yang menganggap Kenan bagaikan burung cendrawasih.
“Bukannya dulu ibunya juga mirip-mirip?” tawa bibi Vani pelan.
“Padahal enak kan kalo aku punya adek, Mah. Bisa dimanfaatin apa saja.”
Bibi Vani tertawa. “Ryan, Ryan.”
Mau Lena, mau Ryan. Keduanya sepakat minta dipukul ya, batin Kenan.

Tiga orang penghuni rumah Maganda diantarkan oleh mobil kesekian keluarga Challysto. Paman Ryan, juga tante Vani turut mengantar.
“Nah, kalau mau main ke rumah, datang kapan saja ya, Ken sayang. Biar bibi ada teman ngobrol,” ajak bibi Vani ramah. “Anak bibi yang cakep ini gak bisa diajak ngobrol sih.”
Kenan menggigit bibir menahan tawa. Ryan malah cengengesan. “Bi, lain kali Ryan pakai karung beras atau daun pisang saja. Bajunya ‘bagus’ sekali,” ujar Kenan memberi kritik dan saran dengan maksud balas dendam.
 “Jangan-jangan baju yang sudah mama buang itu, Ryan?” tanya bibi Vani tajam. Ryan melirik Kenan keki. Dalam hati Kenan melonjak kegirangan. “Oke, sampai jumpa sayang,” ucap perpisahan bibi Vani sambil melambaikan tangan.
Sepertinya asyik juga tinggal sama bibi. Ah! Bicara apa aku ini, renung Kenan merasa hatinya mulai berkhianat.
Lena berjalan mendahului. “Nah, ayo masuk! Senang kan hari ini!?” tanya Lena kegirangan.
“Senang apanya. Yang senang kan cuma kamu!” gumam Kenan.
“Hmm, kalo kira-kira kamu akhirnya terpaksa tinggal sama mereka gimana, Ken?” tanya Lena tiba-tiba sambil menerawang.
“Memangnya kalian mau kemana?? Kau lagi ngantuk ya karena kebanyakan makan?”
“Gimana pun juga mereka keluargamu yang asli, ‘kan. Bukan kami.” Bahu Lena terangkat. Ya sudahlah. Aku memang ngantuk.”

|| Sion ||